"Papa ingin bertemu dengan pria itu," ucap Reza dengan suara rendah tetapi tegas.
Alis Annisa saling berpaut memperlihatkan segurat garis halus di dahinya. Jelas terlihat bahwa gadis itu tidak paham dengan maksud perkataan papanya.
"Kamu bilang sudah memiliki kekasih 'kan? Ajak dia menemui Papa siang ini," ucap Reza lagi. Kali ini pria paruh baya itu memperjelas maksud perkataannya.
Annisa melongo dan mengejapkan mata dua kali. Demi apa pun, dia tak menyangka hal ini akan terjadi. Tiba-tiba saja Reza ingin bertemu dengan pria yang Annisa cintai, padahal sebenarnya gadis itu sama sekali belum memiliki kekasih.
"Ma- maksud Papa-"
"Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Nisa. Papa ingin memastikan bahwa pria itu layak bersanding dengan putri Papa," ucap Reza, memotong perkataan Annisa.
Annisa bergeming sambil menatap dalam-dalam mata tajam papanya yang sulit diartikan. Gadis itu mencoba menebak sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Reza.
Mungkin kah pria paruh baya itu bersungguh-sungguh akan menerima pria pilihannya, atau justru sedang merencanakan hal lain yang tak terduga?
Belum sempat gadis berhijab itu mengungkapkan rasa penasarannya terhadap sang papa, tetapi pria paruh baya itu lebih dulu berbalik dan sempat berkata sesuatu sebelum pergi.
"Jangan lupa, siang ini temui Papa!" ucap Reza. Pria itu benar-benar pergi tanpa menunggu sahutan dari putrinya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pria mana yang akan aku kenalkan kepada Papa, sementara aku tidak sedang dekat dengan siapa pun saat ini?" Annisa mendesah kasar merasa sangat frustrasi.
Dia menyandarkan punggungnya pada penyangga kursi sambil berpikir mencari jalan keluar untuk permasalahan yang sedang dia hadapi saat ini. Siapa orang yang bisa dia mintai tolong sekarang?
"Zidane?" gumam Annisa spontan.
"Tapi, apakah dia mau membantuku?" gumamnya lagi. Dia merasa tidak yakin Zidane setuju membantunya.
"Aaaargh! Bahkan aku masih merasa malu kepadanya." Annisa teringat kembali akan kekonyolannya malam itu.
Namun, kali ini ia tidak memiliki cara lain selain membujuk Zidane agar setuju untuk membantunya karena dia tidak ingin benar-benar menikah dengan Yogi.
Annisa mengambil ponsel di dalam tasnya. Dia berniat menghubungi Zidane, tetapi sayangnya gadis itu tak menyimpan nomor Zidane di ponselnya.
"Aish! Bahkan aku tidak memiliki nomor ponselnya," gerutu Annisa kesal sambil melempar ponselnya ke atas meja.
Annisa menggelengkan pelan kepalanya yang mulai terasa berat setelah beberapa detik terdiam memikirkan masalahnya. Gadis itu bergegas menyelesaikan pekerjaannya yang masih menumpuk agar bisa selesai sebelum jam makan siang. Gadis itu juga meminta sekretarisnya untuk membatalkan jadwal acara hari ini.
***
Di kafe buku, Zidane nampak sedang melayani pengunjung yang datang ke kafenya.
Memiliki paras karismatik dan rupawan membuat pria itu banyak disukai kaum wanita termasuk para pengunjung remaja. Tak jarang beberapa dari mereka datang ke kafe buku hanya karena ingin melihat ketampanan Zidane.
"Gimana? Kamu berhasil dapat nomor ponselnya?" tanya seorang gadis remaja berseragam SMA kepada teman perempuan seusianya yang baru saja duduk di mejanya.
Percakapan itu tak sengaja terdengar oleh Annisa yang baru saja masuk ke kafe buku. Awalnya, Annisa tak menghiraukan tingkah dua remaja itu. Namun, begitu dia tahu siapa orang yang sedang dibicarakan, gadis itu menjadi tertarik.
"Berhasil," sahut gadis remaja itu sambil memperlihatkan ponsel kepada temannya. Nampak jelas semburat senyum merekah di bibirnya.
Semua itu tak lepas dari perhatian Annisa yang masih berdiri di dekat meja gadis remaja itu. Dia melihat bagaimana mereka terus mencuri-curi pandang kepada Zidane.
"Kenapa tidak masuk?" tanya Zidane kepada Annisa dengan sikap ramah dan sopan.
Entah sejak kapan Zidane sudah ada di depannya. Yang jelas, Annisa cukup terkejut dengan kehadiran pria itu.
"Kamu mengenal mereka?" tanya Annisa datar sambil melihat ke arah dua gadis remaja di depannya.
Zidane mengikuti arah pandangan bosnya kemudian menjawab, "Mereka pengunjung tetap di sini. Kenapa? Apa mereka membuat masalah denganmu?"
"Tidak," ucap Annisa singkat.
Dia melenggang pergi melewati Zidane hendak ke ruangannya. Baru saja beberapa langkah, gadis itu kembali menoleh ke belakang.
"Temui aku diruanganku. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Annisa masih bernada datar yang langsung mendapat respons sebuah anggukkan kepala oleh Zidane.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dan kafe pun mulai agak sepi, Zidane mendatangi ruang kerja Annisa. Dia juga tidak lupa membuatkan cokelat hangat untuk Annisa.
Zidane terpaku selama beberapa detik di ambang pintu, menatap Annisa yang sedang fokus memainkan ponselnya. Dari sorot mata pria itu, nampak seperti sedang memikirkan sesuatu tentang bosnya.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Zidane selepas dia mengetuk pintu.
Mendengar suara Zidane, Annisa pun menoleh ke arah pintu.
"Tidak," sahut Annisa datar.
Sejauh ini, Zidane masih belum paham karakter Annisa yang sebenarnya. Pasalnya sikap gadis berhijab itu selalu berubah-ubah. Terkadang manis, terkadang dingin dan ketus, tetapi bukan sosok bos yang menyebalkan bagi para karyawannya.
"Masuklah!" titahnya tanpa menatap wajah Zidane.
Zidane masuk ke ruangan Annisa, kemudian menyimpan cangkir berisi cokelat hangat buatannya di atas meja. Gadis itu menoleh sekilas, lalu mengucapkan terima kasih dan langsung mencoba minuman tersebut. Sementar itu Zidane menarik kursi di depan meja Annisa dan mendudukinya.
Keheningan tercipta selama beberapa menit di ruangan itu. Keduanya sama-sama disibukan dengan pikiran masing-masing yang sedang mencoba untuk merangkai kata.
"Tentang tawaranmu kemarin, apakah itu masih berlaku sekarang?" tanya Zidane.
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu