"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?
"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.
Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan.
"Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun.
"Iya, bentar aku ambil tas dulu," Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak semalam. Tas yang ia punya satu-satunya, bahkan baju-baju yyang ada di dalam belum sempat ia keluarkan.
Dengan cepat ia keluarkan baju dan barang-barang miliknya, di tumpuk begitu saja di atas sofa.
"Sementara biar di sini dulu, ya? Nanti siang aku bereskan," Ucapnya pada sang istri yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya. Ketika Cakra menoleh, gadis itu hanya mengangguk patuh.
Ia mendekati sang istri, "Mega, aku berangkat, ya?" Lagi-lagi gadis itu hanya mengangguk saja, tanpa berbicara sepatah katapun.
Mega terkesiap ketika Cakra mengulurkan tangannya, mungkin belum terbiasa. Gadis itu hanya menunduk sambil meremas jemari lentiknya, mungkin sedang berfikir keras. Mengetahui hal itu, Cakra tersenyum. Lantas meraih tangan sang istri, dan mengecup punggung tangan yang mendadak berkeringat dingin itu.
"Sampai ketemu nanti siang, ya," Lirihnya. Tak mendapatkan jawaban apapun, hanya gedoran pintu disertai gerutuan tak jelas dari adik bungsu Mega.
"Lama banget, sih?" Lintang bertanya ketus.
"Ada apa?" Tiba-tiba dibelakang mereka sudah berdiri Bu Moko dengan wajah yang lebih garang dari sang anak.
"Ini, Buk. Orang baru di rumah ini, beraninya membantah perintah kita. Masa di suruh antar aja lama banget!" Lintang mengadukan pada nyonya besar. Membuat wanita menor itu membulatkan mata, nyaris keluar dari tempatnya.
"Kamu sudah mulai berani membantah?" Bu Moko mendesis, sambil mengeluarkan telunjuknya hingga hampir mencolok muka Cakra yang masih terdiam. Diamnya itu bukan takut, melainkan tak habis pikir. Mengapa semua orang di rumah ini memiliki watak sama. Terbuat dari apa hati dan akal mereka?
"Saya tidak membantah, Buk. Saya cuma bersiap-siap, tadi tas saya ini masih penuh dengan baju. Makanya .... "
"Jangan banyak alasan! Sudah berangkat sana."
"Iya, Buk," Ucapnya sambil berjalan melewati lintang, mendengus llirih sambil melirik sinis. Lintang terkekeh sebelum menyusulnya.
Hingga ke garasi, mereka berjalan beriringan tanpa ada yang mau berbicara sama sekali. Begitupun Cakra, pemuda itu enggan untuk membuka mulut, jika hanya berakhir dengan pertengkaran tiada ujung.
Ketika ia hendak mendorong motor bututnya, di sebelah suara mobil mewah meraung-raung, lantas melesat meninggalkan Cakra yang masih sibuk memancal start motornya.
"Pakai motor butut begini?" Gumam Lintang mengernyit, wajahnya seperti jijik melihat barang tua itu.
"Jadi berangkat ke kampus, nggak?Kendaraanku cuma ini satu-satunya, kalo kamu nggak mau, ya nggak usah nyuruh aku!" Cakra berucap agak ketus, muak juga diperlakukan tak manusiawi selama hidupnya.
Lintang terlihat mendengus, sebelum akhirnya menghentakkan kaki sambil naik ke atas jok motor di belakang Cakra. Dengan wajah di tekuk. Memberengut.
Sekitar jam tujuh pagi, jalanan tengah kota Pacitan yang kecil itu telah ramai oleh setiap orang hendak memulai aktivitas. Apalagi jalur menuju sekolah dan kampus pasti di penuhi oleh para siswa berkendara motor. Memanjang memenuhi jalan. Tak jarang mereka saling menyalip dan mendahului.
Cakra menghentikan motor di depan pintu gerbang kampus terfavorit di kota kecil itu. Kampus yang dulu ia tempati untuk menimba ilmu keguruan, hingga kini bisa mengamalkan pada anak didiknya.
Lintang turun di sambut dengan beberapa orang teman berpenampilan modis dan centil. Tentu saja mereka heboh melihat temanya diantar lelaki berwajah rupawan, meski penampilannya sederhana.
"Cie, gebetan baru nih, Lin?"
"Iya, nih. Kayaknya kita ketinggalan berita, ganteng banget lagi."
"Kenalin sama kita dong, Lin."
Celoteh teman-teman lintang sambil tertawa cekikikan. Sementara yang digoda belum menampakkan reaksi apapun.
Gadis bernama Lintang yang memiliki garis wajah galak itu menengadahkan tangan ke arah Cakra.
"Apa?" Cakra bergumam tak mengerti, hingga gadis itu berdecak kesal.
"Lupa apa pura-pura? Uang jajan mana?"
"Ih, si Lintang galak amat sama cowok ganteng begitu."
Tak peduli dengan celotehan teman-temannya itu, Cakra membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang hijau. Lintang menyambar uang itu dengan cepat, "lain kali harus biru. Atau malah yang merah!" Bisiknya ketus, lalu pergi. Mendahului teman-temannya yang lantas berhamburan mengejar, entah kemana.
Ia memutar badan untuk kembali naik ke atas motornya. Waktu yang berjalan semakin ke depan, membuatnya tak punya banyak waktu untuk menunda jadwal keberangkatan menuju sekolah. Belum sempat menaikkan badan keatas jok motor, Cakra terpaksa menoleh ke belakang, karena ada seseorang yang memanggilnya.
Mahasiswi cantik berpenampilan modis, layaknya seorang artis ibu kota. Tergopoh-gopoh mendekat, membuat Cakra mengernyit tak mengerti. Karena seingatnya, selama bekerja, tak pernah lagi mengenal anak kampus.
"Mas," Sapa gadis itu dengan wajah berbinar, sambil tersenyum dan menggumam tak jelas.
"Mas yang antar Lintang tadi, ya?" Tanya gadis itu, ketika sudah berada di depan Cakra.
"Iya. Ada apa?" Sahutnya. Sementara gadis itu hanya senyam-senyum membingungkan.
"Ah, kenalin, Mas," Ucap sosok centil itu sambil mengulurkan tangannya. "Aku Caca," Ia melanjutkan, dan Cakra masih bergeming. Sebelah alisnya yang tebal itu terangkat, heran dengan kelakuan mahasiswi itu.
Seketika gadis modis bernama Caca itu menarik kembali tangannya, sambil mengerucutkan bibirnya.
"Jaim banget, jadi cowok!" Celetuknya.
"Aku Cakra. Ada apa?" Tanya Cakra menahan senyum geli. Sambil memperhatikan raut muka gadis yang sudah berubah menjadi ceria. Sosok itu langsung memamerkan senyum lebar.
"Em, boleh minta nomor WA nggak sih?"
"Buat apa?" Cakra kembali mengerutkan dahi
"Kenalan lah, Mas. Masa nggak peka sih, gitu aja?" Gerutunya lagi.
Karena tak ingin meladeni gadis itu lebih jauh lagi, ia mengalihkan pembicaraan dengan menaikkan sebelah tangan yang mengenakan jam.
"Sudah jam tujuh lebih, aku nanti telat. Dilanjutkan lain waktu saja, ya. Aku harus pergi," Cakra berkata cepat. Tanpa menunggu jawaban si gadis lagi, ia meloncat ke atas motor. Mengenakan helm dan memancal starter motor bututnya.
Selepas kepergiannya, gadis bernama Caca tadi masih memandangi dengan berdecak kagum.
"Duh, ganteng begitu. Penampilannya bersahaja banget," Ucapnya sambil meremas-remas jemari di depan dada.
Sementara Cakra terus melaju bersama motor butut kesayangan. Mencari celah kosong diantara banyaknya kendaraan lalu lalang di sekitar jalan alun-alun kota.
Tak lama, ia tiba di depan pintu gerbang terbuka lebar tiap pagi. Dengan dua orang satpam di seberang kanan dan kirinya. Pak djarot dan Pak Jono. Kedua orang berbadan tegap itu yang menjadi teman mengobrol Cakra, ketika sedang tak ada jadwal mengajar.
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.
Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai.
***
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai."Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan."Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cak
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.
Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay."Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya."Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu."Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega."Iya," Bu Moko menjawab singkat."Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?" Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya."Iya,
Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran."Kalian sedang apa?"Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik.Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya."Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak."Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja."Aku tadi sedang mencuci piring di