Share

Bab 7

Author: Siti Marfuah
last update Last Updated: 2021-09-15 07:24:19

"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.

Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai.

"Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan.

"Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja,"  Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?

"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?"  Cakra menyahut.

"Aku yang harusnya bertanya begitu padamu, ngapain kamu di sini? Apa ini tempatmu mengajar?" Cakra mengangguk menjawab pertanyaan kakak iparnya itu.

"Kalau begitu berarti kamu termasuk orang baru. Aku sudah sepuluh tahun, menjadi donatur tetap di sekolah ini," Bima bersuara lagi. Kali ini benar-benar membuat Cakra melongo, tak percaya.

"Sepuluh tahun?" Gumamnya.

"Benar. Kenapa? Apa kamu kaget? Karena aku memang sekaya ini untuk bisa menjadi donatur di sini. Kamu pasti nggak menyangka bukan, sebagian gajimu itu pasti uang dariku,"

Cakra tak menjawab, ia hanya bungkam. Sementara Bima terbahak sambil berjalan melewatinya, sengaja menabrak bahu Cakra hingga guru sukuan itu bergerak dua langkah. Sambil mengamati punggung menjauh, menuju kantor guru itu. Ia sendiri mendadak belum siap masuk ke sana.

"Pak Cakra. Kok malah bengong di sini? Anak-anak sudah masuk, lho," Pak Djarot yang berdiri tak jauh darinya berteriak. Membuyarkan lamunan Cakra yang telah melayang entah kemana. Ia segera menguasi  diri dengan memperbaiki tas ranselnya, lalu berjalan tegap. Menuju kantor guru.

Beberapa rekan guru nampak sedang asyik berbincang di kursi masing-masing. Serta beberapa yang lain baru keluar membawa setumpuk buku. Memang anak-anak di kelas sana telah menunggu kedatangannya.

"Tumben baru datang, Pak Cakra?" Salah satu menyapa, dan hanya di jawab dengan anggukan kepala saja oleh lelaki yang bergelar guru ganteng itu.

Langkahnya tegas menuju ambang pintu kantor, dan suara keras Bima pun terdengar jelas. Membangga-banggakan dirinya dengan uang yang dimiliki.

"Selamat pagi," Cakra menyapa sambil melewati pintu dan menyalami satu persatu rekan guru.

"Nah, ini dia adik ipar yang saya ceritakan itu Pak, Buk," Ucap Bima tiba-tiba. Tentu saja membuat semua guru di ruangan itu tersentak tak percaya. Karena mereka telah mengetahui bagaimana kisah pernikahan adik ipar Bima itu. Mereka tahu, bahwa pernikahan itu berlangsung kilat, dan hanya untuk melunasi hutang sang paman yang menggunung.

"Pak Cakra?" Salah satu guru perempuan bergumam, ternganga sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Iya. Benar sekali, Buk. Dia adik ipar saya, pemuda yang dinikahkan paksa karena untuk melunasi hutang pamannya," Bima menjawab antusias. Tanpa peduli jika Cakra sudah sejak tadi merasa kikuk, tak nyaman dengan pembahasan itu. Apalagi sebagian besar rekan guru menatapnya dengan tatapan iba. Ada juga yang menatap dengan wajah menuntut penjelasan.

Semua itu membuat Cakra benar-benar kehilangan rasa nyaman, ia hanya bisa tersenyum getir. Meletakkan tas di atas meja dan mengambil buku pelajaran untuk hari ini. Bahasa Indonesia kelas tujuh.

Tanpa peduli dengan tatapan aneh itu, ia kembali keluar untuk menuju kelas yang mejadi jadwalnya pagi ini.

"Pak Cakra."

"Oh, bu Indah. Baru mau masuk juga?" Terpaksa ia menoleh, rupanya masih ada guru lain yang belum masuk kelas. Guru perempuan itu berjalan mensejajarkan diri dengannya, sambil tersenyum kaki.

"Jadi benar, Pak Cakra sudah menikah?"  Sebuah pertanyaan wajar, karena di antara para guru di sekolah itu, hanya ia seorang yang masih membujang. Dan selama ini belum pernah beredar kabar akan pernikahannya.

"Iya, bu," Jawabnya enggan.

"Dengan proses menikah yang seperti itu, Pak?" 

Ketika ia menatap lawan bicara, nampak Bu ilIndah memandangnya dengan tatapan iba.

"Iya, Bu."

"Pak Cakra mau? Menikah dengan orang yang nggak dikenal sebelumya? Apalagi, alasannya untuk melunasi hutang Paman Bapak?" Cecar Bu Indah. Sepertinya kabar pernikahannya memang sudah merebak ke seluruh sudut-sudut ruang sekolah ini. Dan siapa lagi yang menyebarkan, kalau bukan Bima itu? Geramnya dalam hati.

"Ya, mau gimana lagi, Bu? Sudah jadi jalan hidup saya, mungkin," Jawabnya selalu santai seperti tak ada beban.

"Kok kayak di sinetron-sinetron saja sih, Pak. Duh, coba kalo saya apa bisa tidur nyenyak?" Gumam wanita yang mengenakan seragam batik korpri itu.

"Saya cuman berusaha menjalani hidup dengan enjoy saja, Bu. Saya yakin, dibalik musibah pasti tersimpan hadiah yang luar biasa," Jawab Cakra lagi-lagi dengan senyuman tulus, setulus orangnya setiap kali dihadapkan oleh sesuatu.

"Yang sabar ya, Pak."

"Saya sudah biasa hidup begitu, Bu. Bahkan rasanya hati ini sudah mati rasa. Nggak peduli lagi sama hinaan dan cacian," Terangnya dengan menghentikan langkah, Karena bu indah sudah tiba di depan kelasnya.

"Saya masuk dulu, Pak."

"Iya, Bu," Ia kembali berjalan. Menyusuri lorong panjang depan kelas yang menghubungkan ke kantin sekolah.

Tak lama, ia tiba di depan kelasnya. Belasan murid yang tadi riuh dan bergerombol di salah satu sudut kelas itu berhamburan ketika melihat gurunya datang. Duduk di bangku masing-masing, dengan sesekali tersenyum geli, melirik teman terdekatnya. Entah apa yang baru saja mereka bahas.

"Pagi semuanya."

"Pagi, Pak!" Serentak anak-anak itu dengan kompak.

"Sudah siap belajar, kan?"

"Ya jelas dong, Pak. Kalo sama Pak Cakra sih, kapan saja siap," Celetuk salah satu murid perempuan dengan gayanya yang centil. Lantas di sambut dengan teriakan dari yang lain.

"Huuuu!"

"Kepedean!"

"Caper itu, Pak!"

"Sudah, sudah. Kita mulai saja, ya."

Hening setelahnya, lalu kelas berjalan seperti biasa. Meski kadang diselingi dengan celotehan khas anak-anak remaja yang membuat proses pembelajaran semakin semarak. Hingga jadwal berakhir, dan pelajaran berganti dengan yang lain.

Cakra tak langsung menuju kantor, ia masih enggan untuk kembali mendengarkan suara-suara yang hanya akan membuat panas kepala. Ia memilih untuk beristirahat di kantin yang masih sepi karena memang belum waktunya anak-anak istirahat.

"Tumben Mas, sudah kesini?" Tanya Ibu kantin yang masih sibuk, entah memasak apa hari itu.

"Iya, bukan. Jadwal lagi nanti setelah istirahat, jadi nongkrong dulu disini," Jawabnya. Lantas  memilih camilan ringan yang sudah disediakan di atas meja kasir. Karena belum ada siapapun, ia memilih untuk duduk saja di sana sambil mencicipi jajanan.

"Lha itu, Pak Hendra," Tunjuk bu kantin ke arah luar, di sana Pak Kepala Sekolah itu lewat di depan pintu. Masuk ke kantin. Kebiasaannya setelah berkeliling kelas, memastikan semua gurunya melaksanakan tugasnya dengan baik.

"Oh, ada Pak Cakra?" Sapa Pak Hendra, ikut duduk di samping.

"Iya, Pak. Kebetulan jam saya sudah selesai," Jawabnya tersenyum kikuk.

"Sudah nggak ada jadwal lagi?" Tanya Pak Hendra.

"Oh, masih Pak. Nanti setelah istirahat," Jawabnya, memperhatikan Pak Hendra yang sesekali menengok ke arah luar.

"Apa sedang menunggu seseorang, Pak?" Tanyanya penasaran.

"Benar. Saya tadi janjian sama Pak Bima. Hari ini katanya datang ke sini," Pak Hendra masih  mengamati keadaan luar yang lengang. Berbeda sekali ketika jam istirahat, pasti banyak anak-anak lalu-lalang. Lewat di depan kantin.

"Oh, itu dia." Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, Pak Kepala Sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat.

"Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?"

"Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
rico ardiyanto
setiap halaman Kepa harus di ulang ulang sih. di bagian baris pertama
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 86

    "Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 85

    "Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 84

    "Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 83

    Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 82

    Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 81

    Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status