Pak Slamet menatap kosong ke arah jalan desa yang mulai ramai. Kopinya sudah dingin, tapi ia belum juga menyesap. Ingatannya masih tertinggal di dua puluh tahun lalu—malam ketika lantai rumah ini basah oleh darah ayahnya sendiri, malam ketika sirene polisi membelah hujan, malam ketika adiknya, Bowo, di bawa pergi dengan wajah yang pucat bagai mayat hidup.
Sejak itu, setiap sudut rumah ini menjadi pengingat. Setiap derit lantai kayu seolah suara langkah ayahnya yang sudah tiada. Dan kini, setelah sekian lama… sosok yang ia kira takkan kembali, muncul lagi. Dengan senyum tipis. Dengan mata yang menyimpan bara dendam.
“Mas.”
Suara lembut itu membuyarkan lamunannya. Bu Sri berdiri di sampingnya, membawa piring berisi gorengan hangat&md
Suara dering ponsel memecah keheningan loteng.Arya yang sedang duduk dekat Sekar buru-buru meraih ponselnya. Tertera nama Pak Slamet di layar.“Pak…?” suara Arya agak gemetar saat mengangkat.Di ujung sana, terdengar suara bapaknya.“Arya, kamu di mana, Nak? Dari tadi Ibumu cari. Jangan-jangan kamu sama Sekar naik ke loteng? Itu kan tempat berdebu…”Arya langsung panik. Ia melirik Sekar yang masih asyik mengatur mic kecil dan headset untuk siarannya. Arya buru-buru menutup mic ponsel dengan telapak tangan.“Waduh, gimana ini, Kar? Kalau mereka tahu kamu lagi siaran rahasia d
Sekar menekan tombol sambungan berikutnya. Suara dering berhenti, terdengar suara seorang bapak-bapak dengan nada berat tapi penuh ekspresi.Sekar:“Halo, selamat pagi… ini siapa, dari mana?”Pendengar (dengan logat Betawi):“Pagi, Mbak Sekar! Saya Bang Udin dari Depok. Waduh, akhirnya nyambung juga. Dari tadi istri saya nyuruh-nyuruh coba telepon, katanya biar curhat di radio lebih adem daripada curhat ke dia.”Arya yang duduk di samping Sekar langsung ngakak pelan, sementara Sekar menahan tawa.Sekar:
Pagi itu, cahaya matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela loteng. Suasana sederhana di ruang kecil itu menjadi saksi rutinitas baru Sekar—siaran Menantu On Air—yang kini tak lagi sendiri. Arya, dengan kesetiaan yang selalu membuat Sekar hangat, duduk di sampingnya.Siaran sudah mengudara. Sekar baru saja menerima telepon dari Dimas, yang suaranya masih menyisakan getir dan keraguan. Setelah menutup sambungan, Sekar menyalakan musik pengiring, memberi jeda untuk menenangkan suasana hatinya.Dalam hening yang ditemani alunan musik lembut, Arya meraih tangan Sekar. Ia menggenggamnya erat, lalu mengelus perut buncit istrinya dengan penuh kasih. Senyum kecil terukir di bibirnya, seolah dunia di luar sana bisa runtuh sekalipun, asal momen itu tetap utuh.“Sekar&h
Sekar tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. Ia bisa merasakan getar harapan dalam suara Zahra yang mulai tenang.“Terima kasih, Mbak Sekar…” suara Zahra terdengar lebih mantap. “Aku akan bertahan. Aku akan lebih kuat—sebagai menantu, sebagai ibu, dan sebagai istri. Aku percaya… doa akan membimbingku.”Hening sejenak. Hanya terdengar napas lega di ujung telepon. Lalu sambungan itu terputus, meninggalkan kesunyian yang hangat di loteng kecil itu.Sekar menunduk, tangannya menggenggam erat mikrofon. Ia berbisik, nyaris tidak terdengar, “Bertahanlah, Zahra… doa kita menyertaimu.”Arya mengusap bahu istrinya dengan lembut. “Kamu luar biasa, Sekar. Kata-katamu tadi… bisa jadi penyelamat bagi dia.”
Sekar baru saja tiba di rumah, wajahnya pucat namun senyumnya tetap ada. Arya membantu menuntunnya masuk, sementara Bu Sri sudah menyiapkan bantal tambahan di ruang tamu.“Sekar, jangan banyak bergerak dulu. Kamu harus istirahat,” kata Arya lembut sambil membetulkan selimut tipis yang menutupi istrinya.Sekar tersenyum, matanya menatap penuh cinta. “Aku tahu… tapi rasanya aneh, Arya. Beberapa hari saja tidak siaran, aku seperti kehilangan sesuatu. Aku rindu dengan Menantu On Air. Aku rindu berbicara, bercerita, menyapa pendengar yang sudah seperti sahabat.”Arya terdiam sejenak, menatap istrinya yang bersinar meski dalam keadaan rapuh. “Tapi kamu harus ingat, kesehatanmu lebih penting. Kalau kamu sampai jatuh sakit lagi, bagaimana? Jangan memaks
Langit sore itu tampak redup, seakan ikut memeluk kepenatan hati Sekar. Beberapa hari terakhir, pikirannya terus berputar—mengenai rahasia besar yang disimpan mertuanya, Bu Sri. Hatinya gamang, seperti ada beban yang menggantung di dadanya, membuat napas terasa sesak.Sekar duduk di tepi ranjang, tangannya memegang perut yang mulai membuncit. “Kenapa aku harus menanggung semua ini?” bisiknya lirih. Di wajahnya terlihat pucat, keringat dingin merembes meski udara cukup sejuk.Arya yang baru pulang kerja, terkejut melihat istrinya terkulai. “Sekar?” suaranya panik, buru-buru ia mendekat dan meraih tubuh istrinya yang nyaris jatuh.“Aku… pusing, Yah… kepalaku berat sekali…” Sekar mencoba tersenyum, tapi tubuhnya tak kuasa menyangga kelemahan itu. Pandangannya be