Share

6. Kesepakatan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-07 11:17:22

Ayah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.

Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.

“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.

“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”

“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.

“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.

“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”

“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.

“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius.

Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah saat ini telah membohongi Ayahnya.

“Dan kamu, Bambang?” lanjut pria dewasa itu bertanya kepada Bambang.

Bambang mengangguk, dia tak punya pilihan lain.

“Oke, Ayah yang putuskan kalian harus segera menikah,” ucap Ayah sambil meninggalkan ruang makan.

****

“Aduh, Mbak ini apaan sih, Mbak?” Bambang mulai bicara dengan nada bingung sambil menatap serius ke wajah Risti.

“Iya, Bang, sorry, aku ga tau kalau Ayahku malah nyuruh aku langsung nikah, kirain cukup bawa pacar aja masalahnya selesai.” Risti meminta maaf sambil berdecih kesal dengan sikap ayahnya.

“Mba, saya ini masih 23 tahun masih muda dan saya belum ada niat mau nikah,” ucap Bambang jelas.

“Hust... Pelankan suaramu,” potong Risti cepat sambil tangannya menutup mulut Bambang. “Iya, aku tahu, siapa juga yang mau nikah sama kamu,” ucap Risti kesal. “Berani benar bocah ingusan ini menolak dirinya, emangnya dia siapa?” umpat Risti dalam hati sambil menatap kesal ke arah Bambang.

Risti dan Bambang menyelesaikan makan dalam diam, dengan pikiran masing-masing, sedangkan Ayah Risti masih berada dalam kamar. “Sebaiknya aku antar kamu balik ke rumah sakit,” ucap Risti memecah keheningan. “Kita pamitan dulu,” ajak Risti.

“Mba, aja, deh, saya takut.” masih dengan wajah polos Bambang yang menyirat ketakutan.

“Ayolah, Bang, please,” Risti memohon, sedikit menarik lengan Bambang.

Bambang akhirnya menurut, mereka berjalan mendekati kamar Ayah Risti. Bambang memperhatikan beberapa foto di dinding dan memperhatikan sekeliling rumah Risti. “Sepertinya dia dan ayahnya orang penting, ya ampun kenapa aku ada dalam situasi sulit begini,” gumam Bambang sambil menghela napas.

Tok... Tok

“Yah," panggil Risti. “Kami mau pamit,” ucap Risti lagi tanpa menunggu jawaban ayahnya Risti berbalik dan mengajak Bambang. Wajahnya sedih. Pintu kamar Ayah terbuka. isti dan Bambang berbalik badan menatap Pak Hermawan.

“Kamu anak saya satu-satunya, tapi jangan pernah menemui saya sampai kalian berdua menentukan tanggal pernikahan, paham!” Ayah berkata dengan tegas lalu menutup pintu.

“Haduh...” Risti memijat kasar kepalanya.

Bambang masih terdiam tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Risti dan Bambang keluar dari rumah. “Edward, biar saya yang bawa mobil,” ucap Risti pada bodyguard-nya.

“Kamu kembali ke rumah dengan taksi saja,” ucap Risti lagi.

“Baik, Bu.”

Suasana di jalanan ibu kota cukup padat, mungkin karena ini malam minggu. “Huf...” Risti dari tadi menghela napas. “Bang... Kamu kenapa gak kuliah?” tanya Risti memecah kekakuan di antara mereka masih sambil fokus menyetir.

“Gak ada biaya, Mbak.”

“Kamu mau kuliah?” tanya Risti.

“Ya, pasti mau, Mbak, tapi duitnya dari mana?”

“Begini saja, saya sudah bersyukur yang penting saya dan adik-adik saya sehat,” lanjutnya lagi. “Aku mau biayain kamu kuliah, kamu juga bisa buka usaha percetakan, kalau kamu mau,” Risti menatap Bambang sekilas lalu kembali fokus menyetir.

“Hahaha...” Bambang tertawa, Risti melihat wajah Bambang saat tertawa dan itu sangat manis, Risti tersihir wajahnya merona. Risti langsung menggelengkan kepalanya dan kembali fokus menyetir. “Mimpi apa saya, Mbak?” ucap Bambang lagi sambil masih terkekeh mendengar kebaikan Risti yang pasti ada maunya, tidak mungkin gratis.

“Bang... Aduh saya bilangnya gimana, ya.” Risti mencoba berbicara tapi khawatir Bambang tersinggung. “Kalau kita menikah saja bagaimana?” ucap Risti dengan suara sangat pelan.

“Apa? “Tidak, Mbak. Tidak bisa, saya belum mau menikah. Tadi kan saya sudah bilang.” Bambang kaget dan menjawab tegas tidak mau.

“Aku bisa berikan kamu apa saja, rumah, biaya kuliah, biaya sekolah adik-adik kamu, kendaraan,  modal usaha juga aku bisa berikan.” Risti berusaha meyakinkan. Ia tahu ini ide gila, tapi tak ada salahnya mencoba memberi penawaran kepada Bambang.

“Mbak, menikah itu bukan perkara gampang, bukan untuk mainan, Mbak. Bagaimana bisa saya menikah dengan wanita asing yang baru saya kenal?” jelas Bambang dengan sedikit perasaan deg-degan. Tak dipungkirinya wanita di sampingnya ini adalah tipe idaman semua lelaki, namun bagi Bambang menikah dengan Risti bukanlah keinginannya, lagi pula Bambang masih menaruh perasaan pada Fani, teman kantornya.

“Kamu ga perlu jawab sekarang, kamu pikirkan saja dulu, pekan depan aku akan tanya kembali,” ucap Risti lemas.

“Sekarang atau pekan depan sama saja, Mba Risti, jawaban saya tetap tidak mau menikah.”

Risti menghentikan mobilnya di depan kios bakso.

“Saya minta tolong banget, Bang. Risti memegang tangan Bambang." Wanita itu memohon dengan wajah memelasnya. Bambang kaget dengan sikap Risti lalu menepis tangan Risti.

Dalam hati, Risti merasa sangat kesal, ia sudah menurunkan harga dirinya di depan lelaki muda ini, karena dia tidak punya pilihan lain, namun Bambang masih mengacuhkannya. “Tidak bisa, Mba. Maaf ya, Mba Risti bisa cari lelaki lain yang lebih pantas. Mba Risti punya banyak teman dan kolega, kenapa tidak minta tolong mereka?”

“Kalau mereka bisa dimintai tolong, gak mungkin kamu yang ada di sini, bocah sombong, dikasih enak malah belagak gak mau, sebel... sebel...” umpat Risti dalam hati sambil berusaha tersenyum memelas pada Bambang. “Tapi aku maunya kamu.” ucap Risti mulai menggoda Bambang. Ia tahu Bambang lelaki yang sangat polos.

Bambang terdiam sambil memijat kepalanya yang tidak pusing, pandangannya tertuju pada jalanan di depannya, ia tak berani menatap Risti, entah kenapa hatinya berasa berbunga saat Risti berkata “Aku mau kamu”. Risti merasa godaannya sukses. Risti tersenyum nakal.

“Ya udah, kita lanjut lagi, sebentar juga sampai, tuh, sudah dekat,” Risti menjalankan kembali mobil Toyota Camry terbaru miliknya. Sampailah mereka di parkiran rumah sakit, mereka berjalan beriringan. Bambang membuka pintu kamar perawatan Lala, terlihat Lala sedang asik ngobrol dengan Karin.

“Eh, Mas Bambang dan teteh Risti udah pulang,” ucap Lala ceria.

Karin membacaraut wajah Risti dan Bambang yang kusut. Pasti sesuatu telah terjadi nih. Batin Karin.

“Oh, ya, Mas, tadi ada Kak Fani ke sini bawain buah,” ucap Lala lagi.

Wajah Risti langsung keliatan tambah masam.

“Oh, ya?” wajah Bambang langsung sumringah mendengar nama Fani. “Trus, Kak Fani nanyain Mas gak?” tanya Bambang ingin tahu, merasa masa bodoh dengan kehadiran Risti. Karin dan Risti masih diam saja, Karin menatap Risti dan memberi kode lewat mata, mananyakan apa yang terjadi.

“Lala bilang mas Bambang lagi pergi pacaran sama Teteh Risti.” jawab Lala polos sambil menatap Risti yang sangat cantik. “Ya ampun, Lala,” Bambang seketika lunglai sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Juliani
ih ko panggilnya te2h?
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
hahahahha sedih nya lah cinta bambang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mencari Suami Bayaran   108. Akikah

    Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat

  • Mencari Suami Bayaran   107. Si Mbok

    Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke

  • Mencari Suami Bayaran   106. Nikmatnya Mengurus Bayi

    "Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me

  • Mencari Suami Bayaran   105. Masa Nifas

    Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha

  • Mencari Suami Bayaran   104. Si Kembar

    Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula

  • Mencari Suami Bayaran   103. Malam Itu

    Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status