Share

Pencuri Dalam Rumah

Aku menggeleng - gelengkan kepala melihat tingkah suamiku lalu berjalan keluar kamar menuju ke dapur untuk mengatur barang belanjaan sekaligus mengambil coklat dan beberapa snack milikku.

Saat aku tiba di dapur, aku melihat plastik belanjaan yang sudah acak - acakan dan tidak menemukan coklat dan snack milikku.

"Siapa yang sudah mengambil coklat milikku?!" Teriakku dari arah dapur.

"Ada apa sih teriak - teriak?" Tiba - tiba Ibu langsung keluar dari kamarnya dan menghampiriku.

Aku langsung menunjukkan plastik belanjaanku yang sudah terlihat berantakan dan mengatakam kalau cemilanku tidak ada.

"Mungkin kamu salah simpan!" Ucal Ibu dengan sangat yakin.

"Bu, aku langsung menyimpan barang belanjaan disini sebelum masuk ke kamar mengganti baju! Bagaimana bisa aku salah simpan?" Jawabku dengan mantap.

"Sudah, ikhlaskan saja! Itu kan cuma makanan biasa," Tutur Ibu mertuaku sambil berlalu meninggalkanku sendirian yang masih berdiri mematung.

Menyebalkan sekali! Kini cemilanku pun raib dicuri.

"Apa ada pencuri di rumah ini bu?" Tanyaku.

Ibu yang sedang berjalan ingin masuk ke kamarnya lagi tiba - tiba menghentikan langkahnya.

"Kami bilang apa barusan hah?" Tanya Ibu dengan ketus sambil melotot kepadaku.

"Aku cuma tanya bu, apakah ada pencuri di rumah ini? Soalnya cemilanku hilang tiba - tiba saja padahal aku belum menyentuhnya sama sekali," Jawabku.

"Kamu jangan bicara sembarangan ya! Tidak ada pencuri di rumah ini! Adanya cuma kamu yang pelit!" Hardik Ibu Mertuaku lalu masuk dalam kamarnya dengan membanting pintu hingga membuatku tersentak kaget.

"Astaghfirullah," Ucapku sambil mengelus - elus dada.

Ajaib sekali memang keluarga suamiku ini. Perasaan sikap mereka dulu sangat manis kepadaku ketika awal - awal bertemu. Saat Mas Zidan pertama kali membawaku ke rumahnya yang megah ini dan memperkenalkanku dengan Ibu dan saudara - saudaranya. Ayah Mas Zidan sudah lama meninggal sejak ia masih kecil.

Ibunya berperan sebagai orangtua tunggal sejak sepeninggal suaminya. Ia mengurus Mas Zidan dan anak - anaknya yang lain seorang diri. Itulah alasan Mas Zidan sangat menghormati dan menyayangi ibunya meski ibunya bersikap tidak adil dan menyebalkan kepadaku. Aku juga tidak bisa serta merta melarang Mas Zidan untuk menuruti permintaan ibunya karena kewajiban seorang anak lelaki sehabis menikah, masih wajib untuk mengurus Ibunya. Seandainya saja Ibu Mertuaku itu tidak bersikap kasar kepadaku, tentulah aku juga menghormatinya sama seperti Mas Zidan lakukan.

Sianh itu aku sibuk dengan pikiranku, menebak - nebak siapa yang telah mencuri cemilanku. Perkataan Ibu memang benar, kalau itu hanya makanan biasa. Tetapi aku sangat tidak suka jika ada yang mengambil barangku tanpa izin.

[TOK]

[TOK]

[TOK]

Aku mengetuk pintu kamar Zenith yang berada di lanta dua.

"Ada apa kesini?" Tanya Zenith dengan tatapan sinisnya kepadaku.

"Aku cuma mau tanya, apa kamu melihat coklat dan beberapa cemilan didalam plastik belanjaan di dapur?" Tanyaku dengan pelan.

"Tidak, aku tidak tau! Sudah - sudah sana, pergi!" Usir Zenith sambil menutupkanku pintu.

"Astaga, begini ternyata rasanya punya ipar yang menyebalkan!" Gumamku dalam hati.

Aku lalu berjalan menuju ke teras rumah dan ingin menemui Mas Rony.

"Mas, lihat cemilanku yang ada di dalam plastik belanjaan tidak? " Tanyaku dengan sopan.

"Eh? Plastik apaan?" Tanya Mas Rony balik.

"Plastik belanjaan yang terletak di dapur mas!" Tanyaku.

"Tidak - tidak, aku tidak tau apa - apa!" Jawab Mas Rony dengan ketus.

Aku melihat ada plastik coklat yang berada di atas meja disamping Mas Rony.

"Terus, itu bungkus apaan di meja Mas?" Tanyaku sambil menunjuki bungkus coklat yang sama persis dengan coklat punyaku.

"Ini punyaku! Kamu jangan asal tuduh sembarangan!" Bentak Mas Rony kemudian bangkit dan masuk ke dalam rumah.

Aku kembali menampilkan ekspresi wajah cemberut. Luar biasa sekali, dia sudah tertangkap basah mencuri tetapi tidak mau mengakuinya! Sungguh ajaib.

Dengan perasaan kesal, aku kembali ke dapur dan menyusun barang belanjaan ke dalam kulkas. Aku sudah pasrah cemilanku diambil. Tidak ada juga gunanya bertanya karena mereka pasti tidak mau menjawabnya atau tidak ma mengakui jika mereka telah mengambil cemilan milikku.

"Sudahlah, biarkan saja," Gumamku dalam hati berusaha ikhlas.

Sebenarnya, jika mereka meminta secara baik - baik kepadaku, aku dengan senang hati akan memberikannya kepada mereka asal jangan mencuri. Aku dididik kedua orangtuaku dengan sangat tegas, haram hukumnya anak - anak mereka untuk mencuri. Bahkan adik - adikku yang masih sekolah saja sudah tau sopan santun dan akan permisi jika ingin memakai atau meminta barang orang lain.

Aku kembali mengelus - elus dadaku dan menguatkan diriku untuk bersabar.

"Assalamu'alaikum, paket!" Tiba - tiba terdengar suara kurir yang berteriak didepan rumah.

"Tunggu!" Jawabku sambil berteriak kemudian berjalan dengan cepat keluar rumah.

"Apa betul ini rumah Ibu Lidia?" Tanya kurir tersebut.

"Iya betul," Jawabku

Sang kurir tersebut lalu menyerahkan sebuah paket kepadaku dan mengatakan bahwa paket itu belum dibayar.

"Sebentar ya, aku panggil orangnya dulu," Ucapku tersenyum lalu masuk ke dalam rumah.

[TOK]

[TOK]

[TOK]

Aku mengetuk dengan pelan kamar ibu.

"Apa apa?" Tidak lama Ibu membukakan pintu dan bertanya dengan nada ketus kepadaku.

Aku menyodorkan paket miliknya dan mengatakan bahwa kurir sedang menunggu pembayarannya diluar.

"Aku tidak punya uang! Kamu dulu yang bayarkan!" Jawab Ibu Mertuaku lalu menutup kembali pintu kamarnya dengan kasar.

Aku memejamkan mata dan kembali mengelus dadaku.

"Sabar Kahiyang, sabar," Gumamku.

Denga terpaksa dan tidak banyak protes, aku kembali masuk ke dalam kamar dan mengambil beberapa lembar uang merah. Kulihat tadi dengan sekilas jumlah tagihan Ibu sebesar lima ratus sembilan puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah.

Dengan berat hati, aku menyerahkan uang tersebut kepada si kurir.

"Terima kasih neng," Jawab kurir tersebut lalu pergi berlalu.

Hatiku merasa tidak ikhlas, uang pribadi milikku sebesar lima ratus ribu tiba - tiba lenyap begitu saja tanpa bekas. Entah barang apa yang dibeli oleh Ibu Mertuaku itu sampai - sampai tagihannya sebesar lima ratus ribu lebih.

"Huh, hidupku penuh cobaan tinggal di rumah ini!" Keluhku dalam hati.

Dengan langkah malas, aku kembali ke kamar dan membaringkan tubuhku yang sangat kelelahan ini.

Hatiku masih memikirkan uangku lima ratus ribu yang melayang begitu saja, sampai - sampai terbawa ke mimpiku.

Aku tertidur dengan nyenyak, dan tiba - tiba mendengar suara pintu kamarku dibuka.

Aku yang saat itu tengah dalam kondisi mengantuk parah, tidak bisa bangkit untuk melihat orang tersebut. Tubuhku sudah terlanjur lelah dan sangat capek.

"Sayang, sayang, bangun!" Sentuhan lembut Mas Zidan di kedua pipiku membuaku terbangun dari tidur nyenyakku.

"Hoam," Aku menguap lebar dan membuat suamiku tersenyum melihatku.

"Bangun sayang, ayo kita shalat Ashar!" Ajak Suamiku sambil menarik lenganku.

Rupanya sudah pukul empat sore, akhirnya aku bangun dan melaksanakan shalat empat rakaat bersama suamiku.

Setelah shalat, aku iseng - iseng mengecek isi dompetku dan mengadu kepada Mas Zidan soal paket Ibu. Tetapi, baru saja aku memegang dompetku, tampak dompetku sudah terbuka lebar dan tidak tertutup.

Aku segera membukanya lebar dan melihat dompetku kosong. Padahal sebelum aku tidur, masih ada tersisa uang sebesar empat ratus ribu rupiah lebih didalam dompetku.

"Mas, uangku hilang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status