Share

Siapakah Pencurinya?

Aku segera membukanya lebar dan melihat dompetku kosong. Padahal sebelum aku tidur, masih ada tersisa uang sebesar empat ratus ribu rupiah lebih didalam dompetku.

"Mas, uangku hilang!" Seruku.

Mas Zidan yang saat itu sudah berada di ambang pintu dan hampir keluar dari kamar, langsung menghampiriku.

"Bagaimana bisa sayang?" Tanya Mas Zidan yang juga sama terkejutnya denganku.

"Tidak tau Mas, aku sangat ingat tadi melihat isi dompetku masih ada uang sebesar empat ratus ribu rupih lebih mas," Jawabku dengan sangat yakin.

"Loh, kok sisa empat ratus dek? Bukannya ada sekitar satu juta uangmu?" Tanya Mas Zidan kembali dengan raut wajah terheran - heran.

Aku pun menceritakan semuanya kepada Mas Zidan tentang paket Ibu yang kubayarkan siang tadi.

"Kenapa tidak bangunkan aku dek? Mas saja yang bayarkan Ibu!" Ucap Mas Zidan sambil menatap dompetku yang hanya tersisa uang dua ribu rupiah.

Aku mengaku kalau merasa tidak enak jika harus membangunkan Mas Zidan, jadi aku berinisiatif membayarkan Ibu.

"Sudahlah kalau begitu sayang, nanti Mas ganti uangmu yah!" Ujar Mas Zidan sambil merangkulku dengan hangat.

"Tt -- tapi Mas, siapa yang nekat mencuri uang di dalam dompetku?" Tanyaku kembali.

Mas Zidan menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia terdiam dan tampak berpikir. Kuyakin Mas Zidan juga pasti sama bingungnya dengan diriku, karena tidak ada orang lain di rumah ini, hanya ada Ibu, Zenith dan Kak Rony selain aku dan Mas Zidan.

"Aku tidak tau sayang," Jawab Mas Zidan sambil menggeleng - gelengkan kepalanya.

Aku mengerti perasaan Mas Zidan pasti merasa tidak enak jika menanyakan perihal uangku yang hilang kepada Ibu dan saudaranya.

"Um, biar aku saja yang tanya mereka Mas!" Ucapku.

Mas Zidan tersenyum kemudian menarikku lembut masuk ke dalam dekapannya sambil mengelus lembut rambutku.

"Biar Mas saja yang tanya mereka ya? Kamu pasti masih canggung dengan keluargaku," Tutur Mas Zidan.

Aku membalas pelukan Mas Zidan sambil tersenyum. Betapa senangnya hati ini memiliki suami yang mengerti akan perasaanku. Kemudian aku mengangguk setuju dan menunggu di dalam kamar saja selagi Mas Zidan keluar dan bertanya kepada Ibu dan saudara - saudaranya.

[KRIET]

Mas Zidan membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar.

"Maaf bu, apa ibu tadi masuk ke kamar aku?"

Dapatku dengar dengan jelas suara Mas Zidan dari dalam kamar yang bertanya kepada Ibunya di ruang tengah.

"Tidak, memangnya ada apa?" Tanya Ibu Lidia balik.

Mas Zidan kemudian menceritakan runtut kejadian yang terjadi.

"Kamu menuduh Ibu mencuri?" Tanya Ibu yang sepertinya tersinggung dengan ucapan Mas Zidan.

Sementara, aku di kamar merasa cemas dan was - was mendengar pembicaraan Mas Zidan dan Ibu.

"Tidak bu, aku hanya bertanya! Tidak ada maksud sama sekali untuk menuduh Ibu!" Jawab Mas Zidan.

Aku semakin merasa tidak enak sama Mas Zidan karena harus berdebat dengan ibunya.

Tiba - tiba Ibu Lidia mengeluarkan uang sebesar empat ratus lima puluh ribu dari kantong dasternya.

"Inikan uang yang kamu cari? Kahiyang sendiri yang memberikannya tadi kepada Ibu!"

Mendengar hal tersebut, aku langsung kaget dan langsung bangun dari dudukku.

Aku bergegas melangkahkah kaki lebar menuju ke ruang tengah, menyusul Mas Zidan.

"Nah, itu dia orangnya! Ini ambil kembali uang kamu kalau tidak ikhlas memberikannya kepada Ibu!" Ucap Ibu Lidia sambil melemparkan uang tersebut ke lantai.

Aku menggelengkan kepalaku, tidak percaya jika Ibu mertuaku bisa memfitnahku seperti ini

"Astaghfirullah bu? Kapan aku memberikannya ke ibu?" Tanyaku dengan pelan.

"Tadi kamu sendiri kan yang kasih ke ibu untuk bayar paket?" Jawab Ibu dengan ketus sambil melipat kedua tangannya di dada.

Sementara Mas Zidan hanya terdiam lalu memunguti uang yang berserakan dilantai rumah.

"Sudah ya bu, maafkan Kahiyang. Mungkin dia lupa," Tutur Mas Zidan sembari memberikan kembali uang sebesar empat ratus ribu itu kepada ibu .

"Zidan, kamu harus mendidik istrimu untuk bersikap sopan santun kepada mertuanya!" Sindir Ibu mertuaku lalu pergi berlalu meninggalkanku dengan Mas Zidan yang masih berdiri mematung di ruang tengah.

Aku menunduk dan berharap jika semua ini hanya mimpi saja.

"Apa benar kamu yang sudah memberikannya ke Ibu tapi kamu lupa?" Tanya Mas Zidan yang sudah berdiri didepanku.

"Demi Allah Mas! Aku tidak pernah memberikan uangku kepada Ibu. Aku memang membayarkan paket Ibu, tapi aku langsung membayarnya ke kurir!" Jawabku dengan suara yang bergetar.

Mas Zidan kembali menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Sepertinya Mas Zidan sangat bingung mau percaya kepada ucapan Ibu atau istrinya.

"Mas tidak tau siapa diantara kalian yang berbohong dan siapa yang jujur. Tapi Mas minta kepada kamu untuk bersikap sopan kepada Ibu ku," Tutur Mas Zidan dengan tegas.

Aku menatap kedua mata Mas Zidan dalam - dalam. Kemudian menangis terisak, aku paham Mas Zidan pasti menganggapku berbohong dan merasa kecewa kepadaku.

"Aku menghormati mu juga Ibumu Mas. Aku sama sekali tidak pernah berbohong kepadamu. Aku berusaha menjadi istri yang baik tetapi mungkin aku gagal dan perlu belajar lebih banyak lagi," Ucapku sambil menyeka air mata.

Sementara itu, diam - diam Ibu Lidian dan Zenith melihatku dan Mas Zidan bertengkar dibawah.

"Wih, akting ibu sangat bagus! Hahaha!" Ucap Zenith dengan pelan.

"Iya dong, Ibu gitu loh! Sebentar malam ayo kita pergi ke Mall!"

Ibu Lidia dan Zenith tertawa renyah dan sangat bergembira melihatku bertengkar dengan Mas Zidan, seperti itulah misi mereka. Membuatku merasa tidak nyaman di rumah ini agar aku segera mengangkat kaki dari rumahnya.

Setelah berdebat dengan Mas Zidan, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu lalu mengeluarkan semua tangisku yang tadi sempat tertahan.

Sementara Mas Zidan, masih duduk berdiam diri di ruang tengah memikirkan masalah ini.

"Ya Allah, hamba merasa terzalimi di dalam rumah ini, kuatkan hamba Ya Rabb,"

Untuk menenangkan hatiku, aku melakukan sholat dua rakaat, sekaligus mengadu kepada sang pencipta mengenai ketidakadilan yang kurasakan.

Selepas shalat, aku langsung menelfon mama karena merasa sangat rindu kepadanya.

"Assalamu'alaikum ma," Ucapku sembari menyeka air mataku.

"Wa'alaikumsalam nak, bagaimana kabarmu disana Kahiyang?" Tanya mama.

Aku menjawab ibu dengan berbohong dan mengakui kalau aku baik - baik saja di rumah ini.

"Syukurlah kalau begitu nak," Ucap mama yang merasa lega mengetahui anaknya betah tinggal di rumah mertua.

Tanpa basa - basi, aku segera menyampaikan ke mama jika aku ingin pulang ke rumah karena merasa rindu.

"Kenapa kamu ingin pulang? Bukannya kamu betah disana? Apa sebenarnya ada masalah yang kamu alami nak?" Tebak Ibuku.

Air mataku langsung jatuh membasahi pipi, firasat seorang ibu memang sangat kuat. Meskipun aku berbohong dan mengaku jika aku baik - baik saja disini, Mama tetap yakin jika ada masalah yang sedang kuhadapi sekarang.

"Tidak ma, aku disini baik - baik saja. Aku hanya merasa rindu kepada mama," Jawabku berbohong.

Sementara aku menelfon dengan mama, dapat kudengar dari luar suara deru mobil Mas Zidan yang keluar dari garasi.

"Mas Zidan mau kemana ya?" Gumamku dalam hati.

Setelah menyampaikan perihal niatku untuk kembali pulang ke rumah, aku memutuskan panggilan telfonku dengan mama.

Aku butuh ketenangan agar terhindar dari segala amarah dan caci maki di rumah ini, jika terus - terusan begini aku bisa stress.

"Aku akan memberitahu Mas Zidan sebentar," Gumamku dalam hati.

Baru saja aku ingin melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi, tiba - tiba terdengar suara Ibu mertuaku yang berteriak dari luar kamar sambil menggedor - gedor pintu dengan keras.

"KAHIYANG, BUKA PINTUNYA!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status