Share

6. Kesepakatan

Ayah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.

Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.

“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.

“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”

“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.

“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.

“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”

“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.

“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius.

Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah saat ini telah membohongi Ayahnya.

“Dan kamu, Bambang?” lanjut pria dewasa itu bertanya kepada Bambang.

Bambang mengangguk, dia tak punya pilihan lain.

“Oke, Ayah yang putuskan kalian harus segera menikah,” ucap Ayah sambil meninggalkan ruang makan.

****

“Aduh, Mbak ini apaan sih, Mbak?” Bambang mulai bicara dengan nada bingung sambil menatap serius ke wajah Risti.

“Iya, Bang, sorry, aku ga tau kalau Ayahku malah nyuruh aku langsung nikah, kirain cukup bawa pacar aja masalahnya selesai.” Risti meminta maaf sambil berdecih kesal dengan sikap ayahnya.

“Mba, saya ini masih 23 tahun masih muda dan saya belum ada niat mau nikah,” ucap Bambang jelas.

“Hust... Pelankan suaramu,” potong Risti cepat sambil tangannya menutup mulut Bambang. “Iya, aku tahu, siapa juga yang mau nikah sama kamu,” ucap Risti kesal. “Berani benar bocah ingusan ini menolak dirinya, emangnya dia siapa?” umpat Risti dalam hati sambil menatap kesal ke arah Bambang.

Risti dan Bambang menyelesaikan makan dalam diam, dengan pikiran masing-masing, sedangkan Ayah Risti masih berada dalam kamar. “Sebaiknya aku antar kamu balik ke rumah sakit,” ucap Risti memecah keheningan. “Kita pamitan dulu,” ajak Risti.

“Mba, aja, deh, saya takut.” masih dengan wajah polos Bambang yang menyirat ketakutan.

“Ayolah, Bang, please,” Risti memohon, sedikit menarik lengan Bambang.

Bambang akhirnya menurut, mereka berjalan mendekati kamar Ayah Risti. Bambang memperhatikan beberapa foto di dinding dan memperhatikan sekeliling rumah Risti. “Sepertinya dia dan ayahnya orang penting, ya ampun kenapa aku ada dalam situasi sulit begini,” gumam Bambang sambil menghela napas.

Tok... Tok

“Yah," panggil Risti. “Kami mau pamit,” ucap Risti lagi tanpa menunggu jawaban ayahnya Risti berbalik dan mengajak Bambang. Wajahnya sedih. Pintu kamar Ayah terbuka. isti dan Bambang berbalik badan menatap Pak Hermawan.

“Kamu anak saya satu-satunya, tapi jangan pernah menemui saya sampai kalian berdua menentukan tanggal pernikahan, paham!” Ayah berkata dengan tegas lalu menutup pintu.

“Haduh...” Risti memijat kasar kepalanya.

Bambang masih terdiam tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Risti dan Bambang keluar dari rumah. “Edward, biar saya yang bawa mobil,” ucap Risti pada bodyguard-nya.

“Kamu kembali ke rumah dengan taksi saja,” ucap Risti lagi.

“Baik, Bu.”

Suasana di jalanan ibu kota cukup padat, mungkin karena ini malam minggu. “Huf...” Risti dari tadi menghela napas. “Bang... Kamu kenapa gak kuliah?” tanya Risti memecah kekakuan di antara mereka masih sambil fokus menyetir.

“Gak ada biaya, Mbak.”

“Kamu mau kuliah?” tanya Risti.

“Ya, pasti mau, Mbak, tapi duitnya dari mana?”

“Begini saja, saya sudah bersyukur yang penting saya dan adik-adik saya sehat,” lanjutnya lagi. “Aku mau biayain kamu kuliah, kamu juga bisa buka usaha percetakan, kalau kamu mau,” Risti menatap Bambang sekilas lalu kembali fokus menyetir.

“Hahaha...” Bambang tertawa, Risti melihat wajah Bambang saat tertawa dan itu sangat manis, Risti tersihir wajahnya merona. Risti langsung menggelengkan kepalanya dan kembali fokus menyetir. “Mimpi apa saya, Mbak?” ucap Bambang lagi sambil masih terkekeh mendengar kebaikan Risti yang pasti ada maunya, tidak mungkin gratis.

“Bang... Aduh saya bilangnya gimana, ya.” Risti mencoba berbicara tapi khawatir Bambang tersinggung. “Kalau kita menikah saja bagaimana?” ucap Risti dengan suara sangat pelan.

“Apa? “Tidak, Mbak. Tidak bisa, saya belum mau menikah. Tadi kan saya sudah bilang.” Bambang kaget dan menjawab tegas tidak mau.

“Aku bisa berikan kamu apa saja, rumah, biaya kuliah, biaya sekolah adik-adik kamu, kendaraan,  modal usaha juga aku bisa berikan.” Risti berusaha meyakinkan. Ia tahu ini ide gila, tapi tak ada salahnya mencoba memberi penawaran kepada Bambang.

“Mbak, menikah itu bukan perkara gampang, bukan untuk mainan, Mbak. Bagaimana bisa saya menikah dengan wanita asing yang baru saya kenal?” jelas Bambang dengan sedikit perasaan deg-degan. Tak dipungkirinya wanita di sampingnya ini adalah tipe idaman semua lelaki, namun bagi Bambang menikah dengan Risti bukanlah keinginannya, lagi pula Bambang masih menaruh perasaan pada Fani, teman kantornya.

“Kamu ga perlu jawab sekarang, kamu pikirkan saja dulu, pekan depan aku akan tanya kembali,” ucap Risti lemas.

“Sekarang atau pekan depan sama saja, Mba Risti, jawaban saya tetap tidak mau menikah.”

Risti menghentikan mobilnya di depan kios bakso.

“Saya minta tolong banget, Bang. Risti memegang tangan Bambang." Wanita itu memohon dengan wajah memelasnya. Bambang kaget dengan sikap Risti lalu menepis tangan Risti.

Dalam hati, Risti merasa sangat kesal, ia sudah menurunkan harga dirinya di depan lelaki muda ini, karena dia tidak punya pilihan lain, namun Bambang masih mengacuhkannya. “Tidak bisa, Mba. Maaf ya, Mba Risti bisa cari lelaki lain yang lebih pantas. Mba Risti punya banyak teman dan kolega, kenapa tidak minta tolong mereka?”

“Kalau mereka bisa dimintai tolong, gak mungkin kamu yang ada di sini, bocah sombong, dikasih enak malah belagak gak mau, sebel... sebel...” umpat Risti dalam hati sambil berusaha tersenyum memelas pada Bambang. “Tapi aku maunya kamu.” ucap Risti mulai menggoda Bambang. Ia tahu Bambang lelaki yang sangat polos.

Bambang terdiam sambil memijat kepalanya yang tidak pusing, pandangannya tertuju pada jalanan di depannya, ia tak berani menatap Risti, entah kenapa hatinya berasa berbunga saat Risti berkata “Aku mau kamu”. Risti merasa godaannya sukses. Risti tersenyum nakal.

“Ya udah, kita lanjut lagi, sebentar juga sampai, tuh, sudah dekat,” Risti menjalankan kembali mobil Toyota Camry terbaru miliknya. Sampailah mereka di parkiran rumah sakit, mereka berjalan beriringan. Bambang membuka pintu kamar perawatan Lala, terlihat Lala sedang asik ngobrol dengan Karin.

“Eh, Mas Bambang dan teteh Risti udah pulang,” ucap Lala ceria.

Karin membacaraut wajah Risti dan Bambang yang kusut. Pasti sesuatu telah terjadi nih. Batin Karin.

“Oh, ya, Mas, tadi ada Kak Fani ke sini bawain buah,” ucap Lala lagi.

Wajah Risti langsung keliatan tambah masam.

“Oh, ya?” wajah Bambang langsung sumringah mendengar nama Fani. “Trus, Kak Fani nanyain Mas gak?” tanya Bambang ingin tahu, merasa masa bodoh dengan kehadiran Risti. Karin dan Risti masih diam saja, Karin menatap Risti dan memberi kode lewat mata, mananyakan apa yang terjadi.

“Lala bilang mas Bambang lagi pergi pacaran sama Teteh Risti.” jawab Lala polos sambil menatap Risti yang sangat cantik. “Ya ampun, Lala,” Bambang seketika lunglai sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Juliani
ih ko panggilnya te2h?
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
hahahahha sedih nya lah cinta bambang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status