Share

Merasa Bersalah

Dalam keadaan setengah sadar ingatan Ganis berputar pada saat kejadian kecelakaan malam itu.

“Marc, kau akan selamat. Kita akan ke rumah sakit,” sedu Ganis memeluk Marco yang tak berdaya. Marco menggelepar dalam sakaratul mautnya. Ganis makin terisak. Tampak darah menggenang dari belakang kepala pria itu.

“Ga-nis,” ucap Marco dengan sudut bibir mengalirkan darah segar.

“Kau can-tik,” ujarnya tersendat. Ganis menoleh ke sekeliling. Kenapa semuanya menghilang. Mana semua orang? Mana teman-teman Marco?

“Tolong kami!” teriak Ganis begitu panik. Terdengar bunyi sirine polisi mendekat. Kenapa pertolongan tak juga datang. Mengapa lama sekali.

“Marco kau akan sembuh,” ucapnya menatap wajah Marco yang kian memucat. Matanya mulai meredup.

“Bertahanlah! sebentar lagi,”

“Nis apakah kau menerimaku,” seru Marco dengan sangat susah payah. Nafasnya serasa sudah di ujung tenggorokan.

“Ya aku menerimamu. Kita pacaran,” sahut Ganis mengangguk cepat. Ia mencium pipi Marco terharu. Sebentuk senyum samar tercipta di bibir pucat Marco.

Sebuah mobil polisi berhenti. Beberapa saat kemudian petugas polisi turun. Ganis memaksa untuk tetap bersama Marco walaupun polisi menarik tubuhnya. Ambulance pun datang. Petugas kesehatan turun dan segera memberi penanganan darurat pada pasien. Ganis ikut naik ke dalam ambulance dan kemudian melaju kencang menuju rumah sakit terdekat.

Sampai di rumah sakit Marco segera dimasukkan ruangan ICU. Ia melihat Ramon datang dengan raut wajah cemas dan khawatir. Ramon hanya melempar pandangan benci padanya. Beberapa polisi juga datang untuk menanyainya beberapa hal. Selang beberapa saat kemudian seorang dokter keluar. Ia berbicara sebentar dengan Ramon.

“Selamatkan adikku!! kau ini tak becus. Suruh dokter lain menanganinya,” teriak Ramon menarik kerah dokter itu dengan kasar. Ramon masih tak terima kalau Marco ternyata tak bisa diselamatkan.

Air mata Ganis mulai mengalir tak terkendali. Lututnya lemas. Ia terjatuh bersimpuh di lantai rumah sakit. Sungguh ia tak bisa terima Marco pergi secepat itu dan setragis itu.

"Marco!! kenapa?" serunya sambil menggeleng.

Kegaduhan pun terjadi di depan ruang ICU itu. Anak buah Ramon tampak sedang berusaha menenangkan bosnya yang sedang mengamuk. Seorang teman wanitanya memeluk Ramon memberinya kekuatan.

“Marco kau tega! Kenapa kau tinggalkan kakak. Marco!!” raung Ramon tak bisa menahan perasaannya. Ramon akhirnya menghentikan gerakannya dan terjatuh dalam pelukan tunangannya. Pria itu menangis tergugu.

Ganis terisak. Ia berulangkali menggeleng. Tubuhnya menggigil hebat. Air Matanya masih saja mengalir. Dahinya berjengit saat ia merasakan sesuatu yang basah di dahi dan dadanya. Perlahan ia membuka matanya. Sesosok pria tampan yang beberapa bulan telah menghiasi mimpi dan angannya. Dia Ramon, kakak Marco.

Ganis segera berjengit dan bangun dari tidurnya saat ia sadar apa yang telah diperbuat Ramon sebelumnya padanya.

“Jangan sentuh aku!” teriaknya beringsut ke sandaran ranjang. Ramon berusaha mendekat dengan lap saputangan basahnya.

“Berhenti! apa yang kau lakukan,” ujarnya lagi. Ia menggeser menjauh.

Ramon terkesiap dan menahan dirinya. Ia menaruh sapu tangan hangat itu ke dalam baskom. Ia berusaha menurunkan suhu tubuh Ganis sampai obat yang ia pesan datang.

“Tunggu! aku hanya ingin kau sembuh. Kau sakit,” sahut Ramon melihat tatapan ketakutan penuh teror pada gadis di hadapannya itu.

Terdengar seseorang memanggil dari luar. Pegawai itu telah kembali. Ramon telah menyuruhnya membeli obat, makanan dan keperluan lainnya. Pegawai itu juga telah ia perintahkan mencari pelayan wanita untuk merawat dan melayani Ganis sampai gadis itu pulih

“Tunggu di sini. Kau akan aman. Aku tak akan menyakitimu,” seru Ramon sebelum ia keluar kamar.

Ganis ingin bangkit. Tapi kepalanya sangat berat. Seperti ada palu besi yang menimpa kepalanya. Tak urung ia kembali rebah. Tubuhnya kini sangat tak berdaya.

*****

Seorang wanita paruh baya mendorong troli makanan ke dekat ranjang. Perlahan ia menepuk lengan Ganis yang terlihat memejamkan matanya.

“Nona makanlah,” ucapnya dengan suara lembut. Ganis yang memang terjaga dan sadar malah menghadap tembok membelakangi wanita itu. Ramon yang memperhatikan dari pintu menjadi tak sabar. Ia pun memberi isyarat agar wanita itu pergi.

Ramon menghela napas. Memang reaksi apa yang bisa ia harapkan dari gadis itu. Ia berbuat keterlaluan karena gadis itu juga telah memancing dirinya. Semua tak sepenuhnya salah dirinya sendiri. Egonya kembali menguasainya. Belas kasihnya telah ditolak gadis itu dan ia tak akan bertindak lebih jauh lagi. Ia sudah menyediakan makanan, obat dan semua kebutuhan gadis itu. Ia rasa semuanya sudah cukup.

“Semua yang kau perlukan sudah ada di troli. Makanlah, kemudian minum obat,” kata Ramon berharap Ganis mau bekerjasama. Ganis masih tak bergeming.

Ramon menggelengkan kepalanya.

“Aku tak punya banyak kesabaran. Aku ingin diantara kita cepat selesai. Kau ingin kembali pada kehidupan normalmukan?” pancing Ramon. Tak urung Ganis akhirnya menggerakkan tubuhnya. Ia memutar tubuhnya berusaha untuk duduk.

“Kau memang pecundang. Lain sekali dengan Marco,” ujarnya lemah tapi terdengar sangat sinis. Ramon mendengus kesal.

“Terserah kau mau bilang apa. Kau membenciku bukan? tentunya kau tak mau lama-lama tinggal bersamaku di sini,” ujar Ramon menatap tajam Ganis. Gadis ini sama sekali tak bisa diberi hati. Ia tahu Ganis adalah gadis keras kepala. Ia tak bisa menganggap remeh Ganis.

“Apa maumu sebenarnya?” ucap Ganis sambil menahan dengan susah payah kepalanya yang berdenyut sakit.

“Kau harus segera sembuh. Lalu lakukan tes kehamilan. Aku perlu kepastian apakah kau hamil atau tidak. Dan kita akan tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya,” jawab Ramon langsung pada intinya. Ia tak mau berlama-lama lagi larut dalam kebencian. Toh Marco tak akan bisa kembali. Meskipun ia masih akan tetap menyelidiki penyebab kecelakaan Marco. Ia ingin masalah dengan Ganis cepat beres. Lalu ia akan kembali bekerja dan melawan rasa kehilangan Marco.

Ganis terdiam sesaat.

Ia melirik sebuah bungkusan kertas bertuliskan alat tes kehamilan. Ia juga ingin tahu kalau ia tak harus mengandung benih Ramon. Ia ingin melupakan semuanya dan memulai hidup yang baru. Persetan dengan cintanya pada pria di depannya ini. Mana bisa ia akan tetap mencintai seseorang yang telah memperkosanya secara kejam tanpa perasaan.

“Kenapa tidak sekarang saja,” ujarnya langsung beranjak dari tidurnya. Ramon hanya mengerutkan dahinya dan melihat Ganis terhuyung dan kembali terduduk di tepi ranjang.

“Berdiri saja kau tak bisa, kan?” ujar Ramon tersenyum miring.

“Makan dan minum obatlah. Jangan keras kepala. Istirahat yang cukup. Aku akan pergi sebentar. Kuharap saat aku datang kau sudah siap melakukan tes kehamilan di hadapanku. Jangan harap kau bisa memanipulasinya. Oh iya jangan senang dulu. Aku masih akan menyelidiki kecelakaan Marco. Aku akan melepaskanmu kalau kau memang tak terbukti terlibat. Aku juga akan memberikan kompensasi atas perbuatanku padamu. Semua juga akan berbeda jika kau memang hamil,” terang Ramon berusaha untuk terlihat santai. Ia tak ingin Ganis terlalu tegang dan ketakutan menghadapinya. Seolah dia seorang kriminal.

“Cuiihh. Memang bisa kau ganti berapa kesucianku yang kau renggut? lantas seorang pecundang sepertimu bisa berbuat apa jika aku hamil. Kau akan menyuruhku menggugurkannya?” kata Ganis dengan mata menentang mata hazel Ramon. Ramon mendengus sambil menyisir rambutnya.

“Memang kau mengharapkan apa? aku akan menikahimu?” ucapnya berusaha menahan kekesalannya. Sebenarnya ia juga masih belum bisa memutuskan apa yang bisa ia lakukan nanti jikalau Ganis memang betulan hamil.

Ganis berjengit sambil menggeleng pelan. Ia sungguh menyesal telah mencintai pria pengecut macam Ramon. Kenapa saat Marco dulu menceritakan tentang kakaknya semuanya begitu sempurna. Ramon yang ia bayangkan adalah pria yang sangat bertanggung jawab yang telah merawat dan membesarkan Marco sebagai pengganti orang tuanya. Ia juga tak habis pikir kenapa ia malah jatuh cinta pada pria matang yang pantas jadi ayah atau pamannya. Ia menyesal kenapa tak jadian dengan Marco saja sedari awal.

Ganis tak punya pilihan selain akhirnya menyantap sandwich di troli dan segelas jus. Di bawah mata Ramon ia pun menenggak sebutir obat dan kemudian kembali berbaring.

Sedari tadi Ramon memperhatikan sesuatu. Bukan Ganis yang sedang makan tapi sesuatu yang ada di sprei kusut bekas Ganis berbaring. Sesuatu yang membuat Ramon nyaris tak percaya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status