"Assalammualaikum, Pa," sapa Annisa.
Pria paruh baya yang sedang duduk di meja ruangan khusus salah satu restoran ternama itu menoleh, menatap wajah putrinya yang baru saja datang menghampiri.
"Waalaikumsalam," jawab Reza.
Dia mengangkat tangan kiri dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu sudah terlambat lima belas menit. Papa baru saja akan pergi dari sini," ucapnya dengan suara tegas.
Reza melihat ke belakang tubuh Annisa, mencari keberadaan seseorang. Iris tua itu menyipit, menatap wajah Annisa dengan sorot penuh tanya saat tak melihat keberadaan siapa pun bersama anak gadisnya itu.
"Kamu datang sendirian?" tanya Reza menyelidik.
Annisa menghela napas panjang berusaha tetap terlihat tenang di hadapan papanya. Gadis itu menarik kursi yang ada di depan Reza hanya terhalang oleh meja, kemudian mendudukinya.
"Maaf aku terlambat, ada hal penting yang harus aku selesaikan terlebih dulu sebelum datang ke sini," ucap Annisa tenang yang hanya dibalas anggukkan ringan oleh Reza.
"Kamu bilang akan datang bersama kekasihmu. Di mana dia sekarang?" tanya Reza. "Apa dia tidak berani menemuiku?" tanyanya lagi dengan nada yang terdengar mengejek.
Gadis berhijab itu mencebikkan bibir, merasa kesal dengan sindiran papanya. Namun, sedetik kemudian perhatiannya teralihkan kepada pria tampan yang sedang berjalan mendekat ke arah mejanya. Annisa langsung menyambut Zidane dengan senyum manis seolah mereka benar-benar sepasang kekasih.
Sebenarnya, mereka datang bersama-sama. Namun, begitu masuk ke restoran, tiba-tiba saja Zidane meminta izin pergi ke toilet dahulu.
"Permisi! Maaf sudah menunggu lama," ucap Zidane tenang dan bersikap sesopan mungkin.
Reza memutar kepalanya mengikuti arah pandangan Annisa dan juga suara seorang pria yang terdengar asing."Pa, kenalkan ini Zidane." Anisa buru-buru beranjak dari duduknya, lalu berdiri di samping Zidane. Dia langsung memperkenalkan pria tampan di sampingnya kepada Reza.
"Dia ... pria yang kucintai," ucap Annisa terdengar ragu. Dia menatap wajah Zidane dengan sorot yang sulit diartikan dan seulas senyum yang terkesan dipaksakan terukir di bibirnya.
Reza tak menjawab. Pria paruh baya itu terdiam sambil memperhatikan penampilan Zidane dari atas ke bawah lalu balik lagi ke atas dengan mata tajamnya.Dari penampilan Zidane saat ini, Reza berpikir bahwa pria muda itu bukan berasal dari keluarga kaya.
Kepala Reza menggeleng disertai seulas senyum miring terukir di bibirnya. Dari ekspresi wajahnya, nampak jelas terlihat bahwa dia tidak menyukai Zidane dan bahkan memandangnya rendah.
"Halo, Om, saya Zidane. Teman Annisa, putri Om. Senang rasanya bisa bertemu dengan cinta pertama dari wanita yang saya cintai," ucap Zidane ramah dan sopan sambil mengulurkan tangan ingin bersalaman dengan Reza.
Annisa melongo mendengar perkataan Zidane baru saja. Bola matanya membulat, menatap tajam dan galak ke arah Zidane, penuh peringatan. Namun, pria itu nampak tak terpengaruh dengan kode yang diberikan Annisa dan malah mengembangkan senyum licik sambil mengedipkan mata.
Menyebalkan! Annisa menggerutu dalam hati, merutuki sikap Zidane yang sudah lancang dalam berbicara dan bersikap.
Melihat tak ada respons dari Reza, Zidane pun langsung menurunkan tangannya. Dia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya yang tak gatal. Annisa menarik lengan Zidane dan menyuruh pria itu duduk di kursi yang ada di sampinya.
Keheningan tercipta di meja itu selama beberapa menit, terutama saat ada seorang pelayang yang mencatat pesanan dan tak lama kemudian mengantar pesanan itu ke meja mereka.
"Sejak kapan kalian saling mengenal?" tanya Reza bernada dingin dan datar. Sejak tadi pandangannya tak beralih dari satu objek yaitu sosok Zidane.
Merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya, Zidane pun langsung menjawab, "Sepertinya sudah lebih dari sebulan. Benar 'kan, Sayang?" Zidane menjawab penuh percaya diri sambil melirik ke arah Annisa yang sudah memelototinya.
Rahang Annisa mengeras, nampak kesal kepada Zidane karena telah lancang memanggilnya dengan sebutan "Sayang".
'Dasar bodoh! Kenapa dia mengaku baru kenal sebulan, sih? Bisa-bisa Papa curiga dan semua rencanaku menghindari perjodohan dengan Yogi menjadi gagal.' Annisa menggerutu dalam hati sambil menatap tajam pria tampan di sampingnya.
"Apa?!" pekik Reza, terkejut. "Jadi kalian belum lama ini saling mengenal?" Beberapa detik kemudian pria paruh baya itu menggelengkan kepalanya.
"Iya, Om. Tapi, Om jangan cemas karena saya serius mencintai putri Om," ucap Zidane.
Uhuk!
Annisa tersedak minumannya akibat terlalu terkejut mendengar pengakuan Zidane tentang hubungan mereka kepada Reza.
Sulit dipercaya. Pria itu benar-benar sangat pintar berakting. Padahal mereka tidak latihan dulu sebelumnya. Bahkan, semua yang dikatakan oleh Zidane saat ini sama sekali tidak ada dalam skenario yang sudah mereka siapkan selama dalam perjalanan tadi.
Dalam sekejap, Annisa merasa terpesona dengan Zidane. Namun, gadis itu segera sadar bahwa semua ini hanyalah sandiwara. Dan semua itu terjadi atas rencana dan keputusannya sendiri.
Annisa mendekatkan kepalanya dengan Zidane, kemudian berbisik dengan nada yang terdengar kesal.
"Jangan berlebihan! Bukankah kita sudah membicarakan semua ini saat di mobil tadi? Kenapa kamu malah mengarang cerita sendiri?" Anissa berbisik sambil menggertakkan giginya.
Sekilas, gadis itu menatap ke arah sang ayah yang sedang memperhatikannya. Annisa pun tersenyum, berharap Reza tidak mencurigainya.
"Kamu tenang saja, Nona. Aku akan membereskan semuanya dengan caraku sendiri. Kamu pasti akan puas dengan hasilnya nanti," ucap Zidane, berbisik.
Lagi-lagi, pria tampan itu mengedipkan sebelah matanya penuh percaya diri.Reza menatap Zidane dengan pandangan yang terlihat merendahkan setelah mengetahui kebenaran tentang identitasnya yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan itu pun di kafe buku milik Annisa. Zidane tidak menutup-nutupi semua tentang dirinya yang hanya seorang pemuda biasa. Tak ada harta kekayaan dan juga kemewahan yang bisa dia perlihatkan saat ini. Namun, Zidane mengatakan bahwa dirinya serius ingin menjadikan Annisa sebagai istrinya. "Apa kamu gila?!" pekik Reza. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas sambil menatap tajam wajah Zidane. "Berani-beraninya orang miskin sepertimu ingin menikah dengan putriku!" geramnya lagi, penuh penekanan. "Pa!" seru Annisa. Dia tidak senang dengan sikap papanya yang sudah menyakiti hati Zidane. Gadis anggun itu baru saja ingin membuka mulut untuk mendebat papanya, tetapi Zidane segera mencegah dengan cara menepuk pelan punggung telapak tangannya. Zidane menggelengkan kepala begitu Annisa menoleh ke arahnya.
"A-apa?" Annisa terkejut mendengar perkataan Reza. Gadis itu menatap wajah papanya dengan sorot tak percaya, kemudian beralih ke arah Zidane, meminta penjelasan. "Ke-kenapa tiba-tiba? Papa tidak sedang bercanda bukan?" tanyanya lagi, bingung. Reza menoleh ke arah Zidane sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. "Apa Papa terlihat seperti sedang bercanda?" Reza balik bertanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Annisa. "Ya, tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi?" tanya Annisa. Gadis itu masih bingung, tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Dia mencoba meminta penjelasan kepada Zidane, tetapi pria itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kamu tanyakan saja semuanya kepada calon suamimu. Papa harus balik ke kantor sekarang, ada meeting penting," ucap Reza. Tanpa menunggu sahutan dari putrinya, pria paruh baya itu langsung berge
"Saya terima nikah dan kawinnya Tazkia Annisa Buana binti Reza Buana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai!"Kaliamat yang diucapkan oleh Zidane secara tegas dan lantang satu jam yang lalu masih terngiang di dalam ingatan Annisa. Hatinya bergetar merasakan antara bahagia dan sedih secara bersamaan.Pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak terjadi kepada dirinya.Memang, tidak ada yang memaksanya untuk menikah dengan Zidane. Semua itu terjadi atas rencana yang dibuat oleh Annisa sendiri. Namun, Annisa tak menyesalinya karena jauh di dalam hati, dia menginginkan Zidane untuk menjadi pendamping hidupnya."Aku tidak menyangka, ternyata selera Kak Annisa itu rendahan!" sindir Maudy, adik tiri Annisa sambil tersenyum mengejek.Rupanya, Maudy sengaja berdiri di depan kamar Annisa dan menunggunya ke luar hanya untuk mengejek."Ganteng, sih, tapi miskin," sambung
"Apa kamu tidak mau turun, Nona?" tanya Zidane.Suara itu berhasil menarik Annisa dari lamunannya. Dia mengejapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kening yang berkerut. Annisa pun turun dari mobilnya dengan ragu-ragu mengikuti suaminya."Apa kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Annisa.Dia menatap Zidane yang sedang menurunkan koper di dalam bagasi. Pria itu menoleh, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku tinggal di salah satu apartemen yang ada di gedung ini."Tak ada percakapan lagi di antara pasangan pengantin baru itu. Keduanya berjalan memasuki gedung dalam keheningan.Sesuai perjanjian, Zidane mengajukan syarat yang salah satunya adalah, bahwa setelah menikah Annisa akan ikut dan tinggal bersama di mana pun Zidane berada."Masuklah!" Zidane mempersilakan Annisa masuk ke rumahnya.Annisa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan berukuran kecil yang didominasi dengan cat berwarna putih. Hanya ada satu kama
"Aku tidak bisa! Tolong jangan terus memaksaku!"Zidane berdecak sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak, kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya."Sial! Kenapa dia selalu saja menggangguku?" gerutu Zidane pelan sambil membalikkan badannya."Siapa yang mengganggumu?"Zidane terbelalak, merasa terkejut melihat kehadiran Annisa yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Detik berikutnya, dia kembali menetralkan raut wajahnya seolah tidak pernah terjadi apa pun."Apa para rentenir itu masih mengganggumu?" tanya Annisa lagi.Manik teduh itu menyipit menatap wajah Zidane secara seksama. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan sebelumnya, menandakan bahwa dia sudah selesai mandi."Hm. Iya," jawab Zidane singkat. Dia berjalan melewati Annisa berusaha untuk menghindar dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah selesai mandi, Nona? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu.""Memangnya berapa banyak utangmu
Sebuah mobil berwarna hitam baru saja menepi di parkiran salah satu restoran ternama. Tidak lama kemudian, dua orang berbadan besar terlihat menyeret seorang pria tampan untuk ikut dan menuruti mereka yang sedari tadi terus memberontak. "Lepaskan! Aku bisa masuk dan berjalan sendiri!" Zidane mengempaskan tangannya dari cekalan dua pria berbaju hitam dan bertubuh kekar. Dia menghela napas kasar, lalu membenarkan kemejanya yang kusut. Kedua pria itu saling menatap satu sama lain selama beberapa detik, kemudian mundur satu langkah dan membiarkan tawanannya berjalan masuk ke restoran tanpa paksaan. Derap kaki itu melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang nampak masih gagah dan berwibawa yang sudah menunggu kedatangannya. Setelah menghela napas kasar, Zidane langsung mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di depan pria paruh baya itu dengan wajah masam. "Apa aku harus menggunakan cara seperti ini agar kamu mau menemuiku?" tanya pria paruh bay
"Aku tidak habis pikir denganmu, Reza. Bagaimana mungkin kamu bisa menikahkan Annisa dengan pria lain, padahal sebelumnya sudah berjanji akan menjodohkan Annisa dengan putraku," ujar Hari Prasetyo, papanya Yogi.Pria paruh baya itu sengaja menemui Reza di kantornya hanya untuk membahas pernikahan Annisa yang berlangsung dengan pria lain. Hari menganggap bahwa Reza sudah melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat untuk menjodohkan putra putri mereka."Iya, Paman. Kenapa Paman tega sekali melakukan semua ini kepadaku?" Yogi yang turut ikut bersama papanya pun ikut berbicara.Jelas terlihat bahwa pria muda itu sedang sangat kecewa dan patah hati karena gadis yang diinginkannya menikah dengan orang lain."Kamu tidak lupa 'kan, kalau perusahaanmu ini sedang diambang kehancuran? Satu-satunya cara agar perusahaan ini tetap bertahan yaitu dengan penyatuan dua perusahaan dengan menikahkan Annisa dan Yogi," ujar Hari lagi. Netra tua itu menatap tajam ke arah Reza
"Kenapa belum tidur?" tanya Zidane yang baru saja masuk ke kamar dan mendapati Annisa masih berkutat dengan laptopnya.Gadis itu menoleh sekilas, kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya."Aku belum mengantuk. Lagi pula, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini," sahutnya tanpa menoleh ke arah Zidane."Kalau kamu ingin tidur, tidak apa. Tidur saja duluan," sambungnya lagi. Kali ini, dia menoleh ke arah Zidane dan tersenyum.Tak ada sahutan dari pria itu. Dia berjalan menuju ranjang untuk mengambil bantal dan selimut, kemudian membawanya ke sofa. Namun, sebelum pergi Zidane sempat mengintip ke arah layar laptop Annisa."Apa kamu sering membawa pekerjaan ke rumah?" tanya Zidane sembari membenahi sofa."Hanya sesekali," jawab Annisa tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.Zidane yang sudah berbaring di atas sofa, diam-diam memerhatikan istrinya dalam keheningan."Apa itu masih lama?" tanya Zidane beberap