Share

Siomay

Sebelum makan aku dan Nina sempat bertatap-tatapan, kedatangan Wahyu yang tiba-tiba jelas membuat orang rumah kaget.

“Sakit apa, Yu? Kok gak ngabarin dulu kalau mau pulang?” tanyaku sambil meletakkan piring berisi ikan bawal kecap kesukaan anak sulungku itu. Walau sedang sakit, Wahyu masih sempat-sempatnya belanja kebutuhan masak dan makanan lain.

“Belum periksa, Bu. Ini masih keleyengan, badan juga berat banget. Mau berobat di sini saja, sekalian pengen ketemu Adel.” Suara Wahyu terdengar parau. Namun senyumannya tetap mengembang saat menatap anak perempuannya itu.

“Kamu beneran sakit?” ucap Nina seraya meletakkan punggung tangan ke kening Wahyu.

“Dingin, lho.”

“Panas begini,” sahut Wahyu. Nina hanya menggidikkan bahu, lalu menawari Adel ingin makan dengan apa.

Sementara Farhan yang perutnya keroncongan sedari pulang sekolah kini sudah menyantap makanan. Beruntung Wahyu pulang, jadi aku bisa memasak menu lebih banyak, semoga saja sedih di hati si bungsu hilang dengan adanya hidangan ini.

“Ridho ke mana, Bu?”

“Bantuin Pak Haji Dono, Yu. Lagi ngebangun warung besar. Hitung-hitung latihan kerja.”

“Capek dong, Bu? Kebetulan, Wahyu pulang ke sini mau kasih kabar juga, kalau di tempat kerja Wahyu lagi ngebutuhin orang. Mungkin Ridho bisa masuk ke sana.”

“Yang benar, Yu?” Mendadak hatiku berbunga-bunga. Kalau benar, ini adalah kesempatan besar, supaya Ridho bisa mencari uang dan tak mengandalkan Wahyu lagi. Biar dia tak selalu makan hati karena sikap kakak iparnya sendiri.

“Iya, Bu. Tapi ya namanya pemula gajinya masih sedikit, kerjanya juga di warung makan yang ada di jalan. Enggak di kedai seperti Wahyu. Tapi kalau Ridho jujur dan tekun, insyaallah nanti bisa naik jabatannya,” jelas Wahyu.

“Nggak apa-apa, Yu. Namanya kerja gak mungkin langsung enak. Ridho pasti mau, pasti!” ucapku yakin.

“Nanti Wahyu kasih tahu kalau dia sudah pulang.” Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu menambahkan sup pada piring Wahyu. Dia harus banyak makan sehat biar bisa pulih kembali.

“Terus, kerjaan buat adikku mana, Mas?” tanya Nina tiba-tiba, mendadak suasana jadi tak enak.

“Loh … Wisnu ‘kan masih PKL, Nin. Nanti juga kalau sudah lulus pasti dapat kerjaan, apa lagi kalau tamatan SMK, lebih gampang ketimbang Ridho yang hanya lulusan SMP.”

“Nggak gitu juga, Mas. Kamu ‘kan sudah janji bakalan kasih kerjaan sama Wisnu. Masa sekarang kamu malah kasih Ridho? Bohong kamu, Mas.” Ya Allah, di depan mertua dan adik iparnya sendiri, Nina berani berbicara demikian.

“Ya nanti kalau ada lowongan lagi Mas kasih sama Wisnu, Nin. Bos Mas butuhnya sekarang-sekarang karena kekurangan satu karyawan. Kalau harus nunggu Wisnu lulus dulu ya gak bisa.”

“Ah … Mas pilih kasih.”

“Bukan gitu, Nin ….”

“Kalau nggak sakit nggak usah pulang, Mas. Jangan banyak alasan! Nanti gajimu dipotong, bagaimana? Mau makan apa aku? Lihat, itu! Rumah kita belum dipasang keramik tapi kamu sudah malas-malasan kerja!” ucap Nina dengan nada kesal, lalu bangkit dari sesi makan bersama seraya membawa Adel pergi ke kamar.

Sedangkan kami hanya bisa melongo bersamaan. Sikap Nina semakin hari semakin menjadi-jadi.

*** 

Setelah satu hari berada di rumah, Wahyu akhirnya pergi berobat bersama Ridho. Saat pulang ada beberapa motor yang mengekori mereka seraya membawa beberapa dus keramik. 

“Disimpan di sini saja, Pak. Terima kasih,” kata Wahyu seraya memberikan upah.

“Kamu ini, bukannya fokus sama kesehatan dulu malah belanja keramik, Yu.”

“Nggak apa-apa, sekalian saja, Bu. Biar gak bolak-balik.”

“Memangnya mau dipasang kapan keramiknya?” tanyaku.

“Besok saja panggil Bah Sabun sama Bah Oyim, Bu. Biar mereka lanjutin kerjanya lagi.” Aku mengangguk-angguk saja.

Benar, aku belum sempat bercerita. Kalau sebenarnya Wahyu ini sudah membangun rumah tepat di samping rumahku. 

Saking tidak kuatnya dengan sikap Nina, beberapa bulan lalu aku pernah memberi saran pada Wahyu untuk membangun atau membeli rumah, tak ap ajika kecil asal terpisah dari orang tua. Bukannya mengusir, bukannya tak sudi ditinggali anak sendiri, tapi ya itu … keburukan akan selalu hinggap jika menantu dan mertua tinggal satu atap.

Beruntung Wahyu orangnya tenang, selalu menerima masukan dengan kepala dingin. Tapi, aku sempat mengira Wahyu akan membangun rumah di kampung Nina, secara wanita itu selalu saja memuji tempat tinggalnya. 

Nyatanya? Rumah mereka berdiri lima langkah dari rumahku.

Aku pernah bertanya waktu itu, kenapa tak membangun rumah di tempat tinggal Nina, rupanya besanku tak memiliki tanah selain tanah yang ditempati rumah mereka. Padahal Nina sempat sombong, jika di sana orang tuanya memiliki lahan luas.

Akhirnya, mau tidak mau aku menyerahkan tanah di samping rumah untuk persinggahan mereka.

“Kalau begitu Wahyu izin istirahat ya, Bu.” Aku mengiyakan, lalu kembali menyapu rumah saat Wahyu sudah masuk kamar.

“Nin, tolong kirim pesan sama atasan Mas, ya? Bilangin Mas belum bisa masuk kerja, pengen diganti shift siang juga. Soalnya kalau malam Mas gak kuat, AC-nya dingin banget. Suka masuk angina terus.”

“Banyak alasan banget sih, Mas!” Aku yang tadinya tak ingin mendengar percakapan mereka terpaksa mematung dekat pintu kamar. Kenapa lagi dengan Nina, Ya Allah?

“Alasan apa sih, Nin? Apa kamu nggak lihat suami beneran sakit?”

“Panas sedikit jangan manja lah, Mas! Pakai suruh kirim pesan ke atasan. Aku nggak bisa!” ucapnya setengah berteriak.

“Nggak bisa apanya, Nin?”

“Ya nggak bisa ngomongnya. Aneh kamu nyuruh-nyuruh istri! Masih punya jari ini!”

“Gitu aja nggak bisa, Nin? Tinggal ngetik apa susahnya, sih?”

Kuucap istighfar dengan segera saat mendengar sesuatu yang jatuh di kamar tersebut. Sepertinya Nina membanting sesuatu. Ya Allah, sakit hati anak sulungku diperlakukan demikian. 

“Nin, mau ke mana?” Tiba-tiba Nina keluar membawa Adel yang setengah terlelap.

“Yu, sudah!” Aku menahan si sulung.

“Paling ke rumah Indah.” Kebiasaan, jika ada sesuatu yang membuat pusing, Nina akan pergi ke rumah Bu Esih dan curhat pada menantunya. Padahal di belakang mereka, Nina sering sekali menjelekkan Indah, padahal aku tahu dia hanya iri dengan kesuksesan wanita itu.

“Maafin Nina, Bu.”

“Ibu juga minta maaf. Sekarang kamu istirahat saja, biar nanti Nina Ibu yang jemput.” 

*** 

Karena didesak Nina, akhirnya Wahyu kembali ke Jakarta walau masih dengan keadaan sakit. Aku tak sampai hati, tapi Wahyu memaksa untuk pergi.

Seperginya anak sulungku, Nina tak lagi bersuara, dia hanya menampakkan wajah judesnya sepanjang hari. Mungkin dia kesal karena Wahyu memberikan pekerjaan pada Ridho.

Ya … Ridho sudah berangkat bersama Wahyu, walau sedih, aku harus ikhlas melepas agar nantinya Ridho bisa mandiri dan tak menyusahkan kakaknya lagi. Sekarang, hanya Farhan lah tempatku berbagi.

“Siomay, tunggu!” Suara Nina membuatku melongok dari belakang. Kebetulan, aku punya uang pemberian Wahyu, sudah lama juga tak memakan jajanan seperti itu.

Akhirnya aku ikut nimrung, antre dengan Nina yang tengah menunggu.

“Mau berapa ribu, Bu?”

“Sepuluh ribu saja,” ujarku. Lalu kembali menunggu seraya berdiri di depan tukang siomay tersebut.

“Ini. Terima kasih, Pak.” Aku pun berbalik, hendak masuk dan berbagi dengan Farhan juga.

“Bu, Bu!”

“Iya, Pak?” sahutku kembali menoleh. Perasaan uang yang kuberikan pas nominalnya, tak harus ada kembalian, lalu kenapa tukang siomay itu memanggilku?

“Maaf, yang perempuan tadi apa anak Ibu?” tanyanya, aku mengernyitkan dahi.

“Yang rambutnya ikal?” kataku balik bertanya.

“Betul, yang tadi masuk ke rumah Ibu.”

“Iya, itu menantu saya. Kenapa, Pak? Bapak kenal.”

“Hehe, maaf, Bu. Si Mbaknya belum bayar.” Astaghfirullah … Nina memang kebiasaan, tak jarang dia melakukan hal seperti ini, mengambil sesuatu tapi bayarnya sekalian dengan punyaku.

“Berapa, Pak?”

“Dua puluh ribu.” Aku menelan ludah, bisa-bisanya dia menghabiskan porsi siomay sebanyak itu seorang diri.

“Silakan masuk saja ke dalam ya, Pak. Tagih saja sama orangnya, mari, Pak!”

“Eh, nggak apa-apa, Bu.”

“Enggak apa, Pak. Dari pada nggak dibayar, mau? Saya cuma punya uang sepuluh ribu, lho.” Setelah garuk-garuk kepala karena ragu, si tukang siomay pun akhirnya menurut.

Saat masuk ke dalam, kulihat Nina sedang duduk santai di depan televisi. Tanpa Adel. Pasti lah anaknya tengah tertidur.

“Maaf, Mbak … siomaynya dibayar dulu,” ucap si pedagang saat kakinya sudah sampai di pertengahan pintu.

Wajah Nina nampak memerah, dengan ketus dia berjalan ke arah sini. 

“Nih!” ujarnya lalu membuang napas kasar.

“Maafin ya, Pak. Siomay Bapak memang enak, sampai anak saya lupa bayar. Jangan kapok jualan ke mari, ya?” ucapku.

“Nggih, Bu. Terima kasih.” Aku pun mengangguk, mengantar pedagang itu pergi melalui tatapan.

Saat hendak masuk kembali, kulihat Nina tengah memandangku dalam. Sedalam kesedihanku selama ini menjadi mertuanya.

Bersambung🧦

Kbm App sudah sampai part 4, judulnya sama kok. Follow juga saya di sana.

 Username : aazuuraa

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status