Raka
Sial, aku lupa!
Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.
Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.
Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.
“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.
Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik. Semua orang mengira jika ia adalah istriku, paling tidak pacar deh.
Aku bangga sekali membawanya kemana-mana, sayang sekali sekarang aku harus pergi dengan Citra. Jika aku memaksa pergi dengan Maureen, apa kata orang? Lagipula semua orang di kantor sudah tahu bahwa aku sudah menikah.
“Cit, Citra!” panggilku, saat melihat gadis itu menaiki tangga sambil menimang-nimang sesuatu di tangannya.
Mendengar panggilanku, ia langsung memasukkan benda tersebut ke dalam saku celananya.
“Ada apa, Ka?” tanyanya sedikit kaget, ia memastikan supaya benda yang tadi ia pegang tidak kulihat.
“Nanti malam bersiaplah, aku ada jamuan rutin dengan para petinggi perusahaan.”
Bisa kulihat sorot mata Citra menjadi panik, wajar saja jika ia panik begitu. Pasti dia bingung jamuan seperti apa yang akan ia hadapi nanti.
“Enggak usah takut, kita cuma sebentar aja...enggak akan di sana sampai acara jamuannya selesai.”
“Ba-baik..”
Gadis itu meninggalkan aku di dekat tangga, bergegas masuk ke dalam kamarnya sambil tetap memegangi saku di mana ia memasukkan benda yang tengah dilihatnya tadi. Dia itu kenapa, sih?
**********
Jamuan makan malam perusahaan diadakan sebulan sekali, aku biasanya antusias menyambut acara rutin bulanan ini karena Maureen sering menemaniku. Tapi sekarang aku sudah ingin acara ini selesai, bahkan sebelum aku datang ke tempat acara berlangsung.
“Ra-Raka...apa aku enggak apa-apa bajunya pakai yang ini?”
Citra menunjukkan penampilannya padaku, mengenakan gaun malam dengan warna navy dengan potongan kerah tinggi, dihias dengan bros mutiara di salah satu sisinya. Ia mengenakan sepatu hak rendah, sedikit menata rambutnya dan mengenakan riasan tipis. Kuakui, tidak terlalu buruk walaupun tidak semempesona Maureen.
“Oke enggak apa-apa. Ayo berangkat.” Ajakku sambil melangkah mendahuluinya menuju mobil yang diparkirkan di depan.
Sekitar 15 menit berkendara dengan mobil, kami sampai di restoran western yang dibooking untuk acara bulanan ini. Beberapa petinggi perusahaan menyapaku dengan ramah, namun mereka terlihat kaget ketika melihat Citra.
“Perkenalkan, ini istriku Citraloka.”
“Selamat malam bu Citra, senang bertemu anda. Saya Bambang kepala divisi personalia dan ini Rita, kepala divisi umum.”
Citra menerima uluran tangan dari pak Bambang dan bu Rita, aku bisa melihat jika pergelangan tangan dan jemari Citra begitu polos tanpa perhiasan sama sekali. Aduh, kenapa dia tak pakai perhiasan yang sudah kusiapkan di meja riasnya?
“Baiklah, kami permisi dulu ya pak, bu. Sepertinya istri saya kehausan,” kugenggam tangan Citra dan sedikit menariknya supaya ia mengikuti langkahku.
“Kenapa kamu enggak pake perhiasan apapun sih?”
“Ahhh maaf aku lupa...”
“Ini tuh perjamuan yang penting, mereka ini orang yang bekerja di perusahaanku dan aku ini pemimpin mereka. Coba kamu pikir gimana pendapat mereka saat lihat istri CEO seperti kamu penampilannya?”
Citra terlihat kaget, namun ia menguasai perasaannya dan meraba tubuhnya, seolah mencari sesuatu yang salah.
“Tapi kamu bilang tadi pakaianku sudah bagus, kukira enggak ada lagi yang kurang...”
“Iyaa tadi aku enggak sadar kamu enggak pakai perhiasan! Lalu apa ini? Anting apaan masih dipakai begini?” kusentil anting-anting emas kecil yang terpasang di telinganya.
Sepasang anting bulat yang sudah mulai kusam, ukurannya juga kecil.
“Padahal aku sudah siapkan anting berlian, satu set di kotak perhiasan.”
“Aku enggak tau,”
“Makanya cari tau dong! Kamu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kamu sekarang. Jangan mentang-mentang kita cuma kontrak terus kamu seenaknya dengan gaya hidup kampungan kamu itu.” Protesku sambil berbisik, dan pura-pura mengambil minuman di meja buffet yang tersedia.
Citra tidak menjawab, ia menunduk dan menggigit bibir.
“Jangan nunduk begitu! Nanti orang-orang pikir aku lagi marahin kamu!” yaa walau memang aku sedang mengomeli Citra, tapi jangan sampai orang tahu.
“Nih, pegang aja ini, duduk di meja itu yang ada tandanya warna merah. Udah diem aja jangan ngomong sama siapapun!” perintahku sembari menunjuk ke meja reservasi. Citra menurut tanpa menolak, tak lupa ia membawa segelas coctail yang kuberikan.
Ia lalu duduk di sana seperti tak terjadi apa-apa, mencoba terlihat santai walau mungkin ia ingin menangis karena sudah kuomeli barusan. Salah sendiri, kenapa logikanya tidak berjalan? Sudah tahu mau menghadiri acara penting, pakai perhiasan pun tidak.
Memang terlihat sepele, tapi penting sekali untuk kehidupan sosialku.
Bayangkan, istri seorang CEO terlihat begitu kusam dan tidak berkilau di tengah semua kemegahan yang ditunjukkan para bawahanku.
Restoran ini biasanya ramai oleh para pengunjung kelas atas, mengenakan setelan terbaik dan musik klask yang menenangkan. Kali ini restoran diisi oleh orang-orang dari perusahaanku, mengobrol, saling membahas kemajuan dari divisi masing-masing. Ini adalah malam ramah tamah, sebuah tradisi.
Biasanya aku semangat untuk membahas semua hal yang berhubungan dengan perusahaan, bahkan aku juga beberapa kali membuat keputusan besar untuk perusahaan saat makan malam bulanan kami. Tetapi kali ini berbeda, konsentrasiku terpecah karena khawatir Citra bisa merusak segalanya.
Ah wakil ketua divisi personalia mau apa mendekati Citra? Dia wanita yang gigih dan pesolek. Beberapa kali dia mencoba untuk menggodaku, namun karena aku sudah terlanjur menyukai Maureen, dan terlebih dia juga bukan tipeku, akhirnya aku pura-pura tak tahu dan membiarkan dia.
“Hallo bu Citra, perkenalkan saya Cindy, wakil ketua divisi personalia. Bu Citra ini...kulitnya ehm, eksotis yaa?”
Citra terlihat tidak nyaman, ia menunjukkan gestur yang kurang percaya diri dengan mengusap-usap lengannya sendiri.
“Suka tanning di mana? Pantai? Atau di rumah aja? Pasti di rumah aja kan? secara rumah bos Raka itu kolam renangnya bagus sekali dan areanya cocok banget untuk tanning sepanjang siang. I was there once...” Cindy melirikku dengan nakal, lalu menggigit bibir dengan gaya menggoda.
Huh aku tak suka perempuan terlalu agresif seperti itu.
Dia pasti berniat untuk memanas-manasi Citra, ia memang pernah datang ke rumahku namun bersama dengan beberapa petinggi perusahaan lain untuk malam ramah tamah seperti sekarang. Namun caranya bicara seolah kami sudah melakukan cinta satu malam.
“Jadi...bu Citra rahasianya apa nih bisa sampai menggaet bos Raka? Apa orangtua bu Citra kaya raya banget yaa?”
“Cindy, sepertinya pertanyaan kamu sudah terlalu pribadi. Istriku berhak untuk tidak menjawabnya karena itu bukan urusan yang harus dibagi ke semua orang. Karena kamu, moodku jadi kurang bagus dan sepertinya aku akan pulang sekarang juga.”
“A-apa bos? Jangan..saya cuma mau kenal dengan bu Citra...”
“Tapi caramu bicara tidak mencerminkan itu. Mari Citra, kita pulang saja.”
Citra mengangguk pasrah, ia berdiri dan menyambut tanganku. Kami berdua lalu bergegas pergi keluar dari restoran. Beberapa petinggi mencegah kami supaya tidak pulang, ada juga yang mengomeli CIndy namun tekadku sudah bulat. Aku mau pulang saja.
Sesungguhnya aku tak masalah dengan kata-kata Cindy, toh tak ada satu pun kalimatnya yang menyinggungku. Yaa mungkin bisa saja Citra tersinggung, tetapi aku tidak begitu memperdulikannya juga.
Aku sebenarnya bersyukur juga, karena Cindy berulah aku bisa mendapatkan alasan supaya bisa pulang cepat dan tidak mendapatkan lebih banyak malu. Sepertinya Citra memang membutuhkan lebih banyak pelajaran mengenai gaya hidup papan atas, terlalu lama hidup sulit membuatnya sedikit bingung setelah menikah denganku.
Jika ia begini terus, bagaimana mau membuat Maureen cemburu?
***
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany