Karin dan Risti berjalan keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Bambang dan Lala. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kamar perawatan Lala yang berada di kelas VVIP membuat tamu yang datang berkunjung sedikit leluasa untuk datang dan pulang kapan pun.
“Biar gue yang nyetir sini, lu kayaknya lelah banget,” Karin mengambil alih kemudi sambil masih memperhatikan wajah Risti yang lesu.“Cerita, dong, gimana tadi?” tanya Karin antusias.“Gue disuruh nikah secepatnya” Risti to the point.“Hah? Maksud lu nikah sama Bambang?” tanya Karin kaget.“Iyalah, masa sama kuda,” ucap Risti bete.“Kok bisa?” Karin masih belum mengerti.“Kayaknya gue tadi terlalu lebay sama Bambang pas di depan bokap gue, pegang tangan dia, nempelin dia terus, huft... Jadi aja bokap gue salah paham.” Risti menaikkan sebelah alisnya sambil mulutnya dicibirkan.“Apa? Hahaha,” Karin tertawa cekikikan di dalam mobil. “Ya ampun Risti, lu udah berapa lama sih ga disentuh lelaki sampe jadi agresif gitu? Wajar bokap lu nyuruh nikah, dia liat anaknya udah ga tahan kali.”“Sialan lu malah ngeledek!” umpat Risti sambil memukul lengan Karin. “Maksud gua, kan, biar bokap gue yakin kalau kami pacaran, makanya akting gitu, eh malah disuruh nikah,” ujar Risti membuang napas kesal.“Trus, apa kata Bambang?” tanya Karin sambil memperhatikan Risti yang tengah sibuk menghapus lipstik di bibirnya dengan tisu basah.“Lu pasti ga percaya kalau si bocah tengil itu menolak gue jadi istrinya,” ucap Risti kesal“What? Masa sih?”“Katanya pernikahan bukan untuk main-main, dia masih mudalah bla... bla... menyebalkan. Kalau ga terdesak, gue juga ga mau minta bocah ingusan itu nikah, tampang pas-pasan gitu, kerjaan juga cuma tukang design. Huh, sombong sekali dia,” umpat Risti kesal.“Hei... Ibu bos, calm down, Sayang.” Karin menenangkan. “Tapi wajar sih dia menolak dan alasannya masuk akal, lu nya aja yang terlalu nekat.”“Ya, ampun Karin, gue sebenarnya udah malu banget dan keliatan konyol, masa ia Risti Susatyo ngelamar cowo, cowo biasa lagi. Ish... Harga diri gue udah turun drastis,” omel Risti kesal dengan perkataan Karin yang ada benarnya.“Aduh, gue pusing banget,” gerutu Risti sambil memijat pelan kepalanya.“Hmm... Sabar ya, nanti kita pikirkan lagi jalan keluarnya,” Karin menenangkan sahabatnya itu.Risti masih kesal dengan penolakan Bambang juga dengan keputusan ayahnya, sepanjang perjalanan pulang Risti banyak menghela napas dan menggerutu. Di lain tempat, Bambang sedang asik dengan pikirannya. Lala sudah tidur dan kata dokter besok sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah stabil. Lama Bambang memperhatikan wajah Lala dari sofa tempat Bambang merebahkan badannya. Saat ini Bambang sudah mengenakan kembali sarung dan kaus bututnya.Ia mengambil HP lalu memencet kontak W******p.Assalamualaikum, Fani, apa kabar? Tadi ke RS, ya?Bambang mengetik pesan wa untuk Fani, masih centang satu tanda HP-nya mungkin tidak aktif. Bambang menatap lemas HP-nya.Mba RistiBaang, udah tidur belum?Bambang membacapesan W******p dari Risti lalu dengan enggan membalas, diletakkannya lagi hp itu di sampingnya.“Ya ampun, pesan gua cuma dibaca doang, gak dibales,” Risti semakin sewot.“Ish... Kalau ga karena bokap gue, males banget gue berurusan dengan bocah kayak gini,” gerutu Risti masih sambil menatap HP-nya yang tak kunjung ada balasan W******p dari Bambang.Kok dibaca doang gak bales?Tanya Risti lagi, ditambahkan emot wajah merah marah. Bambang membaca pesan W******p Risti dan mencibirkan bibirnya.“Apa, sih, maunya orang-orang kaya ini, hadeh,” Bambang tetap hanya membaca pesan W******p Risti tanpa membalasnya. “Aku tak ingin memperpanjang urusan dengan Mbak Risti, hubungan Mbak Risti dan ayahnya biar menjadi urusan mereka,” gumam Bambang, lalu memejamkan matanya.Risti sangat kesal dan dengan sengaja membanting HP nya. “Sialan, lu main-main sama gua, ya, bang, liat aja nanti,” umpatnya kesal sambil masuk ke dalam selimut tebal miliknya mencoba memejamkan mata.****Udara pagi terasa begitu segar karena Subuh tadi gerimis turun, walaupun sebentar, namun mampu membuat tanah begitu harum menggoda, membuat setiap orang takkan pernah mau melewatkan aroma khas tanah dan pepohonan yang telah disapa gerimis tadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Bambang bergegas merapikan barang-barang dirinya dan Lala agar tidak ada yang tertinggal saat mereka keluar rumah sakit nanti.“Mas Bambang, Lala udah kangen rumah,” ucap Lala pagi itu saat terbangun.“Iya, La, insyaAllah hari ini kita pulang, mungkin agak siang, sabar, ya. Mau Mas bantu cuci muka?”Lala lalu turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi, kepalanya masih berasa sempoyongan, Bambang dengan sigap membopong Lala ke kamar mandi dan membantunya bersih-bersih.Beep... beep..Pesan W******p masuk.FaniIya, Bang, sorry aku baru bales, HP aku semalam di-charge.Bambang yang saat ini tengah duduk sarapan, sumringah membaca pesan masuk dari Fani. Ia sudah merindukan Fani karena dua hari tidak masuk kantor.Iya, gapapa, Fan, Alhamdulillahhari ini Lala sudah bisa keluar dari rumah sakit.sendOh, gitu syukur, deh. Nanti aku jenguknya ke rumah kamu aja, ya.Siap, aku tunggu.Sambil tak lupa memberikan tiga emot senyum manis.****Minggu pagi Risti bersepeda ke Gelora Bung Karno ditemani Edward sang bodyguardnya. Ia memakai setelan olahraga berwarna hijau pupus. Lengkap dengan helm sepeda hijau berstiker Keroppi dan sepatu sepeda berwarna kuning. Oh, ya, tak lupa kaca mata hitam dan sapuan lipstik pink di bibir mungil Risti. Gadis yang sangat mempesona, begitulah kira-kira anggapan orang saat berpapasan dengan Risti.Beep... beep...HP-nya bergetar. Risti menepikan sepedanya lalu mengambil HP dari dalam tas pinggangnya. Pesan W******p masuk.Ayahku SayangHai, baby. Ingat ya, kamu harus secepatnya menentukan tanggal.Seketika lutut Risti lemas tak mampu rasanya mengayuh sepeda, begitu membaca pesan ayahnya. Lalu ia teringat hari ini Lala akan keluar rumah sakit. “Edward kamu bisa pulang duluan, urus segela keperluan Lala dan abangnya untuk keluar rumah sakit. Jangan lupa antarkan mereka sampai ke rumahnya. Oh, ya, semalam saya membeli dua boneka beruang besar, ada di ruang depan apartemen kamu bisa membawa nya juga, berikan kepada adiknya Bambang. Bilang itu hadiah dariku dan Karin,” jelas Risti cukup panjang.Edward mengangguk tanda mengerti lalu berbalik mengayuh sepeda menuju apartemen Risti. Risti mengambil HP-nya lalu memencet menu kamera dan berfoto selfie dengan latar GBK dan sepeda bromtom miliknya. Risti mengganti profile picture-nya dengan foto selfie terbarunya.Bambang tengah duduk di sofa sambil menonton tivi. Lala sudah tak lagi diinfus dan sudah berganti baju. Mereka tinggal nunggu dipanggil untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Bambang menatap HP-nya sunyi. Tak ada pesan dari Fani. Mungkin Fani sedang berlibur bersama keluarganya,” gumam Bambang dengan sedikit kecewa. Tiba-tiba dia memencet kontak Risti yang telah berganti profile picture-nya. Bambang tersenyum kecil.“Sebenarnya, Mbak Risti sangat cantik dan mempesona, sayang aja saya tidak tertarik,” gumamnya. Lalu matanya terpaku pada tulisan status di W******p Risti.“Sekali saja berusan denganku, maka tak mudah bagimu untuk pergi,”Mata Bambang bergidik, hatinya merasa ngeri, apakah ini status untuk menyindir dirinya,” Bambang menelan salivanya membayangkan sikap Risti yang sok berkuasa.Tok! tok!Edward masuk lalu tersenyum tipis sambil menggendong dua buah boneka beruang coklat besar, yang satu berpita pink dan satunya lagi pita kuning. Lala sumringah langsung berlari mendekati Edward. “Om, apa itu buat Lala?” tanya Lala antusias.“Betul sekali, kamu suka?” Edward tersenyum tulus.Lala mengangguk cepat. Edward memberikan boneka beruang besar itu, karena ukurannya hampir sama dengan ukuran badan Lala, sehingga Lala kesulitan membawa nya, Bambang membantu Lala memegang yang satunya lagi. Lala berbalik menatap Edward. “Terima kasih, Om,” ucap Lala.“Itu boneka pemberian Teteh Risti dan Kak Karin, ucapkan terima kasih nanti kepada mereka, ya,” ucap Edward sambil melirik ke arah Bambang. Bambang menaikkan alisnya. Tak heran kalau itu pasti pemberian Risti.“Maaf, Mas Bambang sekarang sudah bisa pulang ke rumah, biaya administrasi rumah sakit sudah saya bereskan, kalau sudah rapi biar saya antar,” ucap Edward tegas.“Eh, iya, saya sudah selesai, gapapa biar saya pulang
Risti dan Karin berjalan ke luar rumah Bambang menuju gang depan yang diikuti oleh Edward.“Gila lu, nekat banget tadi,” ujar Karin tidak habis pikir dengan tindakan Risti.“Gua gak suka aja ada cewek itu di sana, urusan gua dan Bambang belum selesai,” ucap Risti ketus.“Lo gak berencana bikin ulah lagi, kan, Ris?” tanya Karin sedikit khawatir dengan Risti. Karin sangat hapal dengan perangai Risti yang suka mengatur dan memaksakan kehendak.“Liat aja nanti, pokoknya Bambang gak bisa seenaknya mundur setelah dia ketemu bokap gue,” ucap Risti sambil tersenyum sinis, sambil menyalakan mesin mobil dan melaju menuju tempat pertemuan dengan Pak Darma.“Ris, tapikan kemaren lu yang bilang sendiri cuma sekali minta tolong dia,” Karin mencoba memberi pengertian kepada Risti. “Iya, kalau cuma sehari itu selesai, sih, gua gapapa. Lha, ini bokap gua nyuruh nikah. Gua gak mau bokap gua ampe kena serangan jantung kalau tahu gua bohingin dia, bisa-bisa gua disuruh kawin besok sama Munos. Oh, tidak.
Risti melempar pakaian Bambang ke lantai dengan tatapan garang. Bambang memunguti pakaiannya dengan cepat lalu berlari menuju pintu keluar. “Maafin saya, Mbak, maafin.” Bambang menatap memelas kepada Risti, dia sendiri tidak memahami bagaimana bisa dia tidur bersama wanita itu.“Pergi!” bentak Risti lagi. Bambang memakai pakaian sembarangan sambil mencari tas kecil yang dia bawa semalam, ternyata berada di sofa. Saat mendekati pintu. Aarrggh... Bambang tidak tahu cara membuka pintu itu. Dengan wajah pucat penuh peluh, Bambang mendekati kamar Risti yang dibatasi tirai. “Mbak, maaf, mmh... saya, itu... tak bisa buka pintunya,” dengan nada polosnya.Risti dengan wajah memerah kesal bangun dari kasur menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berjalan melewati Bambang yang masih terpaku dengan bahu mulus Risti. Dia susah menelan salivanya, sambil memegang dadanya yang berdegub kencang. Belum sampai pintu, Risti berbalik badan, sadar bahwa Bambang memperhatikannya. “Kau... apa belum puas den
"Assalamualaikum, Ayah,” Risti mengucapkan salam sambil mencari keberadaan ayahnya. Bambang berjalan lemas mengekorinya di belakang dengan wajah kaku ditekuk. Ia tidak punya pilihan lain.“Waalaikumsalam, calon pengantin Ayah.” Pria dewasa itu memeluk Risti dengan hangat sambil memperhatikan Bambang yang terpaku di belakang Risti. Sadar diperhatikan, Bambang lalu dengan cepat mengajak calon mertuanya itu bersalaman sambil tersenyum. “Ayo, duduk,” Ayah mempersilakan. “Bi... buatkan minum untuk anak dan calon menantu saya,” titah Pak Hermawan kepada pembantu rumah tangganya. Lagi-lagi Bambang mengusap peluh yang bercucuran. “Bagaimana kabarnya, Nak Bambang?” “Eh, iya, Om. Alhamdulillah, sehat,” jawabnya kikuk sambil menyunggingkan senyum tipis yang dipaksakan. “Om, bagaimana kabarnya?” Bambang berbasa basi.“Wah, saya sehat sekali, apalagi dengar kabar kalian sudah menentukan tanggal,” jawab Pak Hermawan sumringah. “Ayo, diminum, Nak.”“Terima kasih, Om.”“Eh, eh, jangan panggil Om
Pagi, 5 April 2019Harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Bambang, namun yang terjadi sepanjang malam tadi, dia tak dapat memejamkan mata. Di rumahnya, Bude Yati merasa sangat senang bersama beberapa tetangga, sudah bersiap mengecek semua seserahan yang akan dibawa, tak kalah semangat, Pak RT menyewa lima angkot untuk mengangkut pengantin dan para tetangga.Lala dan Lulu tidak kalah bahagia, Mas kesayangan mereka akan segera menikah dengan wanita yang sangat cantik. Semua tampak bahagia kecuali Bambang. Dia mematut diri di depan cermin melihat tampilannya mengenakan kemeja putih dan setelan jas keren yang telah disiapkan Risti.Risti sudah bersiap di rumahnya, ditemani para om dan tante, serta para sepupunya. Ada beberapa orang tetangga juga yang hadir di sana. Ia memandang dirinya di depan cermin. “Perfect,” gumamnya memuji kecantikannya.“Karin, akhirnya kejombloan gue lulus juga,” kekeh Risti sambil tersenyum bahagia menggoda Karin yang saat itu menemaninya dalam kamar pen
Tepat pukul 18.30, pasangan pengantin baru, yaitu Bambang dan Risti masuk ke ruangan resepsi yang sudah di dekorasi sedemikian bagus dan cantik. Bunga-bunga hidup menghiasi setiap sisi ruangan ditambah lampu hias dan kue tart pernikahan yang sangat cantik. Benar-benar sempurna, seperti pesta pernikahan impian wanita itu.Para tamu mulai memadati ruangan, antre bersalaman dengan kedua mempelai. Banyak yang memuji kedua pengantin. Pengantin wanita sangat cantik dan memesona dengan pakaian pengantin warna biru laut serta kilauan mutiara menghiasi baju tersebut, sedangkan pengantin lelaki terlihat gagah dan menggoda. Ya, Bambang terlihat berbeda saat acara resepsi, tuxedo biru dongker dan sepatu yang pas ia kenakan serta senyumannya selalu terurai saat bersalaman dengan para tamu, sesekali Risti memandangi wajah suaminya kini. “Handsome,” bisiknya memuji.“Wah, selamat ya. Mas,” ucap lelaki tampan; tamu undangan itu bersalaman dan mengucapkan selamat kepada Bambang sambil tersenyum. “I
TringSendok di tangan Bambang terlepas kaget. Peluhnya bercucuran. Risti menutup mulut menahan tawa. Ayah menoleh, “Maaf, Yah, sendoknya licin,” kata Bambang sekenanya. Ayah Risti ikut tertawa karena menyadari kegugupan menantu barunya itu.***Mereka sudah tiba di ruang tunggu bandara, Edward sudah mengurus semuanya. “Ah, akhirnya liburan juga,” gumam Risti gembira tapi tidak dengan Bambang, dia tidak bersemangat. Seandainya ini honeymoon dia dengan Fani, tentu dia sangat bersemangat.“Hei... ngelamun apaan sih, Bang?” tanya Risti yang sedari tadi memperhatikan Bambang tanpa komentar. “Eh... mmm... gapapa kok, cuma kepikiran kembar,” jawab Bambang berbohong.“Tapi kalau dilihat dari wajah kamu sepertinya sedang memikirkan Fani,” balas Risti sambil menatap lekat wajah Bambang. Seketika itu juga, Bambang menunduk karena malu ketahuan telah berbohong. “Kamu sangat mencintainya, ya?” tanya Risti kembali dengan wajah sendu. Bambang mengangguk.“Huf... kejam banget suami ngaku cinta
Keduanya menikmati makan malam bersama, suasana sudah sedikit cair, sesekali mereka tertawa kecil, apalagi Risti memang hobi banget menggoda Bambang yang dinilainya terlalu polos. Risti memberikan teka-teki kepada suaminya dan tak ada satupun yang bisa dijawab dengan tepat oleh Bambang."Bang, kenapa pohon kelapa di depan rumah harus di tebang?" tanya Risti sambil tersenyum iseng."Kenapa ya?gak tau deh," jawab Bambang polos sambil menggelengkan kepalanya."Karena kalau diangkat berat. Ha ha ha ...." Risti tertawa renyah dan Bambang terlihat menyungginggkan senyum."Ada lagi nih," lanjut Risti kepada Bambang"Tau ga persamaan AC sama kamu?""Ga tau," jawab Bambang lagi, malas berpikir."Sama-sama bikin aku sejuk. Eeaa ...." Risti tertawa keras, hingga pengunjung yang lain memperhatikan mereka.Bambang mengusap peluhnya yang mulai bercucuran karena sedikit grogi."Ah, ga seru nih! Masa kamu ga bisa jawab satupun teka teki aku." Bibir Risti maju dua senti."Iya, sorry aku ga banyak tahu