Reza menatap Zidane dengan pandangan yang terlihat merendahkan setelah mengetahui kebenaran tentang identitasnya yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan itu pun di kafe buku milik Annisa.
Zidane tidak menutup-nutupi semua tentang dirinya yang hanya seorang pemuda biasa. Tak ada harta kekayaan dan juga kemewahan yang bisa dia perlihatkan saat ini. Namun, Zidane mengatakan bahwa dirinya serius ingin menjadikan Annisa sebagai istrinya.
"Apa kamu gila?!" pekik Reza. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas sambil menatap tajam wajah Zidane. "Berani-beraninya orang miskin sepertimu ingin menikah dengan putriku!" geramnya lagi, penuh penekanan.
"Pa!" seru Annisa. Dia tidak senang dengan sikap papanya yang sudah menyakiti hati Zidane.
Gadis anggun itu baru saja ingin membuka mulut untuk mendebat papanya, tetapi Zidane segera mencegah dengan cara menepuk pelan punggung telapak tangannya. Zidane menggelengkan kepala begitu Annisa menoleh ke arahnya.
"Papa gak habis pikir sama kamu, Nisa. Otak kamu di simpan di mana, hah?! Bisa-bisanya kamu memilih pria sepertinya untuk dijadikan suami!" bentak Reza sambil menunjuk kearah Zidane.
Walau sedang ada di restoran, tetapi mereka bebas berbicara karena berada di ruangan private.
Pria paruh baya itu tersenyum kecut, lalu menghela napas panjang dan mengendurkan dasi yang dikenakannya.
"Memangnya apa yang bisa kamu harapkan dari pria seperti dia? Miskin, berandalan, tidak jelas asal usulnya," ucap Reza lagi. Pria paruh baya itu terdiam selama beberapa detik, kemudian berkata dengan tegas, "Keputusan Papa sudah bulat. Kamu hanya akan menikah dengan Yogi! Setidaknya, masa depan kamu terjamin bila hidup bersamanya nanti."
Rahang Annisa mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Gadis itu menatap wajah Reza dengan sorot berkilat penuh kekecewaan.
"Lebih baik aku tidak menikah seumur hidupku dari pada harus menikah dengan pria brengsek seperti dia!" tegas Annisa dengan suara bergetar.
"Aku pikir, Papa memiliki sedikit rasa peduli terhadapku, tetapi ternyata tidak!" ucap Annisa lagi, lirih. Dia tersenyum simpul sambil memalingkan wajah ke arah lain, berusaha menyembunyikan air matanya.
"Justru Papa peduli sama kamu. Papa ingin yang terbaik untuk kamu!" jelas Reza dengan suara tegasnya.
Setelah berucap demikian kepada Annisa, pria paruh baya itu pun menoleh ke arah Zidane dan menatapnya sinis.
"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" tanyanya bernada meremehkan.
Zidane tersenyum kecut. Kata-kata dari Reza itu cukup membuat hatinya sedikit tersinggung, tetapi dia masih berusaha tetap bersikap tenang. Dia terdiam sambil memerhatikan perdebatan antara anak dan ayahnya.
"Apa yang Papa harapkan dari Yogi?" Annisa balik bertanya kepada Reza. "Papa ingin melihat aku menderita seumur hidupku, begitukah?" tanyanya lagi. Seulas senyum sinis terukir di bibir gadis itu.
"Maaf, saya menyela." Akhirnya Zidane membuka suara dan berhasil mengalihkan perhatian Annisa dan Reza yang saat itu sedang bersitegang.
Pria beralis tebal itu meneguk dulu minuman miliknya, kemudian membenarkan posisi duduk sebelum memulai berbicara.
"Boleh saya meminta sedikit waktu Om sekarang? Saya ingin membicarakan sesuatu berdua saja," ucap Zidane dengan tenang.
Kedua alis Annisa mengernyit dalam memperlihatkan segurat garis halus di keningnya. Nampak jelas terlihat bahwa gadis itu tidak setuju dengan ide bodoh Zidane. Annisa takut pria itu akan berbicara yang bukan-bukan sehingga nantinya akan semakin memperumit keadan.
Reza terdiam, nampak ragu kepada Zidane.
"Lima belas menit saja," ucap Zidane, membujuk.
"Baiklah!" putus Reza yang membuat Zidane tersenyum tipis.
Kedua bola mata Annisa membulat saat Reza meminta Annisa untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Zidane.
Annisa menarik Zidane agar sedikit menjauh dari Reza, kemudian bertanya, "Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Papa? Tolong jangan bersikap bodoh!" tegur Annisa.
Gadis itu menatap dalam mata Zidane yang juga sedang melihatnya.
"Bukankah kamu ingin menikah denganku karena tidak mau dijodohkan? Beri aku sedikit kepercayaan, Nona. Aku akan menyelesaikan semuanya dengan baik," ucap Zidane dengan tenang.
Annisa bergeming, masih menatap wajah Zidane dengan serius. Mencoba menebak apa saja isi di dalam kepala pria tampan itu, sehingga berani sekali ingin membujuk Reza. Seolah semuanya akan begitu mudah.
Dia ingin membantah karena merasa ragu kepada Zidane, tetapi pria tampan itu dengan tenang meminta Annisa untuk mempercayainya sekali saja.
Zidane tersenyum kemudian meminta Annisa untuk menunggunya di luar. Meski berat hati, terpaksa gadis itu pergi meninggalkan Zidane dengan papanya.
***
"Kenapa mereka lama sekali?" gumam Annisa.
Gadis itu nampak tidak tenang menunggu Zidane dan Reza segera ke luar dari ruangan khusus. Waktu menunjukan sudah lebih dari lima belas menit, tetapi masih belum terlihat mereka ke luar. Hal itu semakin membuat Annisa cemas. Dia takut Zidane akan membuat papanya semakin yakin untuk meneruskan perjodohan dengan Yogi.
"Sebenarnya apa yang ingin Zidane bicarakan dengan Papa sehingga dia tidak mengizinkanku untuk ikut mendengarnya juga?" gerutu Annisa pelan.
Suara desaah kasar berkali-kali ke luar dari mulut gadis cantik itu. Dia memainkan jemarinya mengetuk-ngetuk meja, tidak tenang.
Gadis berhijab itu langsung beranjak dari duduknya begitu melihat Zidane dan Reza berjalan mendekat ke arahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia langsung menatap Zidane meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya tersenyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Papa memberi kalian restu untuk menikah,"
"A-apa?" Annisa terkejut mendengar perkataan Reza. Gadis itu menatap wajah papanya dengan sorot tak percaya, kemudian beralih ke arah Zidane, meminta penjelasan. "Ke-kenapa tiba-tiba? Papa tidak sedang bercanda bukan?" tanyanya lagi, bingung. Reza menoleh ke arah Zidane sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya. "Apa Papa terlihat seperti sedang bercanda?" Reza balik bertanya yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Annisa. "Ya, tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi?" tanya Annisa. Gadis itu masih bingung, tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Dia mencoba meminta penjelasan kepada Zidane, tetapi pria itu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kamu tanyakan saja semuanya kepada calon suamimu. Papa harus balik ke kantor sekarang, ada meeting penting," ucap Reza. Tanpa menunggu sahutan dari putrinya, pria paruh baya itu langsung berge
"Saya terima nikah dan kawinnya Tazkia Annisa Buana binti Reza Buana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai!"Kaliamat yang diucapkan oleh Zidane secara tegas dan lantang satu jam yang lalu masih terngiang di dalam ingatan Annisa. Hatinya bergetar merasakan antara bahagia dan sedih secara bersamaan.Pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak terjadi kepada dirinya.Memang, tidak ada yang memaksanya untuk menikah dengan Zidane. Semua itu terjadi atas rencana yang dibuat oleh Annisa sendiri. Namun, Annisa tak menyesalinya karena jauh di dalam hati, dia menginginkan Zidane untuk menjadi pendamping hidupnya."Aku tidak menyangka, ternyata selera Kak Annisa itu rendahan!" sindir Maudy, adik tiri Annisa sambil tersenyum mengejek.Rupanya, Maudy sengaja berdiri di depan kamar Annisa dan menunggunya ke luar hanya untuk mengejek."Ganteng, sih, tapi miskin," sambung
"Apa kamu tidak mau turun, Nona?" tanya Zidane.Suara itu berhasil menarik Annisa dari lamunannya. Dia mengejapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kening yang berkerut. Annisa pun turun dari mobilnya dengan ragu-ragu mengikuti suaminya."Apa kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Annisa.Dia menatap Zidane yang sedang menurunkan koper di dalam bagasi. Pria itu menoleh, lalu menjawab dengan santai, "Ya, aku tinggal di salah satu apartemen yang ada di gedung ini."Tak ada percakapan lagi di antara pasangan pengantin baru itu. Keduanya berjalan memasuki gedung dalam keheningan.Sesuai perjanjian, Zidane mengajukan syarat yang salah satunya adalah, bahwa setelah menikah Annisa akan ikut dan tinggal bersama di mana pun Zidane berada."Masuklah!" Zidane mempersilakan Annisa masuk ke rumahnya.Annisa mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan berukuran kecil yang didominasi dengan cat berwarna putih. Hanya ada satu kama
"Aku tidak bisa! Tolong jangan terus memaksaku!"Zidane berdecak sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak, kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya."Sial! Kenapa dia selalu saja menggangguku?" gerutu Zidane pelan sambil membalikkan badannya."Siapa yang mengganggumu?"Zidane terbelalak, merasa terkejut melihat kehadiran Annisa yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Detik berikutnya, dia kembali menetralkan raut wajahnya seolah tidak pernah terjadi apa pun."Apa para rentenir itu masih mengganggumu?" tanya Annisa lagi.Manik teduh itu menyipit menatap wajah Zidane secara seksama. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan sebelumnya, menandakan bahwa dia sudah selesai mandi."Hm. Iya," jawab Zidane singkat. Dia berjalan melewati Annisa berusaha untuk menghindar dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah selesai mandi, Nona? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu.""Memangnya berapa banyak utangmu
Sebuah mobil berwarna hitam baru saja menepi di parkiran salah satu restoran ternama. Tidak lama kemudian, dua orang berbadan besar terlihat menyeret seorang pria tampan untuk ikut dan menuruti mereka yang sedari tadi terus memberontak. "Lepaskan! Aku bisa masuk dan berjalan sendiri!" Zidane mengempaskan tangannya dari cekalan dua pria berbaju hitam dan bertubuh kekar. Dia menghela napas kasar, lalu membenarkan kemejanya yang kusut. Kedua pria itu saling menatap satu sama lain selama beberapa detik, kemudian mundur satu langkah dan membiarkan tawanannya berjalan masuk ke restoran tanpa paksaan. Derap kaki itu melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang nampak masih gagah dan berwibawa yang sudah menunggu kedatangannya. Setelah menghela napas kasar, Zidane langsung mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di depan pria paruh baya itu dengan wajah masam. "Apa aku harus menggunakan cara seperti ini agar kamu mau menemuiku?" tanya pria paruh bay
"Aku tidak habis pikir denganmu, Reza. Bagaimana mungkin kamu bisa menikahkan Annisa dengan pria lain, padahal sebelumnya sudah berjanji akan menjodohkan Annisa dengan putraku," ujar Hari Prasetyo, papanya Yogi.Pria paruh baya itu sengaja menemui Reza di kantornya hanya untuk membahas pernikahan Annisa yang berlangsung dengan pria lain. Hari menganggap bahwa Reza sudah melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat untuk menjodohkan putra putri mereka."Iya, Paman. Kenapa Paman tega sekali melakukan semua ini kepadaku?" Yogi yang turut ikut bersama papanya pun ikut berbicara.Jelas terlihat bahwa pria muda itu sedang sangat kecewa dan patah hati karena gadis yang diinginkannya menikah dengan orang lain."Kamu tidak lupa 'kan, kalau perusahaanmu ini sedang diambang kehancuran? Satu-satunya cara agar perusahaan ini tetap bertahan yaitu dengan penyatuan dua perusahaan dengan menikahkan Annisa dan Yogi," ujar Hari lagi. Netra tua itu menatap tajam ke arah Reza
"Kenapa belum tidur?" tanya Zidane yang baru saja masuk ke kamar dan mendapati Annisa masih berkutat dengan laptopnya.Gadis itu menoleh sekilas, kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya."Aku belum mengantuk. Lagi pula, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini," sahutnya tanpa menoleh ke arah Zidane."Kalau kamu ingin tidur, tidak apa. Tidur saja duluan," sambungnya lagi. Kali ini, dia menoleh ke arah Zidane dan tersenyum.Tak ada sahutan dari pria itu. Dia berjalan menuju ranjang untuk mengambil bantal dan selimut, kemudian membawanya ke sofa. Namun, sebelum pergi Zidane sempat mengintip ke arah layar laptop Annisa."Apa kamu sering membawa pekerjaan ke rumah?" tanya Zidane sembari membenahi sofa."Hanya sesekali," jawab Annisa tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.Zidane yang sudah berbaring di atas sofa, diam-diam memerhatikan istrinya dalam keheningan."Apa itu masih lama?" tanya Zidane beberap
Zidane terkejut karena tidak menemukan Annisa di tempat tidur begitu dia bangun. Awalnya, dia berpikir istrinya itu bangun lebih awal dan sedang di kamar mandi. Namun, begitu ia menyadari tak ada tanda-tanda seseorang berada di dalam sana, membuat Zidane mulai merasa cemas. "Nona, apa kamu ada di dalam?" panggil Zidane sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada sahutan dari dalam sana sehingga membuat Zidane terpaksa membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Kedua alisnya mengernyit dalam saat tak menemukan siapa pun di dalam sana. Zidane pun menutup pintu kamar mandinya kembali. "Dia pergi ke mana sepagi ini?" gumamnya pelan. Matanya membulat begitu otaknya mulai memikirkan hal yang bukan-bukan. Derap langkah lebar itu langsung mengarah ke lemari pakaian dan langsung membukanya. Zidane langsung bernapas lega karena pakaian Annisa masih bertengger rapi di dalam lemari. Menandakan bahwa pemiliknya tidak melarikan diri seperti yang dipi