"Mama mau tambah lauknya?" tanya Arnita menawari ibu mertuanya.
"Nggak, sudah cukup." balas Cintya singkat."Ma aku titip Kenzo ya, soalnya aku ada jadwal pemotretan hari ini." ujar Mawar di sela sarapannya.Sudah menjadi kebiasaan jika Mawar ada jadwal pemotretan, maka dia akan menitipkan Kenzo kepada ibu mertuanya. Setau Arnita Mawar memiliki jadwal pemotretan yang cukup padat. Bahkan kakak iparnya itu pernah tidak pulang selama tiga hari dan tidak datang di acara pernikahan Arnita dan Arman."Iya, nanti biar bi Ira yang mengantar Kenzo ke sekolah atau nggak biar Arnita yang mengantar Kenzo. Arnita kan nggak punya kerjaan yang penting." balas Cintya sambil melirik ke arah Arnita dengan tatapan menyepelekan.Tangan Arnita yang ingin menyuapkan makanan ke mulutnya tiba-tiba berhenti. Arnita akui jika ia memang tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan semua menantu di rumah ini memiliki pekerjaan. Tapi Arnita juga ikut merawat rumah ini, tapi itu saja tidak cukup untuk membuatnya terlihat jika ia juga bekerja. Arnita kadang merasa iri saat ibu mertuanya memperlakukan mbak Mawar dengan sangat baik dan berbalik dengan dirinya. Arnita tersenyum tipis menanggapi perkataan ibu mertuanya."Kamu bisa kan Nit mengantar Kenzo ke sekolah nanti? Nggak mungkin kan bi Ira yang antar Kenzo, kasihan kan bi Ira pasti kecapean sudah tua dan harus menghadapi sikap Kenzo yang susah diam." ujar Mawar dengan gaya angkuhnya menatap ke arah Arnita."Kamu ada kesibukan hari ini Nit? Oh iya lupa kamu kan nggak bekerja ya?" ujar Mawar dengan sindiran halusnya.Rahang Arman mengeras mendengar ucapan kakak iparnya itu yang menjelek-jelekkan Arnita. "Nanti biar aku aja mbak yang antar Kenzo ke sekolah sekalian berangkat ke kantor." ujar Arman yang membuat Mawar kicep."Yaudah ma, aku berangkat sekarang. Nanti sebelum pulang aku belikan mama lasagna di restoran biasanya." seketika kedua mata Cintya berbinar. "Iya hati-hati." Cintya tersenyum tipis."Mama udah kenyang, Nit nanti kamu bawa sisa makanannya ke dapur ya." ujar Cintya dengan sikap bossy.Arnita menahan tangan Arman yang ingin membalas ucapan mamanya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Mas sudah selesai?" tanya Arnita sambil mulai membereskan meja makan."Sudah," Arnita mengambil piring bekas Arman dan membawanya ke dapur.***Malam harinya Arnita dan Arman menghampiri Cintya yang sedang menonton tv di ruang tengah. Mereka sepakat untuk memberitahukan Cintya tentang bulan madu mereka malam ini. "Ma_." Belum sempat Arman berbicara, suara bel pintu mengalihkan pikiran Arman. Bi Ira terlihat berjalan cepat dari dapur ke pintu utama. Tak lama munculah mbak Imel, mas Rehan, Pandu, dan Asa. Mereka menyalami tangan Cintya, Arnita, dan Arman satu persatu. "Sini cucu oma." Cintya melebarkan lengannya bersiap memeluk kedua cucunya."Dewa sama Mawar kemana kok nggak kelihatan?" tanya Imel."Dewa masih di kantor, Mawar juga masih kerja, Kenzo lagi tidur di kamar." balas Cintya. Imel mengangguk-anggukkan kepalanya sambil ber-o. Wajah Imel berubah antusias saat melihat ke arah Arnita dan Arman. Tujuannya kesini karena ingin tahu apakah Arnita dan Arman akan jadi pergi honeymoon atau tidak."Oh iya, gimana? Kalian jadi berangkatkan besok?" tanya Imel dengan senyum antusias.Arman dan Arnita saling melirik satu sama lain. Sedangkan Cintya terlihat mengerutkan keningnya bingung apa yang sedang Imel katakan. "Berangkat? Berangkat kemana?" tanya Cintya dengan alis menukik ke bawah.Imel menatap Arman dan Arnita bergantian. Arman maupun Arnita terlihat kebingungan. Imel meringis, ia tidak tahu jika adik nya belum memberitahukan kepada mamanya tentang tiket honeymoon itu."Emm itu ma, mungkin biar Arman sendiri saja yang menjelaskan." Imel melirik ke arah Arman.Arman membenarkan posisinya menghadap Cintya."Begini ma, rencananya besok aku dan Arnita akan pergi ke Bali untuk beberapa hari. Mas Rehan dan mbak Imel memberikan kami tiket honeymoon ke Bali sebagai hadiah pernikahan." "Kenapa baru sekarang memberitahukan mama?" tanya Cintya dengan nada tidak suka."Itu karena mas Rehan memang sengaja memesankan tiket honeymoon untuk Arman dan Arnita mendadak." ujar Imel menimpali.Wajah Cintya terlihat datar tanpa ekspresi. "Terserah kalian saja." Cintya menurunkan Asa dari pangkuannya dan beranjak pergi meninggalkan mereka.Arnita menatap Arman dengan wajah cemasnya."Bagaimana mas? Apa kita batalkan saja bulan madunya?" Arnita sudah tidak memikirkan tentang ke Bali setelah melihat reaksi ibu mertuanya yang terlihat tidak suka.Arman juga bingung. Apa ia harus membatalkan rencana honeymoon mereka karena mamanya sepertinya tidak setuju. Tapi ia juga merasa tidak enak dengan mas Rehan dan mbak Imel yang sudah memberikan mereka hadiah pernikahan yang tidak murah."Kamu pikirkan saja dulu Ar, jika memang kalian tidak jadi pergi tidak apa-apa, mas nggak akan tersinggung." ujar Rehan.***Semalam sebelum tidur Arnita menyempatkan diri mengemasi pakaian-pakaian yang akan mereka bawa selama berada di Bali nantinya. Semalam juga Arnita dan Arman sudah mengambil keputusan jika mereka akan tetap pergi ke Bali. Lagian Arman juga sudah terlanjur mengambil cuti dari kantor dan juga merasa tidak enak jika tidak memakai pemberian mas Rehan dan mbak Imel. "Udah semuanya? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Arman memastikan."Udah semua mas." balas Arnita yakin. Tentu saja ia yakin karena ia sudah mengecek semua barang bawaan beberapa kali karena takut ada yang ketinggalan. Jadwal pesawat mereka pukul delapan pagi jadi mereka akan berangkat dari rumah satu jam sebelum take off. Jarak bandara dari rumah tidak terlalu jauh, mungkin butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai. Dan untungnya ini hari minggu jalanan pagi ini tidak terlalu macet seperti hari biasa. Tok….tok "Den Arman!" Suara panggilan bi Ira membuat perhatian Arnita dan Arman yang sedang menyiapkan koper teralihk
Arnita yang sedang memejamkan matanya terkejut mendengar suara dobrakan pintu yang dipaksa dibuka dari luar. Terlihat Mawar berjalan cepat menghampiri brankar Cintya dengan wajah panik yang sedikit berlebihan."Mama kenapa kok bisa masuk rumah sakit?" tanya Mawar dengan suara yang mendayu-dayu."Overdosis obat tidur." balas Cintya."Aku bawakan mama lasagna kesukaan mama." Mawar menunjukkan paper bag di tangannya."Mama tadi sudah makan masakan rumah sakit mbak, lasagnanya mungkin bisa dimakan mama nanti karena takutnya mama kekenyangan." ujar Arnita sambil tersenyum tipis.Mawar memutar bola matanya malas mendengar ceramah Arnita yang membuat telinganya pengang. "Mama masih lapar, biar lasagnanya mama makan." Cintya meraih paper bag ditangan Mawar dan mulai memakan lasagna yang Mawar bawakan. Mawar menatap Arnita dengan tersenyum puas karena ibu mertuanya memihaknya daripada Arnita. Sedangkan Arnita tetap menunjukkan senyum tipisnya meski pendapatnya tidak didengar oleh ibu mertuan
Baru saja Arman menginjakkan kakinya di kantor, Arman langsung mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah dari karyawan-karyawan di kantor. Arman mengernyitkan keningnya merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami sekarang. "Ada apa ini?" tanya Arman kepada semua karyawan yang terlihat sangat gembira."Selamat ya pak untuk kemenangan tender kemarin." ujar salah satu karyawan laki-laki.Ah Arman ingat sekarang. Jadi karyawannya sudah pada mengetahui tentang tender yang dimenangkan perusahaan."Saya juga mengucapkan selamat untuk kalian, perusahaan kita bisa memenangkan tender juga karena usaha dan kerja keras kalian semua." ujar Arman dengan merendah. "Sama-sama pak, tapi pak Arman yang paling kerja keras untuk tender perusahaan." puji salah satu karyawan perempuan.Memang benar Arman bekerja lebih keras untuk memenangkan tender ini. Ia bahkan harus beberapa hari lembur di kantor untuk mengecek seluruh persiapan untuk tender perusahaan. Tapi Arman bersyukur usahanya t
Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah. Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Se
"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau
Mobil Arman terparkir di depan rumah sederhana satu lantai. Rumah orang tua Arnita memang sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur. Kehidupan Arnita sangat berbeda jauh dengan kehidupan Arman. Rumah besar dan memiliki dua lantai dan juga halaman yang luas yang bisa untuk parkir sekitar sepuluh mobil. Mungkin rumah Arman bisa sepuluh kali lipat dari rumah Arnita, atau mungkin bisa lebih dari itu."Biar saya yang bawa." Arman mengambil alih kantong plastik berisi buah-buahan dan sembako. Ibu nya Arnita selalu menolak jika Arman memberinya uang, jadi Arman menggantikannya dengan membelikan kebutuhan dapur. Setiap bulan Arman juga selalu rutin membelikan satu sak beras, meskipun beras sebanyak itu akan habis untuk dua sampai tiga bulan. Arman dan Arnita berjalan bersisian. Arnita mengetuk pintu rumah orang tuanya. Halaman rumahnya terlihat sepi, ia tidak melihat motor ayahnya yang biasanya terparkir dide