Share

Apa yang Tak Bisa Diceritakan...

Penulis: ArunaLys
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-28 20:00:37

Siaran radio Sekar perlahan menjadi buah bibir. Bukan di televisi, bukan pula lewat video viral seperti kebanyakan tren zaman ini, tapi justru dari frekuensi radio yang hampir terlupakan. Di tengah gempuran era digital, ketika semua berlomba-lomba menayangkan wajah dan kehidupannya ke layar-layar kaca mungil di genggaman tangan, Sekar memilih jalan sunyi: berbicara, bukan memperlihatkan.

Aneh, tapi justru itulah yang disukai pendengarnya.

“Menantu On Air”, begitu acara itu dikenal. Siaran yang hanya tayang dua kali seminggu—setiap hari Rabu dan Jumat, pukul sembilan pagi. Sebuah waktu yang tenang, ketika kota baru saja benar-benar terjaga dan para ibu rumah tangga sedang menyelesaikan pekerjaan terakhir sebelum duduk menyeruput teh atau kopi.

Hari ini Jumat. Langit masih pucat ketika Sekar membuka jendela dan merasakan udara lembab Subuh menampar pipinya yang dingin. Seperti biasa, ia sudah bangun lebih awal. Menanak nasi, menyeduh kopi untuk suaminya, menyetrika beberapa kemeja yang menumpuk. Semua dijalani nyaris tanpa suara, hanya irama napas dan detak jam dinding yang menemaninya.

Pukul delapan kurang sepuluh. Suaminya, Arya, berpamitan seperti biasa dengan kecupan cepat di dahi.

“Jangan capek-capek, ya,” katanya sambil mengancingkan jas kerjanya.

Sekar mengangguk dan tersenyum, “Iya. Hati-hati di jalan.”

Begitu pintu tertutup, Sekar langsung menoleh ke arah dapur. Masih ada cucian piring dan lantai dapur yang licin bekas minyak. Matanya melirik jam dinding.

08.03.

“Haduuuh... bisa telat ini,” gumamnya panik sambil menggulung lengan bajunya.

Tangannya mulai bergerak cepat—mencuci piring, menyapu remah di lantai, mengepel seadanya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah rak kecil tempat mikrofon siarannya berdiri anggun. Meski usianya tak muda, alat itu masih bekerja dengan baik, menjadi jembatan antara suara hati Sekar dan para pendengarnya yang entah siapa dan dari mana saja.

Ia suka siaran. Sangat.

Baginya, siaran itu semacam pelarian dari segala rutinitas yang kadang terasa menyesakkan.

Namun ada ketakutan yang selalu mengendap di balik semangatnya.

Siaran itu... bukan hanya hiburan. Kadang, Sekar terlalu jujur. Kadang, ia membahas sesuatu yang terlalu mirip dengan kehidupannya sendiri. Dan ia takut. Takut ada yang menyadari. Takut... mertuanya mendengar.

Sambil mencuci tangan, Sekar menatap pantulan wajahnya di cermin kecil di dekat wastafel.

“Apa aku keterlaluan ya, kalau terus siaran begini?” bisiknya lirih.

Tapi kemudian ia menggeleng, meyakinkan diri.

“Selama tidak menyebut nama, tidak membicarakan yang pribadi-pribadi… ini kan hanya curhat umum. Siapa yang tahu, kan?”

Ia kembali ke ruang tengah, memindahkan mikrofon ke posisi terbaik, mengecek laptop, dan mengenakan headset. Jam sudah menunjukkan pukul 08.49.

Detik-detik sebelum siaran selalu membuat jantung Sekar berdetak lebih cepat. Ada getar rasa gugup, tapi juga semacam kehangatan yang merayap pelan.

“Ibu-ibu pasti sudah nunggu,” katanya sambil duduk dan menarik napas panjang.

“Bismillah... hari ini kita ngobrol soal ‘apa yang tak bisa diceritakan’…”

Dan pada saat itu, ia belum tahu... bahwa hari ini, justru siarannya sendiri yang akan membuka sebuah cerita yang selama ini tak pernah berani ia sentuh.

Loteng itu bukan ruang mewah. Hanya satu lampu kuning menggantung di langit-langit rendah, rak buku yang setengah penuh, dan meja kayu kecil tempat Sekar menaruh mikrofon serta laptop tua pemberian suami. Tapi baginya, ruangan ini adalah dunia kecil tempat ia bisa menjadi dirinya yang sesungguhnya.

Udara pagi mulai menghangat. Dari jendela kecil di loteng, Sekar bisa melihat taman belakang, tempat Bu Sri dan Pak Slamet—mertuanya—sibuk mencabuti rumput liar dan mengatur pot bunga. Pasangan lansia itu tampak tenang, seperti biasa. Sesekali terdengar suara Bu Sri mengomel manja karena tanahnya keras, dan Pak Slamet menimpali dengan sabar.

"Pas banget," gumam Sekar. “Lagi anteng di kebun.”

Ia duduk perlahan. Jemarinya menyentuh mikrofon, lalu headset. Ia mengecek koneksi, membuka folder jingle, dan menghela napas panjang.

Tema hari ini: "Apa yang Tak Bisa Diceritakan."

Bibirnya tersenyum pelan, meski matanya menyimpan keraguan.

“Wah, tema hari ini agak rawan, ya…” katanya sambil menatap layar laptop.

Ia tahu, pendengarnya suka topik-topik personal, yang jujur, yang menyentuh relung hati. Tapi tema ini… terlalu dekat. Terlalu mirip dengan apa yang sedang ia rasakan akhir-akhir ini.

08.59.

Satu menit sebelum siaran.

Sekar menutup matanya sejenak. Dalam keheningan itu, tiba-tiba pikirannya kembali melayang. Hari itu. Hari yang mengubah segalanya.


Itu terjadi beberapa minggu lalu. Siaran hari Rabu. Awalnya biasa saja. Cerita dari pendengar tentang mertua cerewet, pasangan yang terlalu sibuk kerja, anak yang ogah sekolah. Tapi kemudian, suara itu masuk.

Suara laki-laki. Tua, berat, namun tenang. Anonim. Tak menyebut nama, tak menyebut asal.

"Saya ingin cerita, Mbak Sekar. Tapi tolong… jangan potong. Ini bukan cerita biasa. Ini tentang sebuah rumah, yang tampak bahagia… tapi menyimpan luka. Tentang dua orang yang terlihat rukun, tapi di dalamnya menyimpan rahasia yang belum pernah diselesaikan sampai hari ini."

Sekar sempat berpikir itu hanya cerita fiktif. Tapi saat si penelepon menyebut kalimat ini—

"Ada pintu yang tak boleh dibuka. Dan kamar yang tak pernah lagi dinyalakan lampunya sejak tahun itu."

—jantungnya seperti dihantam palu.

Karena ia tahu, rumah itu… adalah rumah ini. Rumah Pak Slamet dan Bu Sri.

Sekar membuka mata. Napasnya memburu. Tangannya gemetar saat menyentuh tombol siar. Tapi ia mencoba tersenyum.

09.00 tepat.

“Selamat pagi, para pendengar Menantu On Air... Apa kabar kalian pagi ini?” suara Sekar mengalun pelan, lembut, dan hangat di tengah udara yang masih dingin dari loteng mungilnya.

Tangannya menyentuh tombol fade in, lalu jingle lembut mengalun sejenak sebelum ia kembali bicara.“Hari ini kita ngobrol soal hal-hal yang... mungkin nggak selalu bisa diceritakan. Cerita-cerita yang tinggal di dada, ngendap di hati, tapi diam-diam minta dibuka pintunya,” Sekar tertawa kecil. “Dan seperti biasa, kalau kamu punya sesuatu yang ingin kamu bagi, kamu bisa hubungi aku sekarang juga. No judgment, ya. Di sini kita cuma saling dengar.”

Belum sampai lima menit siaran berjalan, sebuah panggilan masuk. Sekar mengecek layarnya, headset-nya sudah terpasang

Klik.

“Selamat pagi, kamu sedang di Menantu On Air bareng Sekar. Siapa di sana?”

Hening sejenak. Lalu terdengar suara perempuan muda. Lembut. Suaranya seperti baru saja selesai menangis.

“Pagi, Mbak Sekar... aku Rania.”

“Rania... terima kasih udah bergabung pagi ini. Kamu mau cerita apa?”

Suara di seberang terdengar ragu. Nafasnya terdengar di sela-sela diam. Sekar tidak menyela.

Lalu Rania bicara.

“Aku tahu ini bukan tempat yang tepat. Tapi aku nggak tahu harus cerita ke siapa. Ini tentang... seseorang yang seharusnya aku hormati. Tapi sekarang aku nggak tahu, harus takut... atau iba.”

Sekar membenarkan duduknya.

“Tenang, Rania. Kamu boleh cerita pelan-pelan. Aku dengerin. Kita semua dengerin, tanpa menghakimi.”

“Aku... menikah waktu umurku delapan belas, Mbak. Namaku Rania, dan suamiku—almarhum—namanya Rendi.”

Sekar mengerutkan dahi. Almarhum?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    "Pintu yang Selalu Terkunci"

    Hari ini Menantu On Air sedang libur. Tapi jangan buru-buru mikir Sekar bisa leyeh-leyeh sambil sheet mask-an nonton drama Korea. Justru, saat mikrofon dimatikan, pekerjaan rumah hidup-hidup datang menagih janji: dari cucian baju yang melambai minta disentuh, sampai sapu lantai yang kayaknya udah ngegerundel di pojokan karena dicuekin.“Enak ya jadi ibu rumah tangga, di rumah terus…”Ucapan klasik dari umat yang belum tahu kerasnya hidup bareng ember cucian dan nyetrika baju suami sambil nahan lapar karena belum sempat sarapan.Sekar sering pengen bales,“Betul, di rumah terus... bareng cucian, kompor, dan setrikaan. Kita tim Hore Hore Habis Lelah.”Tapi yaudah lah, cuk

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Setiap rumah memiliki rahasia

    “Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.“Lalu?” bisiknya.“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”Sekar menutup mulutnya, terkejut.“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Apa yang Tak Bisa Diceritakan...

    Siaran radio Sekar perlahan menjadi buah bibir. Bukan di televisi, bukan pula lewat video viral seperti kebanyakan tren zaman ini, tapi justru dari frekuensi radio yang hampir terlupakan. Di tengah gempuran era digital, ketika semua berlomba-lomba menayangkan wajah dan kehidupannya ke layar-layar kaca mungil di genggaman tangan, Sekar memilih jalan sunyi: berbicara, bukan memperlihatkan.Aneh, tapi justru itulah yang disukai pendengarnya. “Menantu On Air”, begitu acara itu dikenal. Siaran yang hanya tayang dua kali seminggu—setiap hari Rabu dan Jumat, pukul sembilan pagi. Sebuah waktu yang tenang, ketika kota baru saja benar-benar terjaga dan para ibu rumah tangga sedang menyelesaikan pekerjaan terakhir sebelum duduk menyeruput teh atau kopi.Hari ini Jumat. Langit masih pucat ketika Sekar membuka jendela dan merasakan udar

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Ketukan dari Masa Lalu ....

    Sudah setengah tahun Sekar tinggal di rumah mertua—rumah tua berlantai dua yang tampak kokoh dari luar, namun menyimpan banyak gema sunyi di dalamnya. Dari loteng kecil yang kini ia sulap menjadi ruang siaran, Sekar memulai acaranya. Ia hanya ingin menemani para pendengar dengan suara musik lawas dan obrolan ringan, tapi siapa sangka, dari mikrofon berdesis pelan itu, satu per satu rahasia keluarga mulai bermunculan.Sore itu, di tengah siarannya, sebuah panggilan masuk.“Halo, selamat malam. Anda bersama Sekar di Menantu On Air. Silakan, siapa di sana?” Suaranya ramah, senada dengan alunan instrumental di latar belakang.Terdengar jeda sebentar sebelum suara di ujung sana menjawab, lirih namun tajam menusuk.“Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, rumah yang Mbak tempati sekarang… bukan milik ibu mertua Mbak.”Sekar tersentak. Jemarinya seketika berhenti memainkan fader mixer. Senyap. Bahkan musik latar seolah turut menahan napas.“Maaf...? Maksud Anda...?” tanyanya, berusaha menjaga na

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Temuan Radio Tua

    TTak terasa, enam bulan telah berlalu sejak Sekar resmi menyandang gelar baru: menantu. Enam bulan yang diam-diam menggoreskan banyak rasa, mengajarkannya membaca diam, menyulam sabar, dan melipat kata-kata yang belum sempat terucap. Hari-harinya tak selalu terang, tapi juga belum tentu gelap. Ia belajar menyeimbangkan langkah di rumah yang tak dibangun dari ingatannya.Sore itu, sinar matahari mengintip malu lewat kisi-kisi jendela ruang tengah. Sekar tengah merapikan bantal kursi, menyapu debu yang menempel di kayu jati, ketika suara dari dapur memanggil namanya.“Sekar…”Suara Ibu mertua, berat dan berwibawa, seperti biasanya.Sekar menoleh, buru-buru menyeka keringat dari pelipisnya.“Ya, Bu. Ada apa?”Langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri lorong yang kini mulai terasa tak asing, tapi belum bisa disebut rumah.“Ibu sedikit capek. Tolong ambilkan kursi jati dari loteng, ya? Ada tamu nanti sore. Sekar bisa, kan?”Sekar mengangguk, bibirnya tersenyum kecil meski sorot matanya menyi

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Menantu yang Beradaptasi

    Menantu yang Beradaptasi Itu Bernama SekarNamanya Sekar. Seorang perempuan muda yang baru saja menyandang gelar istri, sekaligus menantu. Tak lama setelah akad suci itu terucap, ia pun resmi menetap di rumah keluarga suaminya—rumah yang asing namun kini harus ia sebut "rumah".Hari-harinya dimulai dengan perasaan campur aduk: canggung, ragu, dan sedikit kikuk. Setiap sudut rumah itu menyimpan aturan tak tertulis yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada kebiasaan yang berbeda, ritme yang tak sama, dan harapan-harapan halus yang menggantung di udara, menantinya untuk memahami, menyesuaikan, lalu menyatu.Namun Sekar bukan perempuan lemah. Di balik tatapan lembutnya, tersimpan tekad untuk belajar, menerima, dan tumbuh. Sebab ia tahu, menjadi bagian dari keluarga baru bukan soal diterima begitu saja—tapi juga tentang keberanian untuk memahami dan bersabar. Sore itu, selepas membereskan pekerjaan rumah yang seakan tak pernah habis, Sekar duduk di tepi ranjang dengan secangkir teh melati yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status