Sudah setengah tahun Sekar tinggal di rumah mertua—rumah tua berlantai dua yang tampak kokoh dari luar, namun menyimpan banyak gema sunyi di dalamnya. Dari loteng kecil yang kini ia sulap menjadi ruang siaran, Sekar memulai acaranya. Ia hanya ingin menemani para pendengar dengan suara musik lawas dan obrolan ringan, tapi siapa sangka, dari mikrofon berdesis pelan itu, satu per satu rahasia keluarga mulai bermunculan.
Sore itu, di tengah siarannya, sebuah panggilan masuk.
“Halo, selamat malam. Anda bersama Sekar di Menantu On Air. Silakan, siapa di sana?” Suaranya ramah, senada dengan alunan instrumental di latar belakang.
Terdengar jeda sebentar sebelum suara di ujung sana menjawab, lirih namun tajam menusuk.
“Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, rumah yang Mbak tempati sekarang… bukan milik ibu mertua Mbak.”
Sekar tersentak. Jemarinya seketika berhenti memainkan fader mixer. Senyap. Bahkan musik latar seolah turut menahan napas.
“Maaf...? Maksud Anda...?” tanyanya, berusaha menjaga nada agar tetap tenang.
“Rumah itu masih sengketa warisan. Dan... ibu mertua Mbak... dia punya utang lama ke keluarga almarhum ayah suaminya. Belum dibayar sampai sekarang.”
Sekar menelan ludah. Mulutnya kering.
“Anda... siapa...?” tanyanya perlahan, hampir seperti bisikan.
“Seseorang yang tahu. Hati-hati, Mbak. Keluarga yang tampak utuh belum tentu tanpa retak.”
Lalu sambungan itu terputus.
Hanya tersisa denging halus dari speaker tua dan detak jantung Sekar yang makin tak teratur. Ia menatap mikrofon di depannya—perangkat kecil yang selama ini jadi saksi bisu kejujuran dan harapan. Kini, ia seperti berubah jadi lubang hitam tempat rahasia-rahasia lama terlempar kembali ke permukaan.
Tangannya gemetar. Pandangannya kabur oleh bening di pelupuk mata.
“Apa yang baru saja terjadi...?” gumamnya sendiri.
Ia menoleh ke jendela kecil di loteng, melihat ke bawah, ke arah taman belakang tempat ibu mertuanya sering menyiram anggrek sore-sore. Perempuan itu tampak tenang, seolah tak pernah menyimpan luka. Tapi Sekar kini tahu, di balik sikap tegas dan wajah tanpa ekspresi itu, ada sejarah yang belum pernah diucap... dan mungkin tak pernah diminta untuk dimengerti.
Beberapa malam sebelumnya, Sekar menerima telepon lain dari seorang pendengar. Seorang perempuan, terdengar paruh baya.
“Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, ibu mertua Mbak dulu pernah jual semua perhiasannya, lho, demi nyekolahin tiga anaknya. Suaminya meninggal waktu anak-anak masih kecil. Gak ada yang tahu itu. Dia gak pernah cerita. Tapi saya lihat dengan mata kepala sendiri. Saya tetangganya dulu.”
Sekar hanya bisa membisu. Air matanya jatuh, diam-diam.
Ada pula yang menelepon menceritakan bahwa suaminya—anak lelaki yang kini tidur di kamar sebelahnya setiap malam—dulu kecilnya membantu ibunya berdagang, memanggul sayuran dari pasar ke pasar, kaki lecet, kulit menghitam.
Cerita demi cerita datang. Seperti mozaik yang lama terserak dan kini perlahan disusun kembali.
Siaran radio kecil itu, yang dulu diniatkan sebagai ruang ngobrol ringan antara menantu dan pendengar, tanpa diduga menjadi semacam ruang pengakuan. Sebuah altar kecil tempat luka lama diobati lewat kata-kata.
Namun malam ini... telepon tadi berbeda.
Itu bukan sekadar kisah pengorbanan atau haru masa lalu. Itu luka. Luka yang masih basah.
Sekar termenung lama setelah siaran ditutup lebih awal. Ia turun pelan-pelan dari loteng, langkahnya berat. Di ruang tengah, ibu mertuanya duduk mengupas mangga. Matanya menoleh sebentar.
“Udah selesai siarannya?”
“Sudah, Bu...” jawab Sekar pelan. Ia ragu menatap wajah perempuan itu.
Sunyi menggantung di antara mereka. Hanya terdengar suara pisau yang mengupas kulit mangga dan detik jam dinding yang bergerak perlahan.
Sekar membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tidak sekarang, pikirnya. Belum saatnya.
Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang berubah. Ada ruang baru yang terbuka, tempat pengertian mulai tumbuh. Ia tahu, suatu saat, akan tiba waktunya untuk bicara jujur—bukan hanya sebagai menantu, tapi sebagai perempuan yang mulai memahami bahwa setiap ibu membawa beban yang tak selalu bisa terlihat, dan setiap rumah memiliki luka yang butuh lebih dari sekadar waktu untuk sembuh.
Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang
Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it
Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend
Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan
Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar
Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko