"Jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu, Annisa!" Zidane memaksakan sebuah senyuman untuk terlukis di wajahnya. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, niatnya yang hendak pulang dia urungkan. 'Sungguh ada masalah besar yang sedang dihadapinya,' batin Zidane. Ia merasa Annisa mendadak menjadi gila.
Dua pasang mata berwarna cokelat itu saling menatap satu sama lain, seolah sedang menyelami kedalaman pikiran masing-masing.
"Aku serius. Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Annisa.
Pria tampan itu tertawa kecil. Kepalanya menggeleng pelan, menyangkal percakapan mengejutkan yang terlontar dari mulut majikannya.
Pria normal mana yang mampu menolak pesona seorang Annisa? Dilihat dari segi mana pun, dia nampak sempurna.
Cantik, berprestasi, walau berasal dari keluarga kaya, tetapi Annisa bukan tipe gadis yang suka berfoya-foya menghabiskan uang dan memanfaatkan jabatan orang tuanya untuk menindas orang lain.
“Aku hanya pria miskin yang kebetulan menyelamatkanmu malam itu,” ujar Zidane, merujuk kepada kejadian bulan lalu yang mana Annisa hampir diperkosa sejumlah preman. "Tak hanya itu, aku adalah pelayan di kafemu, pekerjamu,” tambah pria itu. “Bahkan dengan semua itu, kamu bisa-bisanya suka kepadaku?” Alis kanan Zidane meninggi dengan sebuah senyuman nakal terlukis di bibirnya, membuatnya terlihat sangat menggoda.
Annisa mendesah kasar dan mengerlingkan matanya, malas.
"Jangan ge-er! Aku terpaksa mengatakannya karena terdesak," sahut Annisa ketus. Iris cokelatnya melirik Zidane, sekilas. "Aku tidak mau dijodohkan dengan pria yang pernah menghianatiku. Itu sebabnya aku memintamu menikah. Aku pikir itu bukan ide yang buruk."
"Tapi kenapa aku?" tanya Zidane, penasaran. Dia seperti ingin mengetahui alasan Annisa lebih dalam lagi.
"Ya, karena hanya kamu yang terlintas dipikiranku. Setidaknya dengan pernikahan ini, kita sama-sama diuntungkan. Aku bebas dari perjodohan dan kamu ... aku bisa membayarkan semua utang-utangmu kepada rentenir. Bagaimana menurutmu?" ujar Annisa.
Ini benar-benar sangat mengejutkan dan diluar dugaan Zidane.
"Jadi, maksudmu kita akan menikah kontrak seperti cerita di film-film? Hei, bagaimana mungkin seorang gadis sepertimu berpikir seperti itu? Kamu yang lebih tahu pernikahan bukanlah sebuah permainan," kata Zidane.
Pria itu berjalan masuk kembali ke ruangan Annisa dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Jadi menurutmu, kita harus menikah sungguhan, begitu?" tanya Annisa sarkas.
"Bu-bukan begitu maksudku. Ah ... entahlah! Aku sungguh tidak mengerti pikiranmu," jawab Zidane.
Annisa mendesah kasar. Dia membenarkan posisi berdirinya, kemudian mengambil tas miliknya di atas meja.
"Aku akan pulang sekarang. Kamu bisa pikirkan baik-baik tawaranku tadi dan segera memberi jawabannya. Kita akan bicara lagi nanti," ujar Annisa.
Gadis itu pergi tanpa menunggu sahutan dari lawan bicaranya. Sementara Zidane masih geming menatap pantulan bayangan Annisa yang perlahan menghilang dari pandangannya.
*
"Apa katamu? Apa aku tidak salah mendengar? Kamu baru saja bilang kalau kamu melamar karyawan baru itu."
Nayra, sahabat dekat Annisa terkejut begitu mendengar pengakuan Annisa baru saja.
Selepas dari Kafe Buku, Annisa tidak pulang ke rumahnya. Gadis itu lebih memilih tinggal di rumah sahabatnya sebagai pelarian dan untuk menenangkan pikiran.
"Ya, kamu tidak salah mendengar," sahut Annisa bernada malas.
Nayra terbelalak, terkejut. "Apa kamu sudah gak waras, Nisa? Dari sekian banyak pria di muka bumi ini, kenapa harus dia yang kamu pilih?" tanyanya, tak percaya.
"Oh, jangan bilang kalau kamu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan menjadikan perjodohan sebagai alasan untuk mendapatkannya?" Nayra mulai menduga-duga isi pikiran Annisa.
"Ya, anggap saja begitu."
Di luar dugaan. Annisa sama sekali tak menyangkal tebakan Nayra. Gadis itu bahkan nampak tenang saat mengatakannya.
"Nis?" panggil Nayra dengan ekspresi yang masih terkejut.
Annisa yang sedang berbaring di kasur besar milik Nayra sambil memainkan ponselnya langsung menoleh, hanya sekilas.
"Apa?"
"Aku benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran kamu sekarang. Tolong jangan bertindak gegabah tentang pernikahan. Ini menyangkut hidup dan masa depanmu, Nis," ujar Nayra menasihati.
Annisa menghela napas panjang. "Kamu bahkan baru saja mengatakan kalimat yang sama dengannya."
Sejujurnya Annisa juga tak mengerti dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dia memang ingin menghindari perjodohan. Terlepas dari semua itu, ajakannya menikah kepada Zidane bukanlah sekedar main-main.
Bila bicara tentang perasaan, memang ada sedikit rasa kagum dan nyaman yang dirasakannya saat bersama Zidane. Namun, Annisa belum bisa memastikan apakah itu cinta atau sebatas mengagumi.
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu