Keesokan paginya, Annisa kembali ke rumah karena dia harus berganti pakaian sebelum berangkat ke kantor. Suasana hatinya sudah jauh lebih baik dari pada semalam. Meskipun, dia masih merasa malu atas keputusan bodohnya yang sudah melamar Zidane, padahal tak ada hubungan apa pun di antara mereka sebelumnya, kecuali atasan dan karyawan.
"Tazkia Annisa! Dari mana saja kamu jam segini baru ingat pulang?"
Annisa mendesah kasar saat mendengar suara bariton seorang pria yang sangat familiar menyapa telinga. Langkah kaki yang hendak menaiki anak tangga pun terpaksa terhenti, kemudian Annisa memutar tubuh untuk melihat orang yang baru saja memanggilnya. Iris mata gadis itu berubah menjadi dingin dengan seulas senyum miring menghiasi bibirnya.
"Memangnya kenapa? Bukankah biasanya Papa gak pernah peduli dengan apa pun yang kulakukan?" jawab Annisa sinis. "Kenapa sekarang tiba-tiba ingin tahu aku prgi ke mana saja?" tanyanya lagi.
Rahang Reza Buana --Ayah kandung Annisa-- mengeras mendengar perkataan Annisa yang berhasil menyinggung perasaannya.
"Jaga bicaramu, Nisa! Papa perhatikan semakin ke sini sikapmu semakin kurang ajar," geram Reza.
Pria paruh baya yang sudah siap berangkat ke kantor itu berjalan mendekati Annisa yang masih bergeming di tempatnya.
"Pergi ke mana kamu semalam setelah mempermalukan Papa di hadapan keluarga Yogi, hah?!" Reza mambentak. Iris mata tua itu menatap tajam wajah Annisa yang nampak acuh tak acuh.
"Bukankah istri tercinta Papa juga sudah mempermalukanku semalam? Jadi, seharusnya sudah impas," sahut Annisa tak acuh yang berhasil membuat Reza mendelik geram.
Beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar menghampiri Reza sambil membawa tas kerja milik suaminya itu. Wajahnya terlihat masam saat mengetahui Annisa bersama Reza, tetapi dalam sekejap saja ia bisa mengubah ekspresinya menjadi sangat manis dan tenang.
"Nisa, kamu sudah pulang, Sayang? Mama merasa bersalah dan sangat mengkhawatirkanmu semalam," ucap Sarah --ibu tiri Annisa-- dengan suara yang terdengar sedih yang dibuat-buat.
Annisa melirik dan tersenyum sinis ke arah ibu tirinya. Tamparan yang mendarat di wajahnya semalam masih terngiang dalam ingatan.
Sarah berjalan mendekati Annisa dan meraih kedua tangannya dengan lembut setelah beberapa detik yang lalu memberikan tas kerja yang dibawanya kepada Reza.
"Maafkan Mama, Nisa. Mama tidak bermaksud menyakiti dan mempermalukanmu, sungguh. Mama refleks melakukannya karena tidak tahan lagi dengan sikapmu yang buruk sehingga membuat papamu malu," ucap Sarah, memelas.
Annisa menjauhkan tangannya dari ibu tirinya. "Bukankah itu yang selama ini ingin kamu lakukan kepadaku, Nyonya? Apa sekarang kau sudah merasa puas?" ucap Annisa, sinis.
"Jaga sikapmu, Nisa! Apa yang dilakukan oleh mamamu itu sudah benar. Kamu memang pantas ditampar atas sikap burukmu! Mamamu melakukan semua itu untuk mendidikmu, bukan seperti yang selama ini kau pikirkan," ujar Reza membela istrinya.
"Seharusnya kamu berperilaku baik kepada Yogi dan keluarganya. Seharusnya kamu bersyukur karena Papa menjodohkanmu dengan Yogi. Dia seorang pria yang baik dan juga berasal dari keluarga baik-baik," tegas Reza sambil menatap wajah Annisa dengan mata elangnya.
"Iya, Nisa. Lagi pula setahu Mama dulu kamu pernah menjalin hubungan dengan Yogi. Jadi, kalian tidak akan kesulitan menjalani perjodohan ini. Kami melakukannya demi kebaikanmu, Nisa." Sarah menimpali perkataan suaminya.
Wanita paruh baya itu memang sangat pandai dalam berakting. Mungkin karena itu jugalah yang membuat dia bisa berhasil mendapatkan simpati Reza hingga diperistri oleh ayah kandung Annisa itu.
"Mamaku?" ucap Annisa sinis. Sepersekian detik kemudian gadis itu tersenyum simpul. "Dia bukan mamaku! Dia itu hanya orang lain yang sudah merebut Papa dariku!" tegas Annisa penuh penekanan dalam setiap kata-katanya.
Masih terngiang dalam benak Annisa bagaimana sikap Sarah dan anaknya yang selalu berusaha menjauhkannya dari Reza, hingga pria paruh baya itu seolah melupakan bahwa Annisa putri kandungnya yang seharusnya dia bela dan lindungi.
"Berhenti mengatakan bahwa perjodohan itu demi kebaikanku! Papa tidak tahu pria seperti apa yang sudah Papa jodohkan denganku. Dia itu seorang pengkhianat!" ujar Annisa dengan suara bergetar dan sorot mata yang berkaca-kaca.
"Yogi itu bukan pria baik-baik seperti yang Papa pikirkan. Dia pernah berselingkuh dariku! Bagaimana mungkin sekarang aku mau menerima seseorang yang pernah berkhianat dan memberikan luka kepadaku?" ucap Annisa lagi, penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Reza bungkam setelah mendengar pengakuan Annisa mengenai Yogi. Iris mata yang menyerupai elang itu menatap dalam-dalam wajah putrinya dengan sorot yang sulit diartikan.
"Semua itu 'kan terjadi di masa lalu, Nis. Sekarang Yogi sudah berubah dan menjadi lebih baik. Mama dan Papa sangat yakin dia akan membuatmu bahagia setelah menikah nanti," Sarah berucap dengan suara rendah, membujuk. Namun, Annisa sama sekali tak termakan bujukannya. Gadis berhijab itu malah tersenyum sumbang, mengejek perkataan ibu tirinya.
"Bahagia?" Annisa mengejek. "Lagi pula, anak perempuan di rumah ini bukan hanya aku saja. Kenapa kalian tidak coba untuk menjodohkan anak perempuan kalian yang lain untuk menggantikanku?" ujar Annisa sarkas.
"Tentu saja itu tidak bisa terjadi. Yogi hanya ingin menikah denganmu saja, Nisa. Lagi pula, adikmu Maudy sudah memiliki kekasih saat ini." Sarah langsung menyangkal ide bodoh Annisa.
Gadis berhijab itu terdiam selama beberapa detik sambil menatap wajah Sarah dan Reza secara bergantian dengan sorot mata yang sulit diartikan. Menit berikutnya dia mendesah kasar, kemudian berujar, "Aku juga sudah memiliki kekasih. Dia jauh lebih baik dari pada pria pilihan kalian!"
Annisa bersandar pada pintu kamar sambil memejamkan mata. Dia menghela napas panjang untuk menetralkan kembali perasaannya. Setelah merasa lebih baik, gadis itu langsung mengganti pakaian, kemudian bergegas pergi ke kantor.Mata Annisa menyipit begitu ia memasuki ruang kerjanya. Seketika pandangan gadis itu berubah menjadi datar dengan raut wajah yang menunjukkan rasa tidak senang melihat keberadaan Yogi di ruangannya."Sedang apa kamu di sini?" tanya Annisa, sinis. "Jangan bersikap kurang ajar dengan memasuki ruangan orang tanpa izin dari pemiliknya!" tegasnya lagi penuh penekanan.Tanpa memandang pria yang ia lewati, gadis itu berjalan menuju meja kerjanya, kemudian duduk di kursi putar kebesarannya tanpa menghiraukan keberadaan Yogi yang sejak tadi menunggu kedatangannya.Annisa mulai menyibukan diri memeriksa dokumen yang sudah menumpuk di atas mejanya, dengan tenang.Yogi tersenyum simpul. Dia nampak sangat tenang menghadapi ketidakpedulian An
"Papa ingin bertemu dengan pria itu," ucap Reza dengan suara rendah tetapi tegas.Alis Annisa saling berpaut memperlihatkan segurat garis halus di dahinya. Jelas terlihat bahwa gadis itu tidak paham dengan maksud perkataan papanya."Kamu bilang sudah memiliki kekasih 'kan? Ajak dia menemui Papa siang ini," ucap Reza lagi. Kali ini pria paruh baya itu memperjelas maksud perkataannya.Annisa melongo dan mengejapkan mata dua kali. Demi apa pun, dia tak menyangka hal ini akan terjadi. Tiba-tiba saja Reza ingin bertemu dengan pria yang Annisa cintai, padahal sebenarnya gadis itu sama sekali belum memiliki kekasih."Ma- maksud Papa-""Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Nisa. Papa ingin memastikan bahwa pria itu layak bersanding dengan putri Papa," ucap Reza, memotong perkataan Annisa.Annisa bergeming sambil menatap dalam-dalam mata tajam papanya yang sulit diartikan. Gadis itu mencoba menebak sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Reza.M
Kedua alis Annisa saling berpaut sehingga memperlihatkan segurat garis halus di keningnya. Tajam, iris matanya menatap wajah Zidane dengan sorot yang sulit diartikan."Aku ingin memberikan jawabannya hari ini. Apa kamu masih ingin mendengarnya sekarang?" tanya Zidane dengan suara rendah tetapi serius.Annisa bergeming selama beberapa detik dengan tidak mengalihkan pandangan dari pria yang duduk di depannya. Sekeras mungkin otaknya berusaha untuk menebak jawaban apa yang akan dikatakan oleh Zidane kepadanya.Mungkinkah pria itu akan menolak?Tidak!Annisa tidak akan menerima penolakan. Walau apa pun yang terjadi, Zidane harus mau membantunya kali ini. Mungkin, hal ini terdengar sangat egois, tetapi Annisa tidak peduli."Jadi, apa jawabanmu?" tanya Annisa. Meski dalam hatinya merasa gugup dan takut penolakan, tetapi gadis itu berusaha tetap terlihat tenang.Terdengar suara helaan napas panjang ke luar dari mulut Zidane. Pria berparas ta
"Assalammualaikum, Pa," sapa Annisa.Pria paruh baya yang sedang duduk di meja ruangan khusus salah satu restoran ternama itu menoleh, menatap wajah putrinya yang baru saja datang menghampiri."Waalaikumsalam," jawab Reza.Dia mengangkat tangan kiri dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu sudah terlambat lima belas menit. Papa baru saja akan pergi dari sini," ucapnya dengan suara tegas.Reza melihat ke belakang tubuh Annisa, mencari keberadaan seseorang. Iris tua itu menyipit, menatap wajah Annisa dengan sorot penuh tanya saat tak melihat keberadaan siapa pun bersama anak gadisnya itu."Kamu datang sendirian?" tanya Reza menyelidik.Annisa menghela napas panjang berusaha tetap terlihat tenang di hadapan papanya. Gadis itu menarik kursi yang ada di depan Reza hanya terhalang oleh meja, kemudian mendudukinya."Maaf aku terlambat, ada hal penting yang harus aku selesaikan terlebih dulu sebelum datang ke sini," ucap
Reza menatap Zidane dengan pandangan yang terlihat merendahkan setelah mengetahui kebenaran tentang identitasnya yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan itu pun di kafe buku milik Annisa. Zidane tidak menutup-nutupi semua tentang dirinya yang hanya seorang pemuda biasa. Tak ada harta kekayaan dan juga kemewahan yang bisa dia perlihatkan saat ini. Namun, Zidane mengatakan bahwa dirinya serius ingin menjadikan Annisa sebagai istrinya. "Apa kamu gila?!" pekik Reza. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas sambil menatap tajam wajah Zidane. "Berani-beraninya orang miskin sepertimu ingin menikah dengan putriku!" geramnya lagi, penuh penekanan. "Pa!" seru Annisa. Dia tidak senang dengan sikap papanya yang sudah menyakiti hati Zidane. Gadis anggun itu baru saja ingin membuka mulut untuk mendebat papanya, tetapi Zidane segera mencegah dengan cara menepuk pelan punggung telapak tangannya. Zidane menggelengkan kepala begitu Annisa menoleh ke arahnya.
"A-apa?" Annisa terkejut mendengar perkataan Reza. Gadis itu menatap wajah papanya dengan sorot tak percaya, kemudian beralih ke arah Zidane, meminta penjelasan. "Ke-kenapa tiba-tiba? Papa tidak sedang bercanda bukan?" tanyanya lagi, bingung. Reza menoleh ke arah Zidane sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. "Apa Papa terlihat seperti sedang bercanda?" Reza balik bertanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Annisa. "Ya, tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi?" tanya Annisa. Gadis itu masih bingung, tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Dia mencoba meminta penjelasan kepada Zidane, tetapi pria itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kamu tanyakan saja semuanya kepada calon suamimu. Papa harus balik ke kantor sekarang, ada meeting penting," ucap Reza. Tanpa menunggu sahutan dari putrinya, pria paruh baya itu langsung berge
"Saya terima nikah dan kawinnya Tazkia Annisa Buana binti Reza Buana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai!"Kaliamat yang diucapkan oleh Zidane secara tegas dan lantang satu jam yang lalu masih terngiang di dalam ingatan Annisa. Hatinya bergetar merasakan antara bahagia dan sedih secara bersamaan.Pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak terjadi kepada dirinya.Memang, tidak ada yang memaksanya untuk menikah dengan Zidane. Semua itu terjadi atas rencana yang dibuat oleh Annisa sendiri. Namun, Annisa tak menyesalinya karena jauh di dalam hati, dia menginginkan Zidane untuk menjadi pendamping hidupnya."Aku tidak menyangka, ternyata selera Kak Annisa itu rendahan!" sindir Maudy, adik tiri Annisa sambil tersenyum mengejek.Rupanya, Maudy sengaja berdiri di depan kamar Annisa dan menunggunya ke luar hanya untuk mengejek."Ganteng, sih, tapi miskin," sambung
"Apa kamu tidak mau turun, Nona?" tanya Zidane.Suara itu berhasil menarik Annisa dari lamunannya. Dia mengejapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kening yang berkerut. Annisa pun turun dari mobilnya dengan ragu-ragu mengikuti suaminya."Apa kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Annisa.Dia menatap Zidane yang sedang menurunkan koper di dalam bagasi. Pria itu menoleh, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku tinggal di salah satu apartemen yang ada di gedung ini."Tak ada percakapan lagi di antara pasangan pengantin baru itu. Keduanya berjalan memasuki gedung dalam keheningan.Sesuai perjanjian, Zidane mengajukan syarat yang salah satunya adalah, bahwa setelah menikah Annisa akan ikut dan tinggal bersama di mana pun Zidane berada."Masuklah!" Zidane mempersilakan Annisa masuk ke rumahnya.Annisa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan berukuran kecil yang didominasi dengan cat berwarna putih. Hanya ada satu kama