Share

Bab 6

Author: Siti Marfuah
last update Last Updated: 2021-09-15 07:23:28

"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?

"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.

Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan.

"Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun.

"Iya, bentar aku ambil tas dulu,"  Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak semalam. Tas yang ia punya satu-satunya, bahkan baju-baju yyang ada di dalam belum sempat ia keluarkan.

Dengan cepat ia keluarkan baju dan barang-barang miliknya, di tumpuk begitu saja di atas sofa.

"Sementara biar di sini dulu, ya? Nanti siang aku bereskan," Ucapnya pada sang istri yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya. Ketika Cakra menoleh, gadis itu hanya mengangguk patuh.

Ia mendekati sang istri, "Mega, aku berangkat, ya?" Lagi-lagi gadis itu hanya mengangguk saja, tanpa berbicara sepatah katapun.

Mega terkesiap ketika Cakra mengulurkan tangannya, mungkin belum terbiasa. Gadis itu hanya menunduk sambil meremas jemari lentiknya, mungkin sedang berfikir keras. Mengetahui hal itu, Cakra tersenyum. Lantas meraih tangan sang istri, dan mengecup punggung tangan yang mendadak berkeringat dingin itu.

"Sampai ketemu nanti siang, ya," Lirihnya. Tak mendapatkan jawaban apapun, hanya gedoran pintu disertai gerutuan tak jelas dari adik bungsu Mega.

"Lama banget, sih?" Lintang bertanya ketus.

"Ada apa?" Tiba-tiba dibelakang mereka sudah berdiri Bu Moko dengan wajah yang lebih garang dari sang anak.

"Ini, Buk. Orang baru di rumah ini, beraninya membantah perintah kita. Masa di suruh antar aja lama banget!" Lintang mengadukan pada nyonya besar. Membuat wanita menor itu membulatkan mata, nyaris keluar dari tempatnya.

"Kamu sudah mulai berani membantah?" Bu Moko mendesis, sambil mengeluarkan telunjuknya hingga hampir mencolok muka Cakra yang masih terdiam. Diamnya itu bukan takut, melainkan tak habis pikir. Mengapa semua orang di rumah ini memiliki watak sama. Terbuat dari apa hati dan akal mereka?

"Saya tidak membantah, Buk. Saya cuma bersiap-siap, tadi tas saya ini masih penuh dengan baju. Makanya .... "

"Jangan banyak alasan! Sudah berangkat sana."

"Iya, Buk," Ucapnya sambil berjalan melewati lintang, mendengus llirih sambil melirik sinis. Lintang terkekeh sebelum menyusulnya.

Hingga ke garasi, mereka berjalan beriringan tanpa ada yang mau berbicara sama sekali. Begitupun Cakra, pemuda itu enggan untuk membuka mulut, jika hanya berakhir dengan pertengkaran tiada ujung.

Ketika ia hendak mendorong motor bututnya, di sebelah suara mobil mewah meraung-raung, lantas melesat meninggalkan Cakra yang masih sibuk memancal start motornya.

"Pakai motor butut begini?" Gumam Lintang mengernyit, wajahnya seperti jijik melihat barang tua itu.

"Jadi berangkat ke kampus, nggak?Kendaraanku cuma ini satu-satunya, kalo kamu nggak mau, ya nggak usah nyuruh aku!"   Cakra berucap agak ketus, muak juga diperlakukan tak manusiawi selama hidupnya.

Lintang terlihat mendengus, sebelum akhirnya menghentakkan kaki sambil naik ke atas jok motor di belakang Cakra. Dengan wajah di tekuk. Memberengut.

Sekitar jam tujuh pagi, jalanan tengah kota Pacitan yang kecil itu telah ramai oleh setiap orang hendak memulai aktivitas. Apalagi jalur menuju sekolah dan kampus pasti di penuhi oleh para siswa berkendara motor. Memanjang memenuhi jalan. Tak jarang mereka saling menyalip dan mendahului.

Cakra menghentikan motor di depan pintu gerbang kampus terfavorit di kota kecil itu. Kampus yang dulu ia tempati untuk menimba ilmu keguruan, hingga kini bisa mengamalkan pada anak didiknya.

Lintang turun di sambut dengan beberapa orang teman berpenampilan modis dan centil. Tentu saja mereka heboh melihat temanya diantar lelaki berwajah rupawan, meski penampilannya sederhana.

"Cie, gebetan baru nih, Lin?"

"Iya, nih. Kayaknya kita ketinggalan berita, ganteng banget lagi."

"Kenalin sama kita dong, Lin."

Celoteh teman-teman lintang sambil tertawa cekikikan. Sementara yang digoda belum menampakkan reaksi apapun.

Gadis bernama Lintang yang memiliki garis wajah galak itu menengadahkan tangan ke arah Cakra.

"Apa?" Cakra bergumam tak mengerti, hingga gadis itu berdecak kesal.

"Lupa apa pura-pura? Uang jajan mana?"

"Ih, si Lintang galak amat sama cowok ganteng begitu."

Tak peduli dengan celotehan teman-temannya itu, Cakra membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang hijau. Lintang menyambar uang itu dengan cepat, "lain kali harus biru. Atau malah yang merah!" Bisiknya ketus, lalu pergi. Mendahului teman-temannya yang lantas berhamburan mengejar, entah kemana.

Ia memutar badan untuk kembali naik ke atas motornya. Waktu yang berjalan semakin ke depan, membuatnya tak punya banyak waktu untuk menunda jadwal keberangkatan menuju sekolah. Belum sempat menaikkan badan keatas jok motor, Cakra terpaksa menoleh ke belakang, karena ada seseorang yang memanggilnya.

Mahasiswi cantik berpenampilan modis, layaknya seorang artis ibu kota. Tergopoh-gopoh mendekat, membuat Cakra mengernyit tak mengerti. Karena seingatnya, selama bekerja, tak pernah lagi mengenal anak kampus.

"Mas," Sapa gadis itu dengan wajah berbinar, sambil tersenyum dan menggumam tak jelas.

"Mas yang antar Lintang tadi, ya?" Tanya gadis itu, ketika sudah berada di depan Cakra.

"Iya. Ada apa?" Sahutnya. Sementara gadis itu hanya senyam-senyum membingungkan.

"Ah, kenalin, Mas," Ucap sosok centil itu sambil mengulurkan tangannya. "Aku Caca," Ia melanjutkan, dan Cakra masih bergeming. Sebelah alisnya yang tebal itu terangkat, heran dengan kelakuan mahasiswi itu.

Seketika gadis modis bernama Caca itu menarik kembali tangannya, sambil mengerucutkan bibirnya.

"Jaim banget, jadi cowok!" Celetuknya.

"Aku Cakra. Ada apa?" Tanya Cakra menahan senyum geli. Sambil memperhatikan raut muka gadis yang sudah berubah menjadi ceria. Sosok itu langsung memamerkan senyum lebar.

"Em, boleh minta nomor WA nggak sih?"

"Buat apa?" Cakra kembali mengerutkan dahi

"Kenalan lah, Mas. Masa nggak peka sih, gitu aja?" Gerutunya lagi.

Karena tak ingin meladeni gadis itu lebih jauh lagi, ia mengalihkan pembicaraan dengan menaikkan sebelah tangan yang mengenakan jam.

"Sudah jam tujuh lebih, aku nanti telat. Dilanjutkan lain waktu saja, ya. Aku harus pergi," Cakra berkata cepat. Tanpa menunggu jawaban si gadis lagi, ia meloncat ke atas motor. Mengenakan helm dan memancal starter motor bututnya.

Selepas kepergiannya, gadis bernama Caca tadi masih memandangi dengan berdecak kagum.

"Duh, ganteng begitu. Penampilannya bersahaja banget," Ucapnya sambil meremas-remas jemari di depan dada.

Sementara Cakra terus melaju bersama motor butut kesayangan. Mencari celah kosong diantara banyaknya kendaraan lalu lalang di sekitar jalan alun-alun kota.

Tak lama, ia tiba di depan pintu gerbang terbuka lebar tiap pagi. Dengan dua orang satpam di seberang kanan dan kirinya. Pak djarot dan Pak Jono. Kedua orang berbadan tegap itu yang menjadi teman mengobrol Cakra, ketika sedang tak ada jadwal mengajar.

"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.

Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 86

    "Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 85

    "Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 84

    "Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 83

    Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 82

    Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 81

    Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status