Share

Bab 6

"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?

"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.

Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan.

"Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun.

"Iya, bentar aku ambil tas dulu,"  Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak semalam. Tas yang ia punya satu-satunya, bahkan baju-baju yyang ada di dalam belum sempat ia keluarkan.

Dengan cepat ia keluarkan baju dan barang-barang miliknya, di tumpuk begitu saja di atas sofa.

"Sementara biar di sini dulu, ya? Nanti siang aku bereskan," Ucapnya pada sang istri yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya. Ketika Cakra menoleh, gadis itu hanya mengangguk patuh.

Ia mendekati sang istri, "Mega, aku berangkat, ya?" Lagi-lagi gadis itu hanya mengangguk saja, tanpa berbicara sepatah katapun.

Mega terkesiap ketika Cakra mengulurkan tangannya, mungkin belum terbiasa. Gadis itu hanya menunduk sambil meremas jemari lentiknya, mungkin sedang berfikir keras. Mengetahui hal itu, Cakra tersenyum. Lantas meraih tangan sang istri, dan mengecup punggung tangan yang mendadak berkeringat dingin itu.

"Sampai ketemu nanti siang, ya," Lirihnya. Tak mendapatkan jawaban apapun, hanya gedoran pintu disertai gerutuan tak jelas dari adik bungsu Mega.

"Lama banget, sih?" Lintang bertanya ketus.

"Ada apa?" Tiba-tiba dibelakang mereka sudah berdiri Bu Moko dengan wajah yang lebih garang dari sang anak.

"Ini, Buk. Orang baru di rumah ini, beraninya membantah perintah kita. Masa di suruh antar aja lama banget!" Lintang mengadukan pada nyonya besar. Membuat wanita menor itu membulatkan mata, nyaris keluar dari tempatnya.

"Kamu sudah mulai berani membantah?" Bu Moko mendesis, sambil mengeluarkan telunjuknya hingga hampir mencolok muka Cakra yang masih terdiam. Diamnya itu bukan takut, melainkan tak habis pikir. Mengapa semua orang di rumah ini memiliki watak sama. Terbuat dari apa hati dan akal mereka?

"Saya tidak membantah, Buk. Saya cuma bersiap-siap, tadi tas saya ini masih penuh dengan baju. Makanya .... "

"Jangan banyak alasan! Sudah berangkat sana."

"Iya, Buk," Ucapnya sambil berjalan melewati lintang, mendengus llirih sambil melirik sinis. Lintang terkekeh sebelum menyusulnya.

Hingga ke garasi, mereka berjalan beriringan tanpa ada yang mau berbicara sama sekali. Begitupun Cakra, pemuda itu enggan untuk membuka mulut, jika hanya berakhir dengan pertengkaran tiada ujung.

Ketika ia hendak mendorong motor bututnya, di sebelah suara mobil mewah meraung-raung, lantas melesat meninggalkan Cakra yang masih sibuk memancal start motornya.

"Pakai motor butut begini?" Gumam Lintang mengernyit, wajahnya seperti jijik melihat barang tua itu.

"Jadi berangkat ke kampus, nggak?Kendaraanku cuma ini satu-satunya, kalo kamu nggak mau, ya nggak usah nyuruh aku!"   Cakra berucap agak ketus, muak juga diperlakukan tak manusiawi selama hidupnya.

Lintang terlihat mendengus, sebelum akhirnya menghentakkan kaki sambil naik ke atas jok motor di belakang Cakra. Dengan wajah di tekuk. Memberengut.

Sekitar jam tujuh pagi, jalanan tengah kota Pacitan yang kecil itu telah ramai oleh setiap orang hendak memulai aktivitas. Apalagi jalur menuju sekolah dan kampus pasti di penuhi oleh para siswa berkendara motor. Memanjang memenuhi jalan. Tak jarang mereka saling menyalip dan mendahului.

Cakra menghentikan motor di depan pintu gerbang kampus terfavorit di kota kecil itu. Kampus yang dulu ia tempati untuk menimba ilmu keguruan, hingga kini bisa mengamalkan pada anak didiknya.

Lintang turun di sambut dengan beberapa orang teman berpenampilan modis dan centil. Tentu saja mereka heboh melihat temanya diantar lelaki berwajah rupawan, meski penampilannya sederhana.

"Cie, gebetan baru nih, Lin?"

"Iya, nih. Kayaknya kita ketinggalan berita, ganteng banget lagi."

"Kenalin sama kita dong, Lin."

Celoteh teman-teman lintang sambil tertawa cekikikan. Sementara yang digoda belum menampakkan reaksi apapun.

Gadis bernama Lintang yang memiliki garis wajah galak itu menengadahkan tangan ke arah Cakra.

"Apa?" Cakra bergumam tak mengerti, hingga gadis itu berdecak kesal.

"Lupa apa pura-pura? Uang jajan mana?"

"Ih, si Lintang galak amat sama cowok ganteng begitu."

Tak peduli dengan celotehan teman-temannya itu, Cakra membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang hijau. Lintang menyambar uang itu dengan cepat, "lain kali harus biru. Atau malah yang merah!" Bisiknya ketus, lalu pergi. Mendahului teman-temannya yang lantas berhamburan mengejar, entah kemana.

Ia memutar badan untuk kembali naik ke atas motornya. Waktu yang berjalan semakin ke depan, membuatnya tak punya banyak waktu untuk menunda jadwal keberangkatan menuju sekolah. Belum sempat menaikkan badan keatas jok motor, Cakra terpaksa menoleh ke belakang, karena ada seseorang yang memanggilnya.

Mahasiswi cantik berpenampilan modis, layaknya seorang artis ibu kota. Tergopoh-gopoh mendekat, membuat Cakra mengernyit tak mengerti. Karena seingatnya, selama bekerja, tak pernah lagi mengenal anak kampus.

"Mas," Sapa gadis itu dengan wajah berbinar, sambil tersenyum dan menggumam tak jelas.

"Mas yang antar Lintang tadi, ya?" Tanya gadis itu, ketika sudah berada di depan Cakra.

"Iya. Ada apa?" Sahutnya. Sementara gadis itu hanya senyam-senyum membingungkan.

"Ah, kenalin, Mas," Ucap sosok centil itu sambil mengulurkan tangannya. "Aku Caca," Ia melanjutkan, dan Cakra masih bergeming. Sebelah alisnya yang tebal itu terangkat, heran dengan kelakuan mahasiswi itu.

Seketika gadis modis bernama Caca itu menarik kembali tangannya, sambil mengerucutkan bibirnya.

"Jaim banget, jadi cowok!" Celetuknya.

"Aku Cakra. Ada apa?" Tanya Cakra menahan senyum geli. Sambil memperhatikan raut muka gadis yang sudah berubah menjadi ceria. Sosok itu langsung memamerkan senyum lebar.

"Em, boleh minta nomor WA nggak sih?"

"Buat apa?" Cakra kembali mengerutkan dahi

"Kenalan lah, Mas. Masa nggak peka sih, gitu aja?" Gerutunya lagi.

Karena tak ingin meladeni gadis itu lebih jauh lagi, ia mengalihkan pembicaraan dengan menaikkan sebelah tangan yang mengenakan jam.

"Sudah jam tujuh lebih, aku nanti telat. Dilanjutkan lain waktu saja, ya. Aku harus pergi," Cakra berkata cepat. Tanpa menunggu jawaban si gadis lagi, ia meloncat ke atas motor. Mengenakan helm dan memancal starter motor bututnya.

Selepas kepergiannya, gadis bernama Caca tadi masih memandangi dengan berdecak kagum.

"Duh, ganteng begitu. Penampilannya bersahaja banget," Ucapnya sambil meremas-remas jemari di depan dada.

Sementara Cakra terus melaju bersama motor butut kesayangan. Mencari celah kosong diantara banyaknya kendaraan lalu lalang di sekitar jalan alun-alun kota.

Tak lama, ia tiba di depan pintu gerbang terbuka lebar tiap pagi. Dengan dua orang satpam di seberang kanan dan kirinya. Pak djarot dan Pak Jono. Kedua orang berbadan tegap itu yang menjadi teman mengobrol Cakra, ketika sedang tak ada jadwal mengajar.

"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.

Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status