"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.
Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai.
"Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan.
"Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?
"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cakra menyahut.
"Aku yang harusnya bertanya begitu padamu, ngapain kamu di sini? Apa ini tempatmu mengajar?" Cakra mengangguk menjawab pertanyaan kakak iparnya itu.
"Kalau begitu berarti kamu termasuk orang baru. Aku sudah sepuluh tahun, menjadi donatur tetap di sekolah ini," Bima bersuara lagi. Kali ini benar-benar membuat Cakra melongo, tak percaya.
"Sepuluh tahun?" Gumamnya.
"Benar. Kenapa? Apa kamu kaget? Karena aku memang sekaya ini untuk bisa menjadi donatur di sini. Kamu pasti nggak menyangka bukan, sebagian gajimu itu pasti uang dariku,"
Cakra tak menjawab, ia hanya bungkam. Sementara Bima terbahak sambil berjalan melewatinya, sengaja menabrak bahu Cakra hingga guru sukuan itu bergerak dua langkah. Sambil mengamati punggung menjauh, menuju kantor guru itu. Ia sendiri mendadak belum siap masuk ke sana.
"Pak Cakra. Kok malah bengong di sini? Anak-anak sudah masuk, lho," Pak Djarot yang berdiri tak jauh darinya berteriak. Membuyarkan lamunan Cakra yang telah melayang entah kemana. Ia segera menguasi diri dengan memperbaiki tas ranselnya, lalu berjalan tegap. Menuju kantor guru.
Beberapa rekan guru nampak sedang asyik berbincang di kursi masing-masing. Serta beberapa yang lain baru keluar membawa setumpuk buku. Memang anak-anak di kelas sana telah menunggu kedatangannya.
"Tumben baru datang, Pak Cakra?" Salah satu menyapa, dan hanya di jawab dengan anggukan kepala saja oleh lelaki yang bergelar guru ganteng itu.
Langkahnya tegas menuju ambang pintu kantor, dan suara keras Bima pun terdengar jelas. Membangga-banggakan dirinya dengan uang yang dimiliki.
"Selamat pagi," Cakra menyapa sambil melewati pintu dan menyalami satu persatu rekan guru.
"Nah, ini dia adik ipar yang saya ceritakan itu Pak, Buk," Ucap Bima tiba-tiba. Tentu saja membuat semua guru di ruangan itu tersentak tak percaya. Karena mereka telah mengetahui bagaimana kisah pernikahan adik ipar Bima itu. Mereka tahu, bahwa pernikahan itu berlangsung kilat, dan hanya untuk melunasi hutang sang paman yang menggunung.
"Pak Cakra?" Salah satu guru perempuan bergumam, ternganga sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Iya. Benar sekali, Buk. Dia adik ipar saya, pemuda yang dinikahkan paksa karena untuk melunasi hutang pamannya," Bima menjawab antusias. Tanpa peduli jika Cakra sudah sejak tadi merasa kikuk, tak nyaman dengan pembahasan itu. Apalagi sebagian besar rekan guru menatapnya dengan tatapan iba. Ada juga yang menatap dengan wajah menuntut penjelasan.
Semua itu membuat Cakra benar-benar kehilangan rasa nyaman, ia hanya bisa tersenyum getir. Meletakkan tas di atas meja dan mengambil buku pelajaran untuk hari ini. Bahasa Indonesia kelas tujuh.
Tanpa peduli dengan tatapan aneh itu, ia kembali keluar untuk menuju kelas yang mejadi jadwalnya pagi ini.
"Pak Cakra."
"Oh, bu Indah. Baru mau masuk juga?" Terpaksa ia menoleh, rupanya masih ada guru lain yang belum masuk kelas. Guru perempuan itu berjalan mensejajarkan diri dengannya, sambil tersenyum kaki.
"Jadi benar, Pak Cakra sudah menikah?" Sebuah pertanyaan wajar, karena di antara para guru di sekolah itu, hanya ia seorang yang masih membujang. Dan selama ini belum pernah beredar kabar akan pernikahannya.
"Iya, bu," Jawabnya enggan.
"Dengan proses menikah yang seperti itu, Pak?"
Ketika ia menatap lawan bicara, nampak Bu ilIndah memandangnya dengan tatapan iba.
"Iya, Bu."
"Pak Cakra mau? Menikah dengan orang yang nggak dikenal sebelumya? Apalagi, alasannya untuk melunasi hutang Paman Bapak?" Cecar Bu Indah. Sepertinya kabar pernikahannya memang sudah merebak ke seluruh sudut-sudut ruang sekolah ini. Dan siapa lagi yang menyebarkan, kalau bukan Bima itu? Geramnya dalam hati.
"Ya, mau gimana lagi, Bu? Sudah jadi jalan hidup saya, mungkin," Jawabnya selalu santai seperti tak ada beban.
"Kok kayak di sinetron-sinetron saja sih, Pak. Duh, coba kalo saya apa bisa tidur nyenyak?" Gumam wanita yang mengenakan seragam batik korpri itu.
"Saya cuman berusaha menjalani hidup dengan enjoy saja, Bu. Saya yakin, dibalik musibah pasti tersimpan hadiah yang luar biasa," Jawab Cakra lagi-lagi dengan senyuman tulus, setulus orangnya setiap kali dihadapkan oleh sesuatu.
"Yang sabar ya, Pak."
"Saya sudah biasa hidup begitu, Bu. Bahkan rasanya hati ini sudah mati rasa. Nggak peduli lagi sama hinaan dan cacian," Terangnya dengan menghentikan langkah, Karena bu indah sudah tiba di depan kelasnya.
"Saya masuk dulu, Pak."
"Iya, Bu," Ia kembali berjalan. Menyusuri lorong panjang depan kelas yang menghubungkan ke kantin sekolah.
Tak lama, ia tiba di depan kelasnya. Belasan murid yang tadi riuh dan bergerombol di salah satu sudut kelas itu berhamburan ketika melihat gurunya datang. Duduk di bangku masing-masing, dengan sesekali tersenyum geli, melirik teman terdekatnya. Entah apa yang baru saja mereka bahas.
"Pagi semuanya."
"Pagi, Pak!" Serentak anak-anak itu dengan kompak.
"Sudah siap belajar, kan?"
"Ya jelas dong, Pak. Kalo sama Pak Cakra sih, kapan saja siap," Celetuk salah satu murid perempuan dengan gayanya yang centil. Lantas di sambut dengan teriakan dari yang lain.
"Huuuu!"
"Kepedean!"
"Caper itu, Pak!"
"Sudah, sudah. Kita mulai saja, ya."
Hening setelahnya, lalu kelas berjalan seperti biasa. Meski kadang diselingi dengan celotehan khas anak-anak remaja yang membuat proses pembelajaran semakin semarak. Hingga jadwal berakhir, dan pelajaran berganti dengan yang lain.
Cakra tak langsung menuju kantor, ia masih enggan untuk kembali mendengarkan suara-suara yang hanya akan membuat panas kepala. Ia memilih untuk beristirahat di kantin yang masih sepi karena memang belum waktunya anak-anak istirahat.
"Tumben Mas, sudah kesini?" Tanya Ibu kantin yang masih sibuk, entah memasak apa hari itu.
"Iya, bukan. Jadwal lagi nanti setelah istirahat, jadi nongkrong dulu disini," Jawabnya. Lantas memilih camilan ringan yang sudah disediakan di atas meja kasir. Karena belum ada siapapun, ia memilih untuk duduk saja di sana sambil mencicipi jajanan.
"Lha itu, Pak Hendra," Tunjuk bu kantin ke arah luar, di sana Pak Kepala Sekolah itu lewat di depan pintu. Masuk ke kantin. Kebiasaannya setelah berkeliling kelas, memastikan semua gurunya melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Oh, ada Pak Cakra?" Sapa Pak Hendra, ikut duduk di samping.
"Iya, Pak. Kebetulan jam saya sudah selesai," Jawabnya tersenyum kikuk.
"Sudah nggak ada jadwal lagi?" Tanya Pak Hendra.
"Oh, masih Pak. Nanti setelah istirahat," Jawabnya, memperhatikan Pak Hendra yang sesekali menengok ke arah luar.
"Apa sedang menunggu seseorang, Pak?" Tanyanya penasaran.
"Benar. Saya tadi janjian sama Pak Bima. Hari ini katanya datang ke sini," Pak Hendra masih mengamati keadaan luar yang lengang. Berbeda sekali ketika jam istirahat, pasti banyak anak-anak lalu-lalang. Lewat di depan kantin.
"Oh, itu dia." Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, Pak Kepala Sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat.
"Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?"
"Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"
***
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.
Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay."Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya."Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu."Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega."Iya," Bu Moko menjawab singkat."Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?" Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya."Iya,
Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran."Kalian sedang apa?"Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik.Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya."Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak."Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja."Aku tadi sedang mencuci piring di
Siang ini, Cakra baru saja pulang dari sekolah. Langkahnya tergesa-gesa, menuju kamar temen istrinya berada. Di sana, Mega duduk di sofa, tempat biasa Cakra menjalani tidur malamnya. Gadis itu sedang asyik dengan gawai di tangan. TV yang terpasang pada sisi ruangan depan ranjang juga menyala. Ia tak menyadari ketika suaminya masuk."Mega?" Cakra menyapa sambil melepas tas ransel dan menggantungnya di dekat gantungan baju. Ia mendekati Mega, duduk di sebelahnya.Tak ada kata terucap dari gadis itu setelah lirikannya tadi. Mungkin masih marah dengan suaminya. Hanya sesekali melirik, ketika Cakra mencuri pandang ke arahnya. Dan kembali membuang muka, ketika tatapan mata mereka ternyata bertemu.Mega akan kembali tertunduk menatap layar pipinya, tentunya dengan rona merah di sepasang pipi. Hal itu, membuat Cakra menggeleng sambil terkekeh dalam hati. Menyadari betapa besar gengsi yang dipunyai seorang Mega.Cakra berdiri