Share

Bab 2

Wajah Wati terlihat memerah, sepertinya ia marah dan tidak suka dengan apa yang diucapkan oleh Reno adik iparnya tersebut.

"Maaf ya, Mbak Wati, aku menyarankan kalian pindah dari rumah Ibu ini, bukan karena aku ingin menguasai rumah ini seorang diri. Tapi karena aku merasa kasihan kepada Ibuku, yang selalu diperlakukan seperti babu oleh Mbak dan juga Mas Roni. Aku tidak terima, jika Ibuku yang sudah tua ini selalu kecapean karena harus mencuci dan memasak untuk kalian. Sedangkan Mbak yang menjadi menatu di rumah ini malah enak-enakan, serta selalu berdiam diri di kamar. Mbak tidak pernah mau membantu pekerjaan Ibu, taunya hanya makan dan menyimpan cucian kotor. Rasanya sudah cukup ya, Mbak, Ibuku melayani kalian. Jika memang Mbak tidak mau berubah, maka lebih baik tinggalkan rumah ini. Apalagi sekarang kalian sudah berumah tangga, sudah seharusnya kalian berdua belajar mandiri. Aku saja yang belum punya istri mau meladeni keperluanku sendiri, aku tidak pernah ya, membiarkan pakaian atau piring kotor bekas aku pake dicucikan oleh Ibu. Karena aku kasihan sama Ibu, aku takut Ibu sakit karena kecapean. Tapi kalian berdua malah menambah beban saja untuk Ibuku," tutur Reno panjang lebar, ia benar-benar mengungkapkan apa yang ingin ia katakan.

Mendengar penuturan Reno, wajah Wati bertambah merah padam. Suasana di dapur pun semakin panas, seperti akan ada ledakan dahsyat di sana.

"Kurang ajar kamu, Reno. Berani ya kamu menghakimi aku, dasar kalian keluarga miskin. Asal kalian berdua tau ya, aku di rumah orang tuaku itu tidak pernah melakukan pekerjaan apa pun karena semuanya dikerjakan oleh pembantu. Kalau di sini aku harus melakukan seperti apa yang dilakukan pembantu, bisa-bisa tanganku rusak. Percuma dong aku perawatan mahal-mahal, kalau hasilnya malah rusak karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku dan pastinya keluargaku akan memutuskan pernikahanku dengan Roni. Jika semua itu terjadi, kalian jangan pernah menyalahkan aku. Karena kalian berdualah yang bersalah," sahut Wati, yang seolah menantang, sekaligus mengancam aku dan Reno.

"Dek, apa-apaan sih kamu, kok kamu bilang seperti itu sih? Lagian ya, mana pernah Mas memintamu mengerjakan pekerjaan pembantu. Kamu hanya cukup meladeni Mas aja, selain itu terserah Ibu saja karena dia yang memiliki rumah ini," ujar Roni membela dan membujuk istrinya.

"Mas, jadi kamu menganggap, kalau Ibu kita itu sebagai pembantu gratisan di rumahnya sendiri? Tega ya kamu bicara seperti itu kepada wanita, yang telah mengandung dan melahirkan kita. Bahkan ia telah membesarkan kita berdua tanpa ada sosok Bapak. Kamu telah dibutakan oleh perempuan yang tidak punya adab ini, Mas. Segera sadar, Mas, sebelum Allah murka kepadamu karena kamu telah berdosa terhadap Ibu." Reno menasehati Kakaknya, yang memang telah dibutakan mata hatinya oleh cinta.

Reno membelaku, ia tidak terima kalau aku dijadikan pembantu gratisan oleh anak dan menantuku. Roni dan Wati memang sudah keterlaluan. Selama ini aku selalu diam, bukan karena aku takut atau menerima diperlakukan seperti itu. Tetapi aku masih menghargai Wati dan menjaga perasaannya, makanya aku mengajak Roni untuk berbicara perihal sikap istrinya.

Tapi ternyata Roni malah membela sikap istrinya yang semaunya sendiri. Ia malah tidak memperdulikan perasaan aku lagi sekarang. Aku benar-benar kecewa dengan sikap Roni sekarang, tapi tidak mungkin juga aku berbuat kejam kepadanya untuk saat ini. Aku tetap sayang kepada Roni, sebab tadinya Roni juga tidak seperti itu.

"Reno, kamu itu jangan kurang ajar ya? Aku ini Kakak kamu, aku lebih tua dari kamu. Kamu harus sopan bicara sama orang yang lebih tua, dasar nggak punya adab. Lagian ya, siapa juga yang bilang kalau Ibu itu pembantu gratisan? Bukankah kamu sendiri yang bilang seperti itu," tanya Roni, sambil menunjuk wajah Reno.

"Mas, sepertinya Ibu sama adik kamu itu memang tidak suka dengan keberadaanku di rumah ini, makanya ia selalu mengungkit tentang kebiasaanku. Jadi lebih baik kita pergi saja dari sini karena aku nggak mau ya, kalau selalu dijadikan bahan ocehan. Lebih baik aku kembali tinggal di rumah orang tuaku, daripada tinggal di sini, tetapi selalu dipermasalahkan." Wati merajuk kepada suaminya, ia terlihat seperti orang yang teraniaya saat ini.

"Tidak seperti itu juga, Sayang. Bagaimana kata orang tuamu nanti, kalau sampai kita tinggal di rumahnya. Lagian ya, kalau kita pergi dari sini, sama saja kita mengakui kalau kita yang salah. Sudah biarlah mereka seperti itu, jangan kamu masukan ke dalam hati. Jangan pedulikan apa kata mereka, anggap saja hanya kita berdua yang ada di rumah ini. Karena memang ada hak Mas juga di rumah ini," bujuk Roni.

Ia mengajak istrinya untuk pergi dari dapur, sepertinya mereka berdua kembali masuk ke kamar mereka. Sebelum pergi, Wati melirik ke arahku sambil tersenyum miring seakan meledekku. Aku hanya bisa mengusap dada, serta tidak ada kesempatan mengungkapkan kata, pada saat mendengar dan melihat perlakuan anak dan menantuku tersebut.

"Tuh, Bu, Ibu sudah melihatnya sendiri kan, bagaimana Ibu itu tidak dihargai oleh Mas Roni dan juga Mbak Wati. Bahkan Mas Roni tega meminta Mbak Wati, supaya tidak menganggap keberadaan kita di rumah ini. Mas Roni itu sudah keterlaluan banget, Bu. Ia bukannya mendidik istrinya supaya merubah sikapnya, tetapi malah menyuruh istrinya, supaya tidak menganggap kita. Dasar suami gen-deng," sungut Reno.

"Iya, Reno, terus Ibu harus bagaimana lagi sekarang? Karena sepertinya Kakakmu itu memang sudah terpengaruh banget oleh istrinya. Bahkan nasehat Ibu pun tidak dihiraukan olehnya," tanyaku meminta saran anakku.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status