Annisa bersandar pada pintu kamar sambil memejamkan mata. Dia menghela napas panjang untuk menetralkan kembali perasaannya. Setelah merasa lebih baik, gadis itu langsung mengganti pakaian, kemudian bergegas pergi ke kantor.
Mata Annisa menyipit begitu ia memasuki ruang kerjanya. Seketika pandangan gadis itu berubah menjadi datar dengan raut wajah yang menunjukkan rasa tidak senang melihat keberadaan Yogi di ruangannya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Annisa, sinis. "Jangan bersikap kurang ajar dengan memasuki ruangan orang tanpa izin dari pemiliknya!" tegasnya lagi penuh penekanan.
Tanpa memandang pria yang ia lewati, gadis itu berjalan menuju meja kerjanya, kemudian duduk di kursi putar kebesarannya tanpa menghiraukan keberadaan Yogi yang sejak tadi menunggu kedatangannya.
Annisa mulai menyibukan diri memeriksa dokumen yang sudah menumpuk di atas mejanya, dengan tenang.
Yogi tersenyum simpul. Dia nampak sangat tenang menghadapi ketidakpedulian Annisa. Pria berperawakan tinggi dan berparas rupawan itu berjalan penuh percaya diri mendekati meja kerja Annisa dengan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana.
"Aku tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menemui calon istriku sendiri," sahut Yogi.
Annisa yang saat itu sedang memeriksa file-file untuk ditandatangani pun menghentikan aktivitasnya. Matanya mendelik geram, tak senang mendengar perkataan Yogi.
"Jangan bermimpi! Cabut kembali perkataanmu itu, karena aku bukan calon istrimu. Kamu bukan siapa-siapa bagiku!" tegas Annisa, penuh penekanan.
Seulas senyum miring terukir di wajah Yogi saat mendengar penolakan dari Annisa. Dia menatap wajah sang gadis dengan sorot mengejek.
"Faktanya sebentar lagi kita akan menikah, Sayang. Dan kita akan hidup bersama, dengan bahagia," sahut Yogi penuh percaya diri.
Kedua tangan Annisa mengepal erat di atas meja. Gadis itu menoleh dan sedikit mendongak untuk melihat wajah Yogi yang terlihat tak tahu malu di matanya. Beberapa detik kemudian, Annisa pun beranjak dari duduknya dan berdiri sejajar berhadapan dengan Yogi.
"Menikah?" tanyanya sinis, dengan pandangan menyapu pria yang berdiri sok percaya diri di depannya, dari atas ke bawah.
"Denganmu?" tanyanya lagi dengan diiringi tawa kecil mengejek. Sangat menyebalkan!
"Memangnya siapa yang mau menerima pria pengkhianat sepertimu? Aku tidak sudi!" tegas Annisa, serius.
Rahang Yogi mengeras mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Annisa kepadanya. Sorot mata yang semula terlihat biasa saja, seketika berubah menjadi tajam bersiap menerkam. Tak tahan lagi atas penghinaan tersebut, Yogi pun mencengkram pergelangan tangan Annisa kuat-kuat.
"Jaga sikapmu, Annisa! Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi milikku. Hanya milikku!" tegas Yogi penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Annisa meringis kesakitan dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman mantan kekasihnya.
"Lepasin! Jangan kurang ajar kamu, Yogi!" ujar Annisa sembari mengempaskan tangannya. Dia memijit pelan pergelangan tangan yang memerah karena perbuatan Yogi.
Deru napas Annisa menaik turun tak beraturan akibat menahan emosi dalam dada. Tajam iris matanya membalas tatapan pria di hadapannya tanpa rasa takut.
"Asal kamu tahu juga, sampai kapan pun aku gak akan pernah menikah sama kamu! Walau di dunia ini sudah tidak ada lagi lelaki lain, lebih baik aku tidak menikah seumur hidupku dari pada harus bersama denganmu!" tegas Annisa penuh penekanan.
Yogi tersulut emosi dan geram atas sikap angkuh Annisa. Dia berniat ingin melakukan sesuatu kepada gadis itu, tetapi niatnya tertahan karena seseorang membuka pintu secara tiba-tiba.
"Papa," gumam Annisa saat melihat sosok papanya masuk.
Annisa menatap tajam wajah Yogi beberapa detik, sebelum akhirnya memalingkan wajahnya ke arah lain. Merasa sangat muak dengan tindakan Yogi yang sangat tidak tahu malu dan kurang ajar.
"Paman," sapa Yogi sopan. Dia langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi tenang dengan semburat senyum manis terukir di bibirnya.
Pria berparas tampan itu membenarkan jas yang dikenakannya, kemudian berjalan menghampiri Reza yang masih bergeming di depan pintu dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Kamu di sini?" tanya Reza kepada Yogi.
"Ya, Paman. Aku sengaja mampir sebentar karena ingin bertemu dengan putri Paman. Aku merindukannya," sahut Yogi dengan suara rendahnya.
Dia tersenyum ramah kepada Reza, kemudian menoleh ke arah Annisa yang juga sedang menatapnya sengit.
Reza hanya mengangguk, setelah itu dia berjalan mendekati Annisa di meja kerjanya. Sementara Yogi pergi meninggalkan ruangan itu setelah sebelumnya berpamitan kepada Reza.
Annisa menghela napas panjang, kemudian kembali duduk di kursinya dan mengambil kembali dokumen yang sebelumnya sudah ia baca sebagian.
"Ada apa Papa menemuiku?" tanya Annisa tak acuh.
Reza terdiam selama beberapa detik sambil memperhatikan putrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tak lantas mendapat sahutan dari sang ayah, Annisa pun mengalihkan pandangannya, mendongak menatap wajah Reza.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Annisa, merasa heran. Kedua alisnya saling berpaut disertai mata yang menyipit. "Bila Papa menemuiku hanya untuk membicarakan perjodohanku dengan Yogi, maaf, aku tidak tertarik untuk mendengarnya," tegasnya lagi.
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu