Share

Ketukan dari Masa Lalu ....

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-06-26 20:12:33

Sudah setengah tahun Sekar tinggal di rumah mertua—rumah tua berlantai dua yang tampak kokoh dari luar, namun menyimpan banyak gema sunyi di dalamnya. Dari loteng kecil yang kini ia sulap menjadi ruang siaran, Sekar memulai acaranya. Ia hanya ingin menemani para pendengar dengan suara musik lawas dan obrolan ringan, tapi siapa sangka, dari mikrofon berdesis pelan itu, satu per satu rahasia keluarga mulai bermunculan.

Sore itu, di tengah siarannya, sebuah panggilan masuk.

Halo, selamat malam. Anda bersama Sekar di Menantu On Air. Silakan, siapa di sana?” Suaranya ramah, senada dengan alunan instrumental di latar belakang.

Terdengar jeda sebentar sebelum suara di ujung sana menjawab, lirih namun tajam menusuk.

Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, rumah yang Mbak tempati sekarang… bukan milik ibu mertua Mbak.

Sekar tersentak. Jemarinya seketika berhenti memainkan fader mixer. Senyap. Bahkan musik latar seolah turut menahan napas.

Maaf...? Maksud Anda...?” tanyanya, berusaha menjaga nada agar tetap tenang.

Rumah itu masih sengketa warisan. Dan... ibu mertua Mbak... dia punya utang lama ke keluarga almarhum ayah suaminya. Belum dibayar sampai sekarang.

Sekar menelan ludah. Mulutnya kering.

Anda... siapa...?” tanyanya perlahan, hampir seperti bisikan.

Seseorang yang tahu. Hati-hati, Mbak. Keluarga yang tampak utuh belum tentu tanpa retak.

Lalu sambungan itu terputus.

Hanya tersisa denging halus dari speaker tua dan detak jantung Sekar yang makin tak teratur. Ia menatap mikrofon di depannya—perangkat kecil yang selama ini jadi saksi bisu kejujuran dan harapan. Kini, ia seperti berubah jadi lubang hitam tempat rahasia-rahasia lama terlempar kembali ke permukaan.

Tangannya gemetar. Pandangannya kabur oleh bening di pelupuk mata.

Apa yang baru saja terjadi...?” gumamnya sendiri.

Ia menoleh ke jendela kecil di loteng, melihat ke bawah, ke arah taman belakang tempat ibu mertuanya sering menyiram anggrek sore-sore. Perempuan itu tampak tenang, seolah tak pernah menyimpan luka. Tapi Sekar kini tahu, di balik sikap tegas dan wajah tanpa ekspresi itu, ada sejarah yang belum pernah diucap... dan mungkin tak pernah diminta untuk dimengerti.

Beberapa malam sebelumnya, Sekar menerima telepon lain dari seorang pendengar. Seorang perempuan, terdengar paruh baya.

Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, ibu mertua Mbak dulu pernah jual semua perhiasannya, lho, demi nyekolahin tiga anaknya. Suaminya meninggal waktu anak-anak masih kecil. Gak ada yang tahu itu. Dia gak pernah cerita. Tapi saya lihat dengan mata kepala sendiri. Saya tetangganya dulu.

Sekar hanya bisa membisu. Air matanya jatuh, diam-diam.

Ada pula yang menelepon menceritakan bahwa suaminya—anak lelaki yang kini tidur di kamar sebelahnya setiap malam—dulu kecilnya membantu ibunya berdagang, memanggul sayuran dari pasar ke pasar, kaki lecet, kulit menghitam.

Cerita demi cerita datang. Seperti mozaik yang lama terserak dan kini perlahan disusun kembali.

Siaran radio kecil itu, yang dulu diniatkan sebagai ruang ngobrol ringan antara menantu dan pendengar, tanpa diduga menjadi semacam ruang pengakuan. Sebuah altar kecil tempat luka lama diobati lewat kata-kata.

Namun malam ini... telepon tadi berbeda.

Itu bukan sekadar kisah pengorbanan atau haru masa lalu. Itu luka. Luka yang masih basah.

Sekar termenung lama setelah siaran ditutup lebih awal. Ia turun pelan-pelan dari loteng, langkahnya berat. Di ruang tengah, ibu mertuanya duduk mengupas mangga. Matanya menoleh sebentar.

“Udah selesai siarannya?”

“Sudah, Bu...” jawab Sekar pelan. Ia ragu menatap wajah perempuan itu.

Sunyi menggantung di antara mereka. Hanya terdengar suara pisau yang mengupas kulit mangga dan detik jam dinding yang bergerak perlahan.

Sekar membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tidak sekarang, pikirnya. Belum saatnya.

Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang berubah. Ada ruang baru yang terbuka, tempat pengertian mulai tumbuh. Ia tahu, suatu saat, akan tiba waktunya untuk bicara jujur—bukan hanya sebagai menantu, tapi sebagai perempuan yang mulai memahami bahwa setiap ibu membawa beban yang tak selalu bisa terlihat, dan setiap rumah memiliki luka yang butuh lebih dari sekadar waktu untuk sembuh.

Malam merambat pelan. Sekar duduk sendirian di ruang siar yang kini hanya diterangi lampu meja. Mikrofon di depannya tak lagi mengeluarkan suara, tapi seakan masih menyimpan gema percakapan yang tak selesai. Tangannya masih menggenggam kertas catatan, meski tak satu pun huruf yang tertulis bisa ia pahami sekarang. Pikirannya kacau.

"Rumah ini bukan milik ibu mertuamu. Masih sengketa warisan."

Ucapan penelepon tadi menggema seperti gaung yang tak kunjung padam.

"Dan dia punya utang lama yang belum dibayar."

Sekar bersandar, mencoba mengatur napas. Tapi dada ini sesak. Lebih dari marah, ia merasa dikhianati oleh kenyataan—oleh harapan-harapan yang telah ia tanam sejak memutuskan menikah, tinggal bersama, dan mencoba menjadi bagian dari rumah ini.

"Kenapa aku harus tahu ini dari orang asing? Bukan dari suamiku? Bukan dari ibu sendiri?"

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipi. Bukan karena rasa sakit. Tapi karena kecewa. Karena dia selama ini berusaha memahami, berkompromi, menyesuaikan diri. Ia rela menyingkirkan banyak hal dari dirinya agar bisa cocok—agar bisa dianggap “bagian dari keluarga”.

Tapi ternyata… yang tampak tenang di permukaan, menyimpan riak yang belum pernah benar-benar reda.

Sekar berjalan ke jendela loteng. Cahaya kota terlihat jauh di luar sana. Angin malam menyusup masuk lewat celah kaca yang tak rapat. Dingin, seperti perasaannya malam ini.

"Apa aku sudah terlalu naif? Terlalu percaya bahwa setiap keluarga hanya butuh komunikasi dan kasih sayang? Bahwa semuanya akan baik-baik saja asal kita saling terbuka?"

Ia teringat bagaimana suaminya selalu berkata,

Sudahlah, Sayang, Ibu memang begitu orangnya. Tegas, bukan berarti tidak sayang.

Tapi sekarang, Sekar bertanya-tanya… apakah sang suami tahu? Apakah dia menyimpan rahasia itu bersama ibunya? Atau selama ini juga hanya menjadi bagian dari cerita yang tak lengkap?

Ia menatap meja siaran. Di atasnya ada potret kecil yang ia simpan—foto pernikahannya, di mana ia tersenyum lebar di samping suaminya. Di belakang mereka, ibu mertua berdiri dengan wajah datar. Tak ada senyum, tak ada sentuhan. Tapi Sekar kala itu tak peduli. Ia hanya melihat masa depan.

Kini, potret itu terasa seperti teka-teki.

Senyuman itu… benarkah benar? Atau hanya semu?

Sekar menggenggam foto itu.

“Kenapa aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri…?” bisiknya pelan.

Ia merasa seakan tengah berdiri di tepi jurang—bukan karena ingin melompat, tapi karena harus memilih. Mundur dan pura-pura tidak tahu? Atau melangkah maju dan menghadapi semua kebenaran, sekeras apa pun itu?

Pergolakan itu menyesakkan. Ia mencintai suaminya. Ia menghargai ibu mertuanya, meski kadang penuh luka. Tapi sekarang, ia merasa seperti boneka yang disimpan dalam rumah yang dindingnya menyimpan bisik-bisik, bukan kejujuran.

"Apa gunanya aku mengudara tiap malam, mengajak orang bicara jujur... kalau di rumah ini sendiri, tak ada yang mau berkata sebenarnya?"

Tiba-tiba ada langkah kaki di tangga. Suaminya.

Sekar...? Kamu belum tidur?

Ia buru-buru menyeka air matanya, menyembunyikan foto pernikahan itu di balik tumpukan catatan siaran.

Belum. Masih ngerapihin file...

Tadi siaran oke?” tanya sang suami sambil memijat lehernya yang kelelahan.

Sekar menoleh, menatapnya. Laki-laki yang telah ia pilih untuk ia temani seumur hidup. Tapi kini, ia merasa ada sekat yang belum pernah ia sadari sebelumnya.

Ia ingin bertanya langsung.

Ingin menumpahkan semuanya.

Tapi bibirnya kelu.

Ia hanya berkata pelan, “Mas... kamu yakin semua yang kita tahu tentang rumah ini... itu benar?

Suaminya menoleh. “Maksud kamu?

Sekar menatap matanya. Dalam. Mencari celah kejujuran.

Namun yang ia temukan hanya kebingungan. Mungkin pura-pura. Mungkin juga memang tidak tahu apa-apa.

Nggak, cuma ngerasa... banyak hal yang nggak pernah dibicarain, ya?

Suaminya tertawa kecil. “Namanya juga keluarga, Sayang. Gak semuanya harus tahu. Kadang tahu kebanyakan malah bikin gak tenang.

Sekar tersenyum kecil.

Tapi hatinya justru makin sunyi.

Dan di situlah pergolakan itu tetap tinggal. Mengendap seperti air hujan di sudut loteng—diam, tapi pasti akan merembes ke dalam.

Sekar tahu, malam ini bukan akhir. Tapi permulaan dari kebenaran yang mungkin harus ia gali, sendiri...

sebuah ketukan di masa lalu yang penuh rahasia ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    MENANTU ON AIR

    Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Waktu yang Tak Pernah Kembali

    Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Renungan Batin

    Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Malam-Malam Pertama Jinara

    Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    EMPAT PERAN WANITA

    Malam turun perlahan, membawa udara sejuk dan wangi bunga kenanga dari halaman. Di teras rumah yang sederhana itu, lampu kuning menggantung lembut, menciptakan cahaya hangat di antara gelapnya langit.Sekar duduk di kursi rotan, mengenakan selimut tipis di bahunya. Di pangkuannya, segelas teh hangat mengepul. Di sampingnya, Bu Ambar, ibunya, duduk sambil mengusap pelan tangan putrinya — seperti dulu, ketika Sekar masih kecil dan sering takut tidur sendirian.Dari dalam rumah terdengar samar suara tawa pelan.Pak Surya sedang berbincang dengan Arya, membicarakan hal-hal kecil — pekerjaan, tanggung jawab, dan pengalaman menj

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Ketemu Kakek dan Nenek

    Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, jatuh lembut di wajah mungil Jinara Aryasatya yang masih meringkuk di pelukan ibunya. Sekar membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk, lalu tersenyum kecil melihat bayinya menggeliat pelan, menguap dengan suara kecil seperti desah burung.“Selamat pagi, Nak…” bisiknya lembut, mengelus rambut hitam halus di ubun-ubun Jinara.Tak lama, Arya masuk dari dapur, masih memakai kaus yang kusut dan rambut yang berdiri acak-acakan. Di tangannya, dua cangkir teh hangat mengepul.“Selamat pagi, dua cinta hatiku,” katanya, suaranya parau tapi lembut. Ia meletakkan teh di meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Jinara dengan wajah campur kagum dan gugup.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status