Pagi itu, rumah sederhana Tiffany dipenuhi dengan aura kegembiraan yang meluap. Aroma kopi dan roti panggang berpadu dengan tawa renyah Tiffany yang baru saja melompat dari pelukan sahabat lamanya, Sabrina White. Sabrina tiba tepat waktu, diantar sebuah taksi mewah. Penampilannya elegan namun praktis, memancarkan aura seorang wanita karir yang percaya diri, jauh berbeda dari gadis kecil yang Tiffany ingat. Rambut cokelat gelapnya tergerai rapi, dan senyumnya cerah, namun ada kilatan ambisi di matanya.
"Sabrina! Ya ampun, aku tidak percaya ini!" Tiffany berseru, matanya berkaca-kaca saat memeluk Sabrina erat. "Kau benar-benar di sini! Rasanya sudah berabad-abad!"Sabrina tertawa kecil, membalas pelukan itu tak kalah hangat. "Tentu saja, Tiff! Aku sudah bilang aku akan datang, kan? Lihat dirimu! Kau semakin cantik saja, dan sekarang direktur! Aku bangga sekali padamu!"Gerald dan Nathalia segera menghampiri, senyum lebar menghiasi wajah mereka. "Sabrina, SaySetelah meninggalkan showroom Mercedes Benz dengan senyum dingin, Tommy langsung melangkahkan kakinya ke showroom di sebelahnya: BMW. Ia tidak menyia-nyiakan waktu. Pramuniaga wanita dari Mercedes Benz yang tadi meremehkannya masih mengawasi dari balik kaca, dengan tatapan mengejek. Namun, begitu Tommy memasuki showroom BMW, ia disambut dengan suasana yang berbeda.Di pintu masuk, seorang pramuniaga muda—wajahnya menunjukkan bahwa ia baru saja diterima bekerja—menghampiri Tommy dengan senyum ramah dan tulus.."Hey, dia hanya pria miskin yang sok punya uang untuk melihat mobil, abaikan saja dia!" teriak pramuniaga sombong dari showroom Mercedes Benz, suaranya melengking menembus kaca.Pramuniaga BMW itu sejenak menoleh ke arah sumber suara, namun ia segera mengabaikannya. Matanya kembali menatap Tommy dengan senyum profesional. "Selamat siang, Tuan. Apakah Anda datang untuk melihat-lihat mobil di tempat kami? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya lembut.Tommy
Pagi di rumah sederhana keluarga Tommy di pinggir kota Levin dimulai dengan riang. Aroma masakan sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi udara, berpadu dengan gelak tawa Tiffany dan Sabrina yang sudah akrab kembali. "Wah, harum sekali!" seru Sabrina, melangkah ke meja makan tempat Tommy sedang menata piring. Rambutnya sudah tertata rapi, dan pakaian kerjanya menunjukkan kesiapan penuh. "Oh, kamu sudah bangun, Sabrina? Kenapa pagi sekali?" tanya Tommy, menyunggingkan senyum hangat. Ia meletakkan sepiring roti panggang dan telur di hadapan Sabrina. "Ya, ini hari pertama bekerja, Tom, jadi aku harus lebih awal memulai hari," jawab Sabrina, matanya berbinar penuh semangat. Ia menyesap teh yang disajikan Tommy. "Selamat pagi, Sabrina, selamat pagi, Tom," sapa Tiffany, muncul dari kamarnya dengan wajah cerah, mengenakan setelan kantor yang rapi. "Selamat pagi, Sayang," balas Tommy, senyumnya melunak. Tiffany mengambil tempat duduk di samping Sabrina. "Bagaimana tidurnya, Bri? Nyeny
Pagi itu, rumah sederhana Tiffany dipenuhi dengan aura kegembiraan yang meluap. Aroma kopi dan roti panggang berpadu dengan tawa renyah Tiffany yang baru saja melompat dari pelukan sahabat lamanya, Sabrina White. Sabrina tiba tepat waktu, diantar sebuah taksi mewah. Penampilannya elegan namun praktis, memancarkan aura seorang wanita karir yang percaya diri, jauh berbeda dari gadis kecil yang Tiffany ingat. Rambut cokelat gelapnya tergerai rapi, dan senyumnya cerah, namun ada kilatan ambisi di matanya."Sabrina! Ya ampun, aku tidak percaya ini!" Tiffany berseru, matanya berkaca-kaca saat memeluk Sabrina erat. "Kau benar-benar di sini! Rasanya sudah berabad-abad!"Sabrina tertawa kecil, membalas pelukan itu tak kalah hangat. "Tentu saja, Tiff! Aku sudah bilang aku akan datang, kan? Lihat dirimu! Kau semakin cantik saja, dan sekarang direktur! Aku bangga sekali padamu!"Gerald dan Nathalia segera menghampiri, senyum lebar menghiasi wajah mereka. "Sabrina, Say
Malam itu, setelah hari-hari penuh gejolak di Lewis Group mulai menunjukkan stabilitas berkat campur tangan tak terlihat Tommy, suasana di rumah sederhana Tiffany terasa lebih tenang. Tiffany, meski masih sibuk dengan tugas barunya sebagai direktur proyek Jowstone, kini membawa pulang senyum yang lebih tulus. Beban di pundaknya sedikit terangkat, dan ia merasa ada secercah harapan baru.Tiffany duduk di sofa ruang tamu, jari-jemarinya asyik berselancar di layar ponsel, menggeser-geser lini masa Instagram. Sesekali ia tertawa kecil melihat video lucu, sesekali mengangguk membaca berita ringan. Tommy sedang menyiapkan teh hangat di dapur, aroma melati memenuhi udara. Sementara itu, Gerald tenggelam dalam koran sorenya, sesekali bergumam mengomentari berita ekonomi, dan Nathalia dengan tekun merajut syal musim dingin di sudut ruangan, benang-benang warna biru tua dan putih melilit di jemarinya. Sebuah pemandangan keluarga yang hangat dan akrab.Tiba-tiba, senyum lebar
Pagi-pagi sekali, jauh sebelum fajar menyingsing di Levin, saat Tiffany masih terlelap lelah setelah hari yang penuh gejolak, Tommy sudah terjaga. Ia menyelinap keluar dari kamar, menuju sebuah ruangan kecil di sudut rumah yang jarang terpakai. Bukan untuk latihan fisik berat seperti bela diri yang ia anggap tak lagi relevan, melainkan untuk sebuah ritual kuno yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya: bertapa. Giok Lu Bu, yang kini terukir samar di punggung tangannya, berdenyut lembut, memanggilnya. Tommy duduk bersila di lantai, memejamkan mata. Ia mulai mengatur napas, menarik udara masuk dengan perlahan, merasakan energi kosmis mengisi paru-parunya. Fokusnya adalah menyeimbangkan energi Yin dan Yang dalam tubuhnya, sebuah proses esensial untuk menguasai kekuatan giok sepenuhnya. Selama bertapa, tubuhnya tidak bergerak, namun di dalam, pusaran energi berputar, menguatkan setiap sel dan saraf. Ia merasakan peningkatan kekuatan fisik yang luar biasa, seolah setiap otot
Pagi hari setelah malam yang penuh drama di GreenHouse Hotel terasa bagaikan lembaran baru bagi Lewis Group, namun dengan nuansa yang sangat berbeda. Alih-alih kepanikan dan keputusasaan, gelombang kelegaan dan kebingungan melanda kantor pusat. Kabar pembatalan kontrak dengan Jowstone Group yang tadinya telah menghantam seperti meteor, kini mendadak berganti haluan. Telepon-telepon di meja resepsionis berdering tak henti, namun kali ini bukan kabar buruk, melainkan pertanyaan dan konfirmasi ulang dari mitra-mitra bisnis. Saham Lewis Group, yang sempat anjlok ke titik terendah, mulai merangkak naik dengan kecepatan yang mencengangkan, membalikkan grafik merah menjadi hijau pekat. Sebuah pengumuman resmi dari Jowstone Group, yang disebarkan luas melalui media massa dan saluran bisnis, menyatakan bahwa "kesalahpahaman internal" di Lewis Group telah diselesaikan, dan kerja sama akan dilanjutkan sepenuhnya, dengan Tiffany Lewis sebagai direktur yang bertanggung jawab atas proyek tersebut.