Kedua alis Annisa saling berpaut sehingga memperlihatkan segurat garis halus di keningnya. Tajam, iris matanya menatap wajah Zidane dengan sorot yang sulit diartikan.
"Aku ingin memberikan jawabannya hari ini. Apa kamu masih ingin mendengarnya sekarang?" tanya Zidane dengan suara rendah tetapi serius.
Annisa bergeming selama beberapa detik dengan tidak mengalihkan pandangan dari pria yang duduk di depannya. Sekeras mungkin otaknya berusaha untuk menebak jawaban apa yang akan dikatakan oleh Zidane kepadanya.
Mungkinkah pria itu akan menolak?
Tidak!
Annisa tidak akan menerima penolakan. Walau apa pun yang terjadi, Zidane harus mau membantunya kali ini. Mungkin, hal ini terdengar sangat egois, tetapi Annisa tidak peduli.
"Jadi, apa jawabanmu?" tanya Annisa. Meski dalam hatinya merasa gugup dan takut penolakan, tetapi gadis itu berusaha tetap terlihat tenang.
Terdengar suara helaan napas panjang ke luar dari mulut Zidane. Pria berparas tampan itu membenarkan posisi duduknya sebelum mengatakan hal yang sedang dia pikirkan kepada Annisa.
"Aku setuju dengan tawaranmu kemarin," ucap Zidane sambil menatap mata Annisa dalam-dalam. "Mari kita menikah," ucapnya lagi, serius.
Rahang Annisa terjatuh karena terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. Gadis itu memang berencana tidak akan menerima penolakan, tetapi dia tidak menduga jika Zidane justru menerima tawarannya untuk menikah.
"Kamu serius?" tanya Annisa spontan yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Zidane.
"Ba- bagaimana mungkin?" Annisa masih belum percaya dengan keputusan pria beralis tebal itu. "Kamu sedang tidak bercanda bukan?" tanyanya lagi.
Zidane mengangguk yakin, kemudian berkata, "Ya, aku serius. Aku rasa tidak buruk bisa menikahi bos sendiri."
Pria itu mengulas sebuah senyum manis di bibirnya yang terlihat sangat menawan. Alis tebalnya menaik turun menggoda gadis yang tak lain ialah bosnya sendiri. Hal tersebut membuat Annisa mencebik kesal merasa tersinggung dengan perkataan Zidane.
"Ch, dasar matre!" gumam Annisa pelan tetapi masih dapat didengar oleh Zidane yang duduk berseberangan dengannya.
Pria tampan itu tertawa kecil. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan perkataan Annisa baru saja.
"Terserah apa katamu tentang aku. Tapi, bukankah semua ini adalah idemu, Nona?" ujar Zidane menggoda calon istri pura-puranya.
"Tetap saja kamu tidak boleh berkata terus terang seperti itu!" sahut gadis berhijab itu bernada ketus.
Lagi-lagi Zidane tertawa kecil menanggapi perkataan Annisa baru saja.
"Aku serius! Itu tidak lucu!" gerutu Annisa, ketus.
Gadis itu mendengkus kasar, kemudian meraih ponselnya yang dia simpan di atas meja melihat waktu yang tertera pada layarnya.
"Baiklah! Sekarang, katakan kepadaku apa yang kamu inginkan sebagai imbalan?" tanya Annisa serius.
Zidane tak langsung menjawab. Pria itu terdiam sejenak memikirkan hal apa yang dia inginkan dari bos-nya itu.
Belum sempat pria beralis tebal itu mengutarakan keinginannya, Annisa lebih dulu memotong dengan mengajaknya untuk pergi mengikutinya saat itu juga.
"Aku tak memiliki waktu banyak. Kita bicarakan kesepakatan kita nanti karena sekarang kamu harus pergi ikut denganku!" ujar Annisa sambil beranjak dari tempat duduk membawa tas miliknya bersiap untuk pergi.
Kedua alis Zidane saling bertautan menatap Annisa dengan raut kebingungan. "Pergi ke mana?" tanyanya.
"Menemui papaku," jawab Annisa tanpa merasa terbebani dengan kata-katanya.
Gadis itu pergi lebih dulu ke luar dari ruangannya yang langsung di susul oleh Zidane.
"Kamu serius akan mempertemukanku dengan ayahmu sekarang juga?" tanya Zidane sembari berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Annisa.
Gadis itu menjawab tanpa menoleh, "Menurutmu?"
"Tapi aku sama sekali tidak memiliki persiapan apa pun," gerutu Zidane. Dia merasa belum siap jika harus langsung bertemu dengan orang tua Annisa tanpa melakukan persiapan apa pun sebelumnya.
Gadis berhijab itu tak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli sambil melanjutkan langkahnya menuju ke mobil.
"Tunggu, Nona!" Zidane mencegah Annisa yang hendak memasuki mobilnya.
"Kenapa? Apa kamu ingin menarik kembali keputusanmu sekarang?" tanya Annisa bernada datar sambil menatap Zidane dengan sorot yang tajam.
Pria itu menghela napas kasar. "Bukan begitu. Sepertinya aku harus berpamitan dulu kepada mereka agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya," ucap Zidane sembari melihat ke dalam kafe buku melalui jendela kaca.
Annisa mengikuti arah pandangan Zidane. Di dalam kafe para karyawan sedang melayani pengunjung yang datang.
"Pergilah!" titahnya singkat dan datar.
Zidane mengangguk paham dan langsung bergegas ke dalam kafe untuk berpamitan kepada teman-temannya sekaligus menitipkan kafe kepada mereka agar tetap kondusif dan segera menghubunginya jika terjadi masalah.
Ya, kafe itu memang bukan miliknya, tetapi milik Annisa. Tanpa berniat jahat Zidane hanya merasa bertanggungjawab atas kafe buku itu sejak Annisa membawanya ke sana.
"Assalammualaikum, Pa," sapa Annisa.Pria paruh baya yang sedang duduk di meja ruangan khusus salah satu restoran ternama itu menoleh, menatap wajah putrinya yang baru saja datang menghampiri."Waalaikumsalam," jawab Reza.Dia mengangkat tangan kiri dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu sudah terlambat lima belas menit. Papa baru saja akan pergi dari sini," ucapnya dengan suara tegas.Reza melihat ke belakang tubuh Annisa, mencari keberadaan seseorang. Iris tua itu menyipit, menatap wajah Annisa dengan sorot penuh tanya saat tak melihat keberadaan siapa pun bersama anak gadisnya itu."Kamu datang sendirian?" tanya Reza menyelidik.Annisa menghela napas panjang berusaha tetap terlihat tenang di hadapan papanya. Gadis itu menarik kursi yang ada di depan Reza hanya terhalang oleh meja, kemudian mendudukinya."Maaf aku terlambat, ada hal penting yang harus aku selesaikan terlebih dulu sebelum datang ke sini," ucap
Reza menatap Zidane dengan pandangan yang terlihat merendahkan setelah mengetahui kebenaran tentang identitasnya yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan itu pun di kafe buku milik Annisa. Zidane tidak menutup-nutupi semua tentang dirinya yang hanya seorang pemuda biasa. Tak ada harta kekayaan dan juga kemewahan yang bisa dia perlihatkan saat ini. Namun, Zidane mengatakan bahwa dirinya serius ingin menjadikan Annisa sebagai istrinya. "Apa kamu gila?!" pekik Reza. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas sambil menatap tajam wajah Zidane. "Berani-beraninya orang miskin sepertimu ingin menikah dengan putriku!" geramnya lagi, penuh penekanan. "Pa!" seru Annisa. Dia tidak senang dengan sikap papanya yang sudah menyakiti hati Zidane. Gadis anggun itu baru saja ingin membuka mulut untuk mendebat papanya, tetapi Zidane segera mencegah dengan cara menepuk pelan punggung telapak tangannya. Zidane menggelengkan kepala begitu Annisa menoleh ke arahnya.
"A-apa?" Annisa terkejut mendengar perkataan Reza. Gadis itu menatap wajah papanya dengan sorot tak percaya, kemudian beralih ke arah Zidane, meminta penjelasan. "Ke-kenapa tiba-tiba? Papa tidak sedang bercanda bukan?" tanyanya lagi, bingung. Reza menoleh ke arah Zidane sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. "Apa Papa terlihat seperti sedang bercanda?" Reza balik bertanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Annisa. "Ya, tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi?" tanya Annisa. Gadis itu masih bingung, tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Dia mencoba meminta penjelasan kepada Zidane, tetapi pria itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kamu tanyakan saja semuanya kepada calon suamimu. Papa harus balik ke kantor sekarang, ada meeting penting," ucap Reza. Tanpa menunggu sahutan dari putrinya, pria paruh baya itu langsung berge
"Saya terima nikah dan kawinnya Tazkia Annisa Buana binti Reza Buana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai!"Kaliamat yang diucapkan oleh Zidane secara tegas dan lantang satu jam yang lalu masih terngiang di dalam ingatan Annisa. Hatinya bergetar merasakan antara bahagia dan sedih secara bersamaan.Pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak terjadi kepada dirinya.Memang, tidak ada yang memaksanya untuk menikah dengan Zidane. Semua itu terjadi atas rencana yang dibuat oleh Annisa sendiri. Namun, Annisa tak menyesalinya karena jauh di dalam hati, dia menginginkan Zidane untuk menjadi pendamping hidupnya."Aku tidak menyangka, ternyata selera Kak Annisa itu rendahan!" sindir Maudy, adik tiri Annisa sambil tersenyum mengejek.Rupanya, Maudy sengaja berdiri di depan kamar Annisa dan menunggunya ke luar hanya untuk mengejek."Ganteng, sih, tapi miskin," sambung
"Apa kamu tidak mau turun, Nona?" tanya Zidane.Suara itu berhasil menarik Annisa dari lamunannya. Dia mengejapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kening yang berkerut. Annisa pun turun dari mobilnya dengan ragu-ragu mengikuti suaminya."Apa kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Annisa.Dia menatap Zidane yang sedang menurunkan koper di dalam bagasi. Pria itu menoleh, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku tinggal di salah satu apartemen yang ada di gedung ini."Tak ada percakapan lagi di antara pasangan pengantin baru itu. Keduanya berjalan memasuki gedung dalam keheningan.Sesuai perjanjian, Zidane mengajukan syarat yang salah satunya adalah, bahwa setelah menikah Annisa akan ikut dan tinggal bersama di mana pun Zidane berada."Masuklah!" Zidane mempersilakan Annisa masuk ke rumahnya.Annisa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan berukuran kecil yang didominasi dengan cat berwarna putih. Hanya ada satu kama
"Aku tidak bisa! Tolong jangan terus memaksaku!"Zidane berdecak sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak, kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya."Sial! Kenapa dia selalu saja menggangguku?" gerutu Zidane pelan sambil membalikkan badannya."Siapa yang mengganggumu?"Zidane terbelalak, merasa terkejut melihat kehadiran Annisa yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Detik berikutnya, dia kembali menetralkan raut wajahnya seolah tidak pernah terjadi apa pun."Apa para rentenir itu masih mengganggumu?" tanya Annisa lagi.Manik teduh itu menyipit menatap wajah Zidane secara seksama. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan sebelumnya, menandakan bahwa dia sudah selesai mandi."Hm. Iya," jawab Zidane singkat. Dia berjalan melewati Annisa berusaha untuk menghindar dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah selesai mandi, Nona? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu.""Memangnya berapa banyak utangmu
Sebuah mobil berwarna hitam baru saja menepi di parkiran salah satu restoran ternama. Tidak lama kemudian, dua orang berbadan besar terlihat menyeret seorang pria tampan untuk ikut dan menuruti mereka yang sedari tadi terus memberontak. "Lepaskan! Aku bisa masuk dan berjalan sendiri!" Zidane mengempaskan tangannya dari cekalan dua pria berbaju hitam dan bertubuh kekar. Dia menghela napas kasar, lalu membenarkan kemejanya yang kusut. Kedua pria itu saling menatap satu sama lain selama beberapa detik, kemudian mundur satu langkah dan membiarkan tawanannya berjalan masuk ke restoran tanpa paksaan. Derap kaki itu melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang nampak masih gagah dan berwibawa yang sudah menunggu kedatangannya. Setelah menghela napas kasar, Zidane langsung mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di depan pria paruh baya itu dengan wajah masam. "Apa aku harus menggunakan cara seperti ini agar kamu mau menemuiku?" tanya pria paruh bay
"Aku tidak habis pikir denganmu, Reza. Bagaimana mungkin kamu bisa menikahkan Annisa dengan pria lain, padahal sebelumnya sudah berjanji akan menjodohkan Annisa dengan putraku," ujar Hari Prasetyo, papanya Yogi.Pria paruh baya itu sengaja menemui Reza di kantornya hanya untuk membahas pernikahan Annisa yang berlangsung dengan pria lain. Hari menganggap bahwa Reza sudah melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat untuk menjodohkan putra putri mereka."Iya, Paman. Kenapa Paman tega sekali melakukan semua ini kepadaku?" Yogi yang turut ikut bersama papanya pun ikut berbicara.Jelas terlihat bahwa pria muda itu sedang sangat kecewa dan patah hati karena gadis yang diinginkannya menikah dengan orang lain."Kamu tidak lupa 'kan, kalau perusahaanmu ini sedang diambang kehancuran? Satu-satunya cara agar perusahaan ini tetap bertahan yaitu dengan penyatuan dua perusahaan dengan menikahkan Annisa dan Yogi," ujar Hari lagi. Netra tua itu menatap tajam ke arah Reza