Share

7. Didesak

last update Last Updated: 2023-02-13 20:32:34

Karin dan Risti berjalan keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Bambang dan Lala. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kamar perawatan Lala yang berada di kelas VVIP membuat tamu yang datang berkunjung sedikit leluasa untuk datang dan pulang kapan pun.

“Biar gue yang nyetir sini, lu kayaknya lelah banget,” Karin mengambil alih kemudi sambil masih memperhatikan wajah Risti yang lesu.

“Cerita, dong, gimana tadi?” tanya Karin antusias.

“Gue disuruh nikah secepatnya” Risti to the point.

“Hah? Maksud lu nikah sama Bambang?” tanya Karin kaget.

“Iyalah, masa sama kuda,” ucap Risti bete.

“Kok bisa?” Karin masih belum mengerti.

“Kayaknya gue tadi terlalu lebay sama Bambang pas di depan bokap gue, pegang tangan dia, nempelin dia terus, huft... Jadi aja bokap gue salah paham.” Risti menaikkan sebelah alisnya sambil mulutnya dicibirkan.

“Apa? Hahaha,” Karin tertawa cekikikan di dalam mobil. “Ya ampun Risti, lu udah berapa lama sih ga disentuh lelaki sampe jadi agresif gitu?

Wajar bokap lu nyuruh nikah, dia liat anaknya udah ga tahan kali.”

“Sialan lu malah ngeledek!” umpat Risti sambil memukul lengan Karin. “Maksud gua, kan, biar bokap gue yakin kalau kami pacaran, makanya akting gitu, eh malah disuruh nikah,” ujar Risti membuang napas kesal.

“Trus, apa kata Bambang?” tanya Karin sambil memperhatikan Risti yang tengah sibuk menghapus lipstik di bibirnya dengan tisu basah.

“Lu pasti ga percaya kalau si bocah tengil itu menolak gue jadi istrinya,” ucap Risti kesal

“What? Masa sih?”

“Katanya pernikahan bukan untuk main-main, dia masih mudalah bla... bla... menyebalkan. Kalau ga terdesak, gue juga ga mau minta bocah ingusan itu nikah, tampang pas-pasan gitu, kerjaan juga cuma tukang design. Huh, sombong sekali dia,” umpat Risti kesal.

“Hei... Ibu bos, calm down, Sayang.” Karin menenangkan. “Tapi wajar sih dia menolak dan alasannya masuk akal, lu nya aja yang terlalu nekat.”

“Ya, ampun Karin, gue sebenarnya udah malu banget dan keliatan konyol, masa ia Risti Susatyo ngelamar cowo, cowo biasa lagi. Ish... Harga diri gue udah turun drastis,” omel Risti kesal dengan perkataan Karin yang ada benarnya.

“Aduh, gue pusing banget,” gerutu Risti sambil memijat pelan kepalanya.

“Hmm... Sabar ya, nanti kita pikirkan lagi jalan keluarnya,” Karin menenangkan sahabatnya itu.

Risti masih kesal dengan penolakan Bambang juga dengan keputusan ayahnya, sepanjang perjalanan pulang Risti banyak menghela napas dan menggerutu. Di lain tempat, Bambang sedang asik dengan pikirannya. Lala sudah tidur dan kata dokter besok sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah stabil. Lama Bambang memperhatikan wajah Lala dari sofa tempat Bambang merebahkan badannya. Saat ini Bambang sudah mengenakan kembali sarung dan kaus bututnya.

Ia mengambil HP lalu memencet kontak W******p.

Assalamualaikum, Fani, apa kabar? Tadi ke RS, ya?

Bambang mengetik pesan wa untuk Fani, masih centang satu tanda HP-nya mungkin tidak aktif. Bambang menatap lemas HP-nya.

Mba Risti

Baang, udah tidur belum?

Bambang membacapesan W******p dari Risti lalu dengan enggan membalas, diletakkannya lagi hp itu di sampingnya.

“Ya ampun, pesan gua cuma dibaca doang, gak dibales,” Risti semakin sewot.

“Ish... Kalau ga karena bokap gue, males banget gue berurusan dengan bocah kayak gini,” gerutu Risti masih sambil menatap HP-nya yang tak kunjung ada balasan W******p dari Bambang.

Kok dibaca doang gak bales?

Tanya Risti lagi, ditambahkan emot wajah merah marah. Bambang membaca pesan W******p Risti dan mencibirkan bibirnya.

“Apa, sih, maunya orang-orang kaya ini, hadeh,” Bambang tetap hanya membaca pesan W******p Risti tanpa membalasnya. “Aku tak ingin memperpanjang urusan dengan Mbak Risti, hubungan Mbak Risti dan ayahnya biar menjadi urusan mereka,” gumam Bambang, lalu memejamkan matanya.

Risti sangat kesal dan dengan sengaja membanting HP nya. “Sialan, lu main-main sama gua, ya, bang, liat aja nanti,” umpatnya kesal sambil masuk ke dalam selimut tebal miliknya mencoba memejamkan mata.

****

Udara pagi terasa begitu segar karena Subuh tadi gerimis turun, walaupun sebentar, namun mampu membuat tanah begitu harum menggoda, membuat setiap orang takkan pernah mau melewatkan aroma khas tanah dan pepohonan yang telah disapa gerimis tadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Bambang bergegas merapikan barang-barang dirinya dan Lala agar tidak ada yang tertinggal saat mereka keluar rumah sakit nanti.

“Mas Bambang, Lala udah kangen rumah,” ucap Lala pagi itu saat terbangun.

“Iya, La, insyaAllah hari ini kita pulang, mungkin agak siang, sabar, ya. Mau Mas bantu cuci muka?”

Lala lalu turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi, kepalanya masih berasa sempoyongan, Bambang dengan sigap membopong Lala ke kamar mandi dan membantunya bersih-bersih.

Beep... beep..

Pesan W******p masuk.

Fani

Iya, Bang, sorry aku baru bales, HP aku semalam di-charge.

Bambang yang saat ini tengah duduk sarapan, sumringah membaca pesan masuk dari Fani. Ia sudah merindukan Fani karena dua hari tidak masuk kantor.

Iya, gapapa, Fan, Alhamdulillahhari ini Lala sudah bisa keluar dari rumah sakit.

send

Oh, gitu syukur, deh. Nanti aku jenguknya ke rumah kamu aja, ya.

Siap, aku tunggu.

Sambil tak lupa memberikan tiga emot senyum manis.

****

Minggu pagi Risti bersepeda ke Gelora Bung Karno ditemani Edward sang bodyguardnya. Ia memakai setelan olahraga berwarna hijau pupus. Lengkap dengan helm sepeda hijau berstiker Keroppi dan sepatu sepeda berwarna kuning. Oh, ya, tak lupa kaca mata hitam dan sapuan lipstik pink di bibir mungil Risti. Gadis yang sangat mempesona, begitulah kira-kira anggapan orang saat berpapasan dengan Risti.

Beep... beep...

HP-nya bergetar. Risti menepikan sepedanya lalu mengambil HP dari dalam tas pinggangnya. Pesan W******p masuk.

Ayahku Sayang

Hai, baby. Ingat ya, kamu harus secepatnya menentukan tanggal.

Seketika lutut Risti lemas tak mampu rasanya mengayuh sepeda, begitu membaca pesan ayahnya. Lalu ia teringat hari ini Lala akan keluar rumah sakit. “Edward kamu bisa pulang duluan, urus segela keperluan Lala dan abangnya untuk keluar rumah sakit. Jangan lupa antarkan mereka sampai ke rumahnya. Oh, ya, semalam saya membeli dua boneka beruang besar, ada di ruang depan apartemen kamu bisa membawa nya juga, berikan kepada adiknya Bambang. Bilang itu hadiah dariku dan Karin,” jelas Risti cukup panjang.

Edward mengangguk tanda mengerti lalu berbalik mengayuh sepeda menuju apartemen Risti. Risti mengambil HP-nya lalu memencet menu kamera dan berfoto selfie dengan latar GBK dan sepeda bromtom miliknya. Risti mengganti profile picture-nya dengan foto selfie terbarunya.

Bambang tengah duduk di sofa sambil menonton tivi. Lala sudah tak lagi diinfus dan sudah berganti baju. Mereka tinggal nunggu dipanggil untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Bambang menatap HP-nya sunyi. Tak ada pesan dari Fani. Mungkin Fani sedang berlibur bersama keluarganya,” gumam Bambang dengan sedikit kecewa. Tiba-tiba dia memencet kontak Risti yang telah berganti profile picture-nya. Bambang tersenyum kecil.

“Sebenarnya, Mbak Risti sangat cantik dan mempesona, sayang aja saya tidak tertarik,” gumamnya. Lalu matanya terpaku pada tulisan status di W******p Risti.

“Sekali saja berusan denganku, maka tak mudah bagimu untuk pergi,”

Mata Bambang bergidik, hatinya merasa ngeri, apakah ini status untuk menyindir dirinya,” Bambang menelan salivanya membayangkan sikap Risti yang sok berkuasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
seorang presdir perusahaan bakalan jatuh cinta sama bocah ingusan...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencari Suami Bayaran   108. Akikah

    Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat

  • Mencari Suami Bayaran   107. Si Mbok

    Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke

  • Mencari Suami Bayaran   106. Nikmatnya Mengurus Bayi

    "Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me

  • Mencari Suami Bayaran   105. Masa Nifas

    Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha

  • Mencari Suami Bayaran   104. Si Kembar

    Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula

  • Mencari Suami Bayaran   103. Malam Itu

    Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status