Siaran radio Sekar perlahan menjadi buah bibir. Bukan di televisi, bukan pula lewat video viral seperti kebanyakan tren zaman ini, tapi justru dari frekuensi radio yang hampir terlupakan. Di tengah gempuran era digital, ketika semua berlomba-lomba menayangkan wajah dan kehidupannya ke layar-layar kaca mungil di genggaman tangan, Sekar memilih jalan sunyi: berbicara, bukan memperlihatkan.
Aneh, tapi justru itulah yang disukai pendengarnya.
Hari ini Jumat. Langit masih pucat ketika Sekar membuka jendela dan merasakan udara lembab Subuh menampar pipinya yang dingin. Seperti biasa, ia sudah bangun lebih awal. Menanak nasi, menyeduh kopi untuk suaminya, menyetrika beberapa kemeja yang menumpuk. Semua dijalani nyaris tanpa suara, hanya irama napas dan detak jam dinding yang menemaninya.
Pukul delapan kurang sepuluh. Suaminya, Arya, berpamitan seperti biasa dengan kecupan cepat di dahi.
08.03.
“Haduuuh... bisa telat ini,” gumamnya panik sambil menggulung lengan bajunya.
Tangannya mulai bergerak cepat—mencuci piring, menyapu remah di lantai, mengepel seadanya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah rak kecil tempat mikrofon siarannya berdiri anggun. Meski usianya tak muda, alat itu masih bekerja dengan baik, menjadi jembatan antara suara hati Sekar dan para pendengarnya yang entah siapa dan dari mana saja.
Ia suka siaran. Sangat.
Namun ada ketakutan yang selalu mengendap di balik semangatnya.
Sambil mencuci tangan, Sekar menatap pantulan wajahnya di cermin kecil di dekat wastafel.
“Apa aku keterlaluan ya, kalau terus siaran begini?” bisiknya lirih.
Tapi kemudian ia menggeleng, meyakinkan diri.
Ia kembali ke ruang tengah, memindahkan mikrofon ke posisi terbaik, mengecek laptop, dan mengenakan headset. Jam sudah menunjukkan pukul 08.49.
Detik-detik sebelum siaran selalu membuat jantung Sekar berdetak lebih cepat. Ada getar rasa gugup, tapi juga semacam kehangatan yang merayap pelan.
“Ibu-ibu pasti sudah nunggu,” katanya sambil duduk dan menarik napas panjang.
Dan pada saat itu, ia belum tahu... bahwa hari ini, justru siarannya sendiri yang akan membuka sebuah cerita yang selama ini tak pernah berani ia sentuh.
Loteng itu bukan ruang mewah. Hanya satu lampu kuning menggantung di langit-langit rendah, rak buku yang setengah penuh, dan meja kayu kecil tempat Sekar menaruh mikrofon serta laptop tua pemberian suami. Tapi baginya, ruangan ini adalah dunia kecil tempat ia bisa menjadi dirinya yang sesungguhnya.
Udara pagi mulai menghangat. Dari jendela kecil di loteng, Sekar bisa melihat taman belakang, tempat Bu Sri dan Pak Slamet—mertuanya—sibuk mencabuti rumput liar dan mengatur pot bunga. Pasangan lansia itu tampak tenang, seperti biasa. Sesekali terdengar suara Bu Sri mengomel manja karena tanahnya keras, dan Pak Slamet menimpali dengan sabar.
"Pas banget," gumam Sekar. “Lagi anteng di kebun.”
Ia duduk perlahan. Jemarinya menyentuh mikrofon, lalu headset. Ia mengecek koneksi, membuka folder jingle, dan menghela napas panjang.
Tema hari ini: "Apa yang Tak Bisa Diceritakan."
Bibirnya tersenyum pelan, meski matanya menyimpan keraguan.
“Wah, tema hari ini agak rawan, ya…” katanya sambil menatap layar laptop.
Ia tahu, pendengarnya suka topik-topik personal, yang jujur, yang menyentuh relung hati. Tapi tema ini… terlalu dekat. Terlalu mirip dengan apa yang sedang ia rasakan akhir-akhir ini.
08.59.
Sekar menutup matanya sejenak. Dalam keheningan itu, tiba-tiba pikirannya kembali melayang. Hari itu. Hari yang mengubah segalanya.
Itu terjadi beberapa minggu lalu. Siaran hari Rabu. Awalnya biasa saja. Cerita dari pendengar tentang mertua cerewet, pasangan yang terlalu sibuk kerja, anak yang ogah sekolah. Tapi kemudian, suara itu masuk.
Suara laki-laki. Tua, berat, namun tenang. Anonim. Tak menyebut nama, tak menyebut asal.
"Saya ingin cerita, Mbak Sekar. Tapi tolong… jangan potong. Ini bukan cerita biasa. Ini tentang sebuah rumah, yang tampak bahagia… tapi menyimpan luka. Tentang dua orang yang terlihat rukun, tapi di dalamnya menyimpan rahasia yang belum pernah diselesaikan sampai hari ini."
Sekar sempat berpikir itu hanya cerita fiktif. Tapi saat si penelepon menyebut kalimat ini—
"Ada pintu yang tak boleh dibuka. Dan kamar yang tak pernah lagi dinyalakan lampunya sejak tahun itu."
—jantungnya seperti dihantam palu.
Karena ia tahu, rumah itu… adalah rumah ini. Rumah Pak Slamet dan Bu Sri.
Sekar membuka mata. Napasnya memburu. Tangannya gemetar saat menyentuh tombol siar. Tapi ia mencoba tersenyum.
09.00 tepat.
“Selamat pagi, para pendengar Menantu On Air... Apa kabar kalian pagi ini?” suara Sekar mengalun pelan, lembut, dan hangat di tengah udara yang masih dingin dari loteng mungilnya.
Tangannya menyentuh tombol fade in, lalu jingle lembut mengalun sejenak sebelum ia kembali bicara.“Hari ini kita ngobrol soal hal-hal yang... mungkin nggak selalu bisa diceritakan. Cerita-cerita yang tinggal di dada, ngendap di hati, tapi diam-diam minta dibuka pintunya,” Sekar tertawa kecil. “Dan seperti biasa, kalau kamu punya sesuatu yang ingin kamu bagi, kamu bisa hubungi aku sekarang juga. No judgment, ya. Di sini kita cuma saling dengar.”
Belum sampai lima menit siaran berjalan, sebuah panggilan masuk. Sekar mengecek layarnya, headset-nya sudah terpasang
Klik.
“Selamat pagi, kamu sedang di Menantu On Air bareng Sekar. Siapa di sana?”
Hening sejenak. Lalu terdengar suara perempuan muda. Lembut. Suaranya seperti baru saja selesai menangis.
“Pagi, Mbak Sekar... aku Rania.”
“Rania... terima kasih udah bergabung pagi ini. Kamu mau cerita apa?”
Suara di seberang terdengar ragu. Nafasnya terdengar di sela-sela diam. Sekar tidak menyela.
Lalu Rania bicara.
“Aku tahu ini bukan tempat yang tepat. Tapi aku nggak tahu harus cerita ke siapa. Ini tentang... seseorang yang seharusnya aku hormati. Tapi sekarang aku nggak tahu, harus takut... atau iba.”
Sekar membenarkan duduknya.
“Tenang, Rania. Kamu boleh cerita pelan-pelan. Aku dengerin. Kita semua dengerin, tanpa menghakimi.”
“Aku... menikah waktu umurku delapan belas, Mbak. Namaku Rania, dan suamiku—almarhum—namanya Rendi.”
Sekar mengerutkan dahi. Almarhum?
Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang
Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it
Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend
Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan
Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar
Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko