Share

Mencintai Kekasih Saudari Kembarku
Mencintai Kekasih Saudari Kembarku
Author: Kindi.da

Episode 1 (Tempat Baru Bia)

Bia membuka mata dengan perlahan. Suasana yang begitu sunyi tanpa ada seorang pun di sekitarnya. Terdengar di balik pintu, suara nyaring hak sepatu bolak-balik dari arah satu ke arah yang lain. Bia kini berada di salah satu ruangan rumah sakit swasta di Bogor.

"Krekk."

Tiba-tiba beberapa orang masuk ke ruangan Bia. Bia tidak terkejut, ia merasa pusing yang begitu hebat di kepalanya dan tak berani untuk bangun.

"Pasien sudah sadar, " ucap seorang dokter kepada kedua orang yang datang bersamanya.

"Bella, gimana keadaan kamu?" tanya seseorang yang terlihat 20 tahun lebih tua dari Bia.

"Bella siapa?" Bia tampak kebingungan.

"Ya kamu lah siapa lagi," jawab seorang yang lain. Kali ini terlihat laki-laki yang mungkin usianya sedikit lebih tua dari Bia. Entah dari mana lelaki tampan nan mempesona ini datang.

"Kamu siapa?" tanya Bia lagi semakin kebingungan.

Melihat Bia yang tampak linglung, kedua orang yang datang bersama dokter itu pun saling memandang penuh kebingungan.

Dokter pun mengambil alih. Mencoba menenangkan Bia dan bertanya dengan perlahan.

"Jadi nama kamu adalah Bella. Kemarin sore kamu mengalami kecelakaan di jalan sekitar puncak. Kamu ingat dengan siapa kamu pergi ke puncak dan untuk apa?" tanya dokter coba memulihkan ingatan Bia.

Bia hanya menggelengkan kepala. "Siapa yang ke puncak?"

Dokter pun tampak kebingungan. Ia mengisyaratkan kedua temannya untuk keluar ruangan lalu meninggalkan Bia sendiri. Sementara itu Bia kembali memejamkan matanya.

Setelah beberapa menit berjalan, dokter dan kedua orang yang mengenal Bia sebagai Bella itu pun sampai di ruangan dokter.

"Saat saya cek tidak ada luka yang serius, memang hanya luka ringan. Namun sepertinya ia mengalami anoksia atau kekurangan oksigen akibat berada di dalam mobil sehingga membuat ingatannya jadi pudar. Tapi saya prediksi ini hanya sementara, dalam waktu dekat ia akan kembali mengingat dirinya," jelas dokter.

"Baik, Dok. Kalau tidak ada yang serius apa Bella sudah boleh pulang hari ini? Kalau boleh biar kita bawa ke Jakarta." Dengan penuh harap, pria tua itu meminta ijin pada dokter untuk membawa Bia pulang.

Dokter pun menjawab. "Boleh, Pak. Pagi ini Bella sudah boleh pulang. Nanti saya catat resep obat yang harus dibawa pulang."

***

Bia masih terbaring lemas di atas kasur. Dua orang yang mengenalinya sebagai Bella itu kini kembali mengunjunginya.

"Bella, kata dokter tidak ada luka yang serius. Jadi sebentar lagi kita pulang ke Jakarta," ucap si laki-laki yang sedari awal begitu ramah pada Bia. Pria dengan pembawaan yang lembut namun tetap berwibawa. Ia terlihat begitu memperhatikan Bia. Berbeda dengan pria tampan yang berdiri di sebelahnya. Ia tampak cuek dan terlihat tidak begitu menyukai Bia.

Bia hanya mengangguk pasrah.

Terik matahari membakar tubuh. Membuat Bia semakin lemas. Siang ini Bia telah sampai di Jakarta. Ia turun dari mobil dan tampak raut wajahnya kebingungan ketika melihat sebuah rumah asing yang baru pertama kali ia datangi.

"Kita dimana?" tanya Bia pada kedua orang asing yang membawanya itu.

"Gausah banyak tanya, masuk aja, panas," ketus pria yang memang sedari awal terlihat judes.

"Dafa ... " tegur pria di sampingnya. "Saya harus pergi untuk mengurus masalah kecelakaan Bella. Dafa, kamu jaga Bella baik-baik, jangan lagi bersikap sok keras. Mengerti?" lanjutnya.

Pria yang bernama Dafa itu hanya terdiam sambil tersenyum kecut. "Hati-hati dijalan, Pak," ucap Dafa.

Masih dengan raut wajah kebingungan, Bia membuntuti Dafa yang berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah. Setelah sejajar dengan pria tinggi itu, Bia pun memulai percakapan.

"Ini rumah kamu?"

"Iya lah," jawab Dafa lagi-lagi dengan ketus.

Bia tersenyum sumringan, ia begitu kagum dengan keindahan isi rumah yang baru saja ia masuki. Walau rumah itu tidak berukuran besar, namun semuanya tertata dengan rapi. Aroma rumahnya pun khas, tampaknya terawat dengan cukup baik.

Dafa menghentikan langkahnya, Bia pun mengikuti. "Ini kamar kamu. Selamat istirahat," kata Dafa singkat lalu berbalik arah hendak pergi.

"Tunggu ..." ucap Bia spontan menghentikan langkah Dafa. "Kakak?" lanjutnya dengan nada penuh keraguan.

Terlihat di raut wajah Dafa tampak kesal mendengar Bia memanggilnya dengan sebutan 'kakak'.

"Siapa kakak kamu?" tanya Dafa sambil menatap Bia dengan tatapan tajam.

Bia pun semakin kebingungan. "Kalo bukan kakak, kenapa kita satu rumah? Atau jangan-jangan, kita suami istri?" Bia pun terkejut dengan ucapannya sendiri.

Mendengar tebakan Bia, kekesalan Dafa semakin memuncak. "Jangan ngaco, mending masuk kamar, istirahat biar cepet inget." Ia pun pergi meninggalkan Bia yang masih berdiri dengan mata melotot, memikirkan hubungan apa yang ia miliki dengan Dafa sehingga mereka tinggal dalam satu atap.

Bia memasuki kamar dengan perlahan. Ia melihat kamar yang sedikit berantakan, membuatnya melipat bibir.

"Ini kamarnya Bella?" ucap Bia. Berpura-pura hilang ingatan dan menjadi Bella adalah bagian dari rencana Bia.

Sejak kecelakaan itu terjadi, dan Bia melihat dengan jelas bahwa seorang pengemudi mobil yang bertabrakan dengannya memiliki wajah yang 90 persen mirip dirinya, membuat Bia penasaran dan mencari tahu lebih dalam. Sejauh ini rencananya berjalan dengan cukup baik.

Bia berjalan perlahan menuju meja rias. Ia melihat dirinya di dalam foto, bukan, bukan Bia, namun Bella. Siapa Bella? Mengapa ia memiliki kemiripan wajah yang hampir 100 persen dengan Bia? Bia tidak berhenti memikirkan Bella. Kepalanya yang belum sembuh dari luka pun kembali terasa sakit. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, setidaknya untuk menghilangkan rasa sakit.

***

Bia terbangun dari tidurnya. Ia terkejut ketika tidak dapat melihat apapun di sekeliling, kini siang telah berganti malam. Ia pun meraba tembok berharap menemukan saklar di dekat tempat tidur.

"Yes, dapet," ucapnya ketika menyentuh saklar.

Bersamaan dengan lampu menyala, suara perut Bia berbunyi. Ia kelaparan lantaran belum makan apapun sejak siang hari. Terakhir ia makan adalah saat di rumah sakit di Bogor. Dengan menu makanan dari rumah sakit, Bia juga hanya mencicipi 2 sendok lalu berhenti memakannya.

Bia berjalan keluar kamar dengan lemas. Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. Ia terkejut dan langsung mencari dapur. Dengan cepat ia menemukannya. Namun, sayangnya tidak ada menu makanan apapun di meja makan. Bia lesu, ia pun berjalan ke arah kulkas dengan harapan ada sesuatu yang bisa dimakannya.

"Cari apa?" suara yang sontak mengagetkan Bia. Bia membalikkan badan, setelah melihat Dafa berdiri 5 meter di depannya, ia pun mengelus dada. Rasa lega ketika yang dilihatnya adalah manusia bukan hantu.

"Laper," seru Bia sambil memelas.

Dafa berjalan mendekati Bia. Bia tersenyum sumringan berpikir bahwa Dafa akan memberinya makanan, namun justru Dafa melewatkannya. Dia hanya mengambil minuman kaleng di kulkas lalu pergi.

"Hei ..." teriak Bia begitu kesal dengan perilaku Dafa padanya. "Aku laper, kakak. Kakak gak masak?" Bia sengaja memancing emosi Dafa.

"Stop panggil kakak," balas Dafa dengan keras. "Bikin mie instan aja, biasanya juga makan mie instan," lanjut Dafa tanpa menoleh ke arah Bia. Ia pun pergi meninggalkan Bia yang masih kelaparan.

"Mie instan? Malem gini mau makan mie instan? Dia ga tau atau pura-pura ga tau kalo cewek ga boleh makan mie instan di malam hari," celoteh Bia dengan pelan.

Bia kembali ke kamar dengan wajah lesu. Ia hendak pergi keluar rumah untuk mencari makan, namun ia merasa sudah cukup malam untuk keluar. Ia pun memutuskan untuk tinggal di kamar. Beberapa menit terdiam, Bia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya di bawah meja. Sebuah amplop putih tergeletak di lantai. Bia berjalan mendekati amplop itu, lalu tanpa ragu ia mengambil dan membukanya.

"Nomor siapa nih?" tanya Bia pada dirinya sendiri ketika melihat amplop tersebut hanya berisi 12 angka yang merupakan nomor telepon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status