"Akkkkhhh!"Arnita langsung berlari menuju asal suara. Ia membulatkan matanya melihat Mawar terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Segera Arnita ikut membantu Mawar untuk berdiri tetapi tangannya segera ditepis oleh ibu mertuanya. "Bibi gimana sih lantai basah kok nggak di keringin!" Mawar berdecak kesal mendapati lantai yang ia pijak ternyata basah. Ia ngilu merasakan bokongnya yang mendarat lebih dahulu mencium dinginnya lantai marmer. "Aku yang salah mbak, bukan bibi. Tadi aku baru aja ke dapur mau ambil kain kering untuk mengeringkan lantai." jelas Arnita. Ia tidak tega jika bi Ira yang disalahkan karena jujur ini adalah salahnya. Mata Mawar menatap Arnita dengan tajam, bibirnya berdecak mendengar pengakuan Arnita. "Oh jadi kamu yang sengaja bikin lantai basah? Kamu dendam sama aku Nit? Kamu nggak suka karena aku pengen rebut rumah warisan milik suamimu itu kan!" emosi Mawar semakin berkobar begitu mengetahui Arnita yang ternyata yang membuat lantai basah. "Enggak mba
Arnita mengusap dadanya yang berdebar lebih cepat. Ia merasa terkejut mendengar Kenzi membentaknya dan menutup pintu dengan keras tepat di depannya. Arnita tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin saja Kenzi masih kesal dengan kejadian kemarin saat ia tidak sengaja membuat mbak Mawar jatuh. "Non bibi permisi." bi Ira menundukkan kepalanya dan pergi berlalu ke dapur."Ngapain kamu disini? Mau menghasut anak saya? Belum cukup kamu menghasut Arman?" Arnita membalikkan badannya begitu mendengar suara yang ia kenali. Mbak Mawar tengah berdiri di depannya dengan kedua tangan dilipat di depan. Jangan lupakan wajah mencemooh mbak Mawar yang selalu terlihat saat di depan Arnita. "Emm saya tadi cuman mau bantuin bi Ira untuk bangunin Kenzi mbak." Arnita mengulas senyum tipis meski ia mendapat tatapan sinis dari kakak iparnya itu."Nggak usah sok perhatian sama anak saya! Urusin aja hidup kamu!" Mawar berjalan melewati Arnita. Saat bersisian dengan Arnita, Mawar menyenggol pelan bahu Arnita hi
Arnita menatap Imel yang juga sama khawatir dengannya. Setelah Kenzi tidak sengaja menumpahkan minuman di baju Mawar, Mawar langsung menarik Kenzi masuk ke dalam kamar. "Mbak gimana kalau aku cek aja kamarnya mbak Mawar?" ujar Arnita memberi usulan. Ia khawatir jika mbak Mawar akan menyakiti Kenzi."Nggak perlu! Kamu nggak usah ikut campur! Mawar itu ibunya, nggak mungkin dia nyakitin anaknya sendiri. Lebih baik kamu bantuin bibi buat makan siang." ujar Cintya menghentikan niat Arnita yang ingin pergi ke kamar Mawar."Ma, Arnita kan cuman khawatir tentang keadaannya Kenzi." Imel menepuk pelan bahu mamanya yang sudah berbicara keterlaluan ke Arnita."Kamu ini selalu belain dia, kamu sama Arman sama aja!" Cintya menunjukkan wajah tidak sukanya karena kedua anaknya lebih membela Arnita daripada dirinya. Cintya melenggang pergi meninggalkan Imel dan Cintya begitu saja."Yaudah mbak, aku mau bantuin bibi nyiapin makan siang dulu." ujar Arnita."Mbak juga mau bantu." Imel menarik lengan Ar
Sudah lima belas menit yang lalu bel sekolah SMA Sriwijaya berbunyi. Sekolah dengan standar internasional, hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa masuk ke dalam sekolah tersebut. Fasilitas yang disediakan juga sangat lengkap dan modern. Saat semua siswa telah pulang ke rumah masing-masing, tidak bagi lima siswa yang masih berada di halaman belakang sekolah. Terlihat empat orang siswa sedang mengerumuni seorang siswa. "Gue udah kasih tau jangan sok jagoan lo di sekolah ini. Modal beasiswa aja belagu!" sindir perempuan cantik berambut panjang."Udah Ni kasih pelajaran aja tuh anak kampung!" ujar siswa lainnya mengompor-kompori. Yang dimaksud anak kampung oleh gadis itu adalah Lea adik kandung Arnita. Dan yang sedang menyudutkan Lea adalah Agni adik Arman. Mereka memang satu sekolah semenjak Arnita menikah dengan Arman. Arman tidak membiayai sekolah Lea, karena keluarga Arnita menolak uang dari Arman. Karena itu Arman membantu mendaftarkan Lea ke sekolah Agni lewat jalur beasi
Arnita mengerjapkan matanya beberapa kali, ia tidak bisa memejamkan matanya. Mungkin ini efek kopi yang ia minum tadi bersama dengan Arman. Arnita berniat membuatkan kopi untuk Arman saat laki-laki itu sedang mengerjakan pekerjaan kantor. Melihat Arman minum kopi buatannya membuat Arnita juga ingin minum kopi. Jadilah ia membuat kopi untuk dirinya. Dan sekarang Arnita memiliki masalah dengan tidurnya. Sebelumnya Arnita tidak pernah tidur diatas jam sepuluh malam, tapi malam ini Arnita masih membuka matanya padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Arnita menengokkan kepalanya ke samping, ia merasakan sebuah pergerakan di sampingnya. Mata Arnita bertatapan dengan mata Arman. "Kau juga tidak bisa tidur?" tanya Arman dengan wajah ingin tertawa. Arnita menganggukkan kepalanya."Huh, karena kopimu kita tidak bisa tidur." ujar Arman diakhiri dengan suara tawanya. "Maaf," Arnita meringis, karenanya Arman tidak bisa tidur. Apalagi besok Arman masih harus pergi ke kantor. Arman me
Cintya yang sedang duduk santai di ruang tengah menengokkan kepalanya ke belakang melihat Arnita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Kamu udah selesai lap semua tas saya?" tanya Cintya."Udah ma." "Kalau sudah, kamu rapikan pohon bonsai di halaman depan." suruh Cintya."Iya ma." Arnita memutar tubuhnya dan berjalan keluar rumah.Biasanya setiap dua minggu sekali akan ada tukang kebun yang datang ke rumah untuk merapikan tanaman-tanaman yang ada di rumah. Dan baru sepuluh hari yang lalu tukang kebun yang biasanya datang ke rumah. Dan seharusnya empat hari kedepan tukang kebun baru akan datang ke rumah. Tapi mungkin kemungkinan tukang kebun tidak akan datang besok, karena Arnita sudah menyelesaikan pekerjaannya. Arnita menggunting satu persatu daun kering dan memberikan pupuk tambahan ke beberapa tanaman. Sebelumnya Arnita tidak pernah belajar mengenai bagaimana cara merawat tanaman. Semoga saja yang ia lakukan ke tanaman ibu mertuanya sudah benar. Selesai bercocok tanam, Arnita m
"Mas," panggil Arnita.Arnita menghela nafasnya melihat Arman yang masih diam. Setelah berdebat dengan mamanya, Arman menjadi lebih banyak diam. Arnita mendudukan tubuhnya untuk bisa leluasa menatap Arman."Istirahat aja." ujar Arman yang tidak suka Arnita mendudukan dirinya."Aku udah baikan kok mas." ujar Arnita mencoba membuat Arman untuk tidak khawatir.Arnita beranjak turun dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arman. Tangan Arnita mengusap pundak Arman. Ia tahu suaminya saat ini sedang berusaha untuk mengontrol emosinya. "Mas jangan marah sama mama." ujar Arnita memperingatkan Arman.Arman mendongakkan kepalanya ke arah Arnita."Saya juga nggak mau marah sama mama. Tapi kali ini mama sudah benar-benar keterlaluan. Dia memperlakukanmu seperti pembantu di rumah ini, dan saya tidak bisa tinggal diam." ujar Arman masih dengan emosi yang sedikit menggebu-gebu."Tapi mama kan orang tua mas, mama juga lebih tua dari mas, harusnya mas nggak langsung emosi begitu s
Arnita menatap rumah besar di depannya. Mulai saat ini ia akan tinggal di rumah ini. Arnita seperti sedang bermimpi dapat menempati rumah impiannya saat kecil. Dulu rumah impiannya adalah rumah yang memiliki halaman luas dan banyak ditumbuhi tanaman hijau seperti yang ada di depan matanya saat ini. Dan sekarang lihatlah, mimpi Arnita seakan menjadi kenyataan. "Ada apa? Kamu nggak suka kita pindah kesini?" tanya Arman sambil menatap Arnita dengan pandangan bertanya.Arnita menggelengkan kepalanya. Arnita mengembangkan senyumnya memperlihatkan rasa senang yang sedang ia rasakan saat ini. Arnita kembali melangkahkan kakinya sambil membawa box berukuran sedang di tangannya. "Biar aku saja." Arman mengambil alih sofa yang ingin diangkat oleh Arnita.Arman menggelengkan kepalanya melihat tubuh kecil Arnita yang ingin mengangkat sebuah sofa seorang diri. Arman dan Arnita saling bekerja sama membereskan rumah baru mereka. Arnita berjalan ke dapur berniat membuatkan minuman untuk mereka dan