Tring... Tring... Tring...
Tommy melirik layar ponsel itu. Nomor tidak dikenal. Tak ada nama. Tak ada riwayat pesan sebelumnya. Ia mengerutkan dahi. Ponsel itu hanya ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Tiffany, ayah mertua, dan ibu mertuanya. Ia tak memiliki teman dekat, apalagi kerabat. Hidupnya memang sesederhana itu. Maka tak heran, ia ragu-ragu mengangkat panggilan tersebut. Namun entah mengapa, ada dorongan kuat dalam hatinya. Ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. “Halo?” sapanya pelan. Dari seberang, terdengar suara perempuan muda yang terdengar profesional dan ramah. “Apakah ini benar dengan Tuan Tommy Justine?” Tommy menegakkan tubuhnya. “Ya, saya sendiri. Dengan siapa ini?” “Selamat siang, Tuan Tommy. Saya Rina, dari HRD Bright Company. Kami telah menerima lamaran pekerjaan Anda dan setelah melalui proses seleksi internal, kami memutuskan untuk menerima Anda bergabung bersama perusahaan kami pada posisi office boy, sesuai dengan posisi yang Anda lamar sebelumnya.” Sejenak Tommy terdiam. Butuh beberapa detik sebelum kabar itu benar-benar terserap ke dalam pikirannya. Matanya melebar. Senyum perlahan merekah di wajahnya yang kelelahan. “Benarkah? Astaga... terima kasih banyak atas kabar baik ini, Nona Rina. Saya... saya benar-benar berterima kasih,” ucap Tommy, suaranya terdengar penuh semangat. “Kapan saya bisa mulai bekerja?” “Besok pagi, silakan datang ke kantor Bright Company pukul 08.00 dengan pakaian rapi. Kita akan melakukan proses pemberkasan karyawan baru terlebih dahulu, setelah itu Anda bisa langsung mulai bekerja.” “Baik! Terima kasih banyak, Nona. Saya akan datang tepat waktu. Ini benar-benar berarti banyak untuk saya.” “Sama-sama, Tuan Tommy. Sampai jumpa besok.” Panggilan berakhir, namun semangat Tommy belum juga surut. Senyumnya tak kunjung hilang dari wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak menikah dengan Tiffany, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan. Sebuah kesempatan nyata untuk bisa membantu keluarga dan berdiri di atas kaki sendiri. Selama hampir dua tahun terakhir, ia hanya berada di rumah. Semua karena larangan dari mendiang kakek Tiffany yang, entah karena alasan apa, tidak mengizinkan Tommy bekerja. Mungkin karena ia ingin Tommy tetap tinggal di rumah untuk menjaga Tiffany, atau mungkin karena alasan lain yang tak pernah benar-benar dijelaskan. Yang jelas, larangan itu membelenggu hidup Tommy. Sore harinya, saat matahari sudah mulai condong ke barat, Tiffany pulang dari kantornya. Begitu pintu rumah terbuka, ia disambut aroma teh hangat yang sudah tersaji di meja. Tommy menyambutnya di depan pintu dengan senyum lebar dan ekspresi yang penuh semangat. “Selamat datang, Sayang,” ucap Tommy sembari menarik kursi untuk Tiffany. Tiffany mencium aroma teh, lalu menoleh ke Tommy sambil tersenyum lembut. “Wah, kamu kelihatan senang banget hari ini. Ada kabar baik?” Tommy duduk di sebelahnya, lalu dengan nada tenang namun penuh antusiasme berkata, “Sayang... aku diterima kerja. Bright Company menelepon siang tadi. Besok aku mulai kerja sebagai office boy.” Tiffany menatap suaminya lekat-lekat. Namun tak ada rasa malu di wajahnya. Tidak ada sedikit pun keraguan atau rasa tidak percaya. Justru ia terlihat begitu bangga. “Selamat ya, Tommy. Akhirnya kamu dapat pekerjaan juga. Aku tahu kamu pasti bisa,” ucap Tiffany. “Tapi... kamu yakin ingin ambil pekerjaan itu? Gajinya mungkin nggak terlalu besar.” Tommy mengangguk mantap. “Aku yakin. Memang cuma office boy. Tapi aku ingin membantu keuangan keluarga, walaupun sedikit. Setidaknya aku nggak hanya diam di rumah dan menunggu dimaki setiap hari. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bisa berusaha.” Tiffany tersenyum . “Aku bangga padamu, Tom. Aku akan selalu dukung apa pun yang kamu pilih.” Tommy tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dihargai. Meski hanya office boy, langkah kecil itu terasa seperti awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Namun di balik rasa syukur dan kebahagiaan itu, Tommy tak tahu bahwa takdir tengah menyusun kejutan lain untuknya. **** Sore itu, kehangatan menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka. Aroma teh masih menggantung di udara, dan cahaya matahari senja masuk dari jendela, memantulkan cahaya keemasan di dinding kayu yang mulai kusam. Tiffany menatap Tommy dengan mata berbinar. Ia tahu, meskipun pekerjaan suaminya hanya sebagai office boy, keberanian dan semangat Tommy untuk bangkit dari keterpurukan jauh lebih berharga dari sekadar jabatan. Dengan senyum yang lebar, Tiffany berkata pelan, namun penuh makna, “Bagaimana kalau... kita rayakan?” Tommy menoleh, sedikit terkejut. “Rayakan? Maksudmu... kita merayakan kabar ini?” Tiffany mengangguk sambil tersenyum, lalu menyesap teh hangatnya. “Tentu saja. Ini kabar besar. Kamu sudah berusaha begitu lama. Bukan soal pekerjaan apa, Tom... tapi soal keberanianmu untuk mencoba lagi. Aku bangga.” Tommy tertawa kecil, lalu menggeleng. “Tapi, Sayang... aku hanya diterima sebagai office boy. Itu pekerjaan paling dasar di perusahaan.” Tiffany langsung meraih tangan suaminya dan menggenggam erat. “Tommy... bukan jenis pekerjaannya yang penting, tapi keberanianmu untuk mengambilnya. Kamu memilih untuk bekerja, untuk berdiri di kaki sendiri, dan itu jauh lebih penting dari gelar atau gaji besar. Apapun pekerjaanmu, aku akan selalu mendukungmu.” Tommy menatap wajah istrinya lekat-lekat. Ada rasa haru yang memenuhi dadanya. Ia tak menyangka, di balik sikap anggun dan pendiam Tiffany, tersembunyi kekuatan besar yang selalu menjadi penopangnya selama ini. Dengan penuh rasa syukur, Tommy mengangguk perlahan. “Baiklah... kalau begitu, kita rayakan.” Tiffany tersenyum senang. “Kita makan malam saja di restoran dekat rumah, bagaimana? Yang penting kita bisa duduk bersama, bersyukur atas awal yang baru.” Tommy tampak setuju. “Itu ide bagus. Tidak perlu mewah, yang penting bersama.” Tiffany menambahkan, “Aku juga ingin menyampaikan beberapa hal dari meeting hari ini. Ada banyak yang terjadi di kantor, dan aku ingin mendiskusikannya bersama kalian semua. Aku akan menelpon Ayah dan Ibu, siapa tahu mereka mau ikut bergabung.” Tommy terdiam sejenak, tapi kemudian mengangguk pelan. “Baik, semoga mereka tidak sedang sibuk.” Ia tahu, makan malam bersama bisa menjadi momen penting untuk mempererat kembali hubungan mereka yang akhir-akhir ini sedikit renggang karena masalah rumah tangga dan keuangan. Tiffany lalu berdiri dan berjalan ke kamar untuk mandi dan setelah itu mengambil ponselnya untuk menghubungi ayah dan ibunya. Sementara itu, Tommy masih duduk di kursinya, memandangi secangkir teh yang mulai dingin. Di hatinya, ia merasa hari ini adalah titik awal dari perubahan besar dalam hidupnya.Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang
Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan
Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr
Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad
Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk
Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t