Tubuh bergelimang peluh itu saling melepas setelah tadi sama-sama memagut. Selanjutnya yang terdengar adalah desah napas yang terengah-engah bersama sensasi luar biasa yang mengantar ke surga dunia.
“Capek?”
“Sedikit,” pelan suara Utami saat Joandra bertanya sekaligus mengecup dahinya.
Joandra tersenyum kemudian merengkuh wanita yang beberapa tahun ini dipacarinya agar berbaring di atas lengannya. Sementara tangannya yang lain menjangkau buku favoritnya—Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie—yang tergeletak di atas nakas. Buku itu sudah lusuh. Beberapa halamannya juga menguning. Terdapat beberapa lipatan di beberapa lembar untuk menandakan poin-poin penting. Sembari mendekap Utami, Joandra membuka halaman terakhir yang dibacanya lalu meneruskan bacaannya.
Utami hanya bisa memandang dalam diam tingkah kekasihnya. Entah sudah berapa puluh kali Joandra menamatkan buku tersebut, tapi lelaki itu tidak pernah bosan. Setelah membaca keseluruhan isi buku itu sampai selesai maka Joandra akan mengulangnya dari halaman pertama.
“Apa sih bagusnya? Nggak bosan apa baca buku ini terus? Emang ceritanya bakal berubah ya kalau dibaca berulang-ulang?” Utami berujar pelan namun sampai dengan baik ke telinga Joandra.
“Anak Fekon nggak bakal ngerti, sana baca novel aja.”
“Ihhhh …” Utami mendelik mendengar ledekan kekasihnya.
Joandra tertawa. Dikecupnya kepala sang kekasih dengan perasaan sayang sebelum melanjutkan bacaannya.
Utami menyerah. Jemari lentik dengan kuku berwarna burgundy-nya mengusap-usap dada Joandra. Bukan dada yang bidang dan berbulu lebat, namun Utami menemukan kenyamanan setiap kali berada dalam pelukan hangat dada lelaki itu.
“Jo …”
“Hm.” Joandra menyahut dengan gumaman tanpa mengalihkan atensi dari buku yang dibacanya.
“Papi nanyain kamu.”
“Terus?”
“Papi nawarin kamu kerja jadi lawyer pribadinya.” Utami menatap Joandra, menanti tanggapan pria itu.
Kekasihnya tidak menjawab. Malah tampak semakin berkonsentrasi pada bacaannya.
“Jo …” Utami mengelus dada Joandra sedikit kuat yang mengisyaratkan bahwa dirinya sangat butuh jawaban.
Terdengar embusan napas laki-laki itu yang dilepas dengan panjang. Lalu Joandra menyingkirkan Sang Demonstran dari hadapannya.
“Aku nggak bisa, Ta.” Dia memberi jawaban.
“Tapi kenapa? Justru aku pikir dengan bekerja menjadi pengacara Papi adalah hal yang bagus untuk karir kamu, nggak stuck disitu-situ aja. Bukan hanya dari segi finansial, tapi namamu juga bakalan naik,” bujuk Utami gregetan.
Joandra tersenyum kecut. Sebagai pengacara kecil dia memang belum memiliki nama. Hidupnya juga tidak sesejahtera para pengacara yang terkenal itu. Alih-alih akan kerja di firma hukum besar, dia justru mengabdi di sebuah LBH.
Ini adalah tawaran kesekian dari orang tua Utami. Namun jawaban Joandra tetap sama. Dia tidak akan pernah bekerja untuk mertuanya, karena dirinya dan pria itu sangat bertentangan secara prinsip.
Menarik pelan lengannya yang Utami jadikan sebagai bantal, Joandra membawa tubuh tanpa busananya turun dari tempat tidur.
Utami memerhatikan Joandra masuk ke kamar mandi, lalu tak lama setelahnya terdengar kecipak air dari dalam sana. Utami hanya bisa menghela napas. Dia tidak mengerti pada prinsip kekasihnya yang sepertinya begitu betah hidup susah.
Selang sepuluh menit kemudian Joandra keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya dipagari selembar handuk putih yang menggantung rendah di pinggulnya sehingga Utami dengan jelas melihat V-line lelaki itu.
Sexy. Utami menyanjung dalam hati.
“Ta, aku mau ke kantor sebentar.” Joandra memberi tahu setelah mengambil setelan kemeja dan celana formal dari dalam lemari.
“Udah sore begini?” Utami memprotes. Tadi setelah makan siang berdua mereka melanjutkan dengan seks singkat. Utami masih ingin menghabiskan waktu bersama Joandra. Namun, lelaki itu malah ingin pergi.
“Baru jam tiga, Ta.” Joandra melirik arlojinya yang baru saja dikenakan.
“Aku tunggu di sini sampai kamu pulang,” putus Utami.
“Tapi aku belum tahu bakal pulang jam berapa. Mungkin sampai malam.”
Utami memberengut. Bibir sensualnya mengerucut. Dan itu membuat Joandra gemas.
Joandra mendekat, duduk di pinggir tempat tidur, lalu memberi kekasihnya ciuman lembut.
“Besok kamu kan masih bisa ke sini.” Lelaki itu membujuk.“Besok ya lain lagi, Jo. Lagian besok kayaknya aku bakalan sibuk banget. Ada beberapa endorse yang harus kutangani.
“Lusa kalau begitu.”
“lh, kamu!”
Joandra hanya tersenyum saat kekasihnya itu menyingkap selimut lalu turun dari tempat tidur. Jakunnya bergerak-gerak menyaksikan tubuh polos Utami saat gadis itu membawa langkah ke kamar mandi.
Tanpa terasa sudah lebih enam tahun mereka bersama. Dan sejauh ini keduanya bahagia meski realita kehidupan tidaklah seindah cinta mereka.
**
Hari itu puluhan demonstran menyuarakan aksinya di depan kantor PT. Cipta Dinamika. Mereka menuntut keadilan atas sejumlah karyawan yang dipecat namun tidak dibayar pesangonnya.
Sementara di dalam gedung, Joandra yang bertindak sebagai advokat dari LBH Justicia mewakili para demonstran tersebut menagih hak mereka.
“Maaf, Pak Joandra, lebih baik Bapak pergi. Percuma Bapak di sini karena tidak ada gunanya. Perusahaan ini sudah collapse, jadi sangat tidak mungkin memenuhi tuntutan para mantan karyawan,” kata salah seorang perwakilan PT tersebut yang menemui Joandra.
“Kalau begitu izinkan saya bertemu dengan pemilik perusahaan ini.” Lelaki berkulit sawo matang itu bersikukuh untuk bertahan. Dia tidak akan mundur sebelum berhasil. Dia yakin orang penting itu ada di dalam sana.
“Perusahaan ini sudah dijual, Pak. Bapak tidak akan bisa minta apa-apa,” dalih sang perwakilan.
Joandra menyipit membaca gestur lawan bicaranya. Bisa saja pria berambut cepak dengan trend alis terpotong itu berbohong padanya. Jangan sebut namanya Joandra jika dia akan menyerah begitu saja.
“Kalau begitu saya ingin bertemu dengan pembeli perusahaan ini. Dia pasti ada di dalam. Saya harap anda tidak mempersulit. Percaya pada saya, orang-orang di luar sana belum akan berhenti sebelum mendapatkan haknya. Besok dan besoknya lagi mereka masih akan datang. Anda sendiri yang susah. Jadi lebih baik pertemukan saya dengan owner baru perusahaan ini.”
Perwakilan perusahaan akhirnya menyerah. Dia meminta Joandra menunggu sebentar. Selang lima menit pria itu muncul lagi dengan pria berkemeja batik. Pria berkemeja batik membawa Joandra ke lantai dua menggunakan lift. Setelah keluar dari lift pria berkemeja batik menyerahkan Joandra pada dua lelaki berbadan tegap berseragam navy pekat yang dari pakaiannya Joandra pikir adalah bodyguard.
Sungguh sangat panjang birokrasi untuk bertemu pemilik baru perusahaan tersebut.
Sang bodyguard memindai Joandra dengan metal detector. Setelah dinyatakan aman, Joandra disuruh masuk.
Daun pintu lalu terbuka. Ruangan tempat Joandra memijakkan kakinya begitu luas dan sangat dingin. Lima meter dari tempatnya berdiri Joandra melihat seorang pria sedang duduk di kursi direktur dengan tangan bersedekap di dada. Segaris senyum membingkai bibirnya.
“Selamat datang, calon menantu. Silakan duduk,” ucap pria itu mengejutkan Joandra.
Bersambung~
Utami tidak mengira jika reaksi yang akan dia terima dari Joandra adalah pelukan hangat seperti ini. Pelukan yang sudah bertahun-tahun Utami rindukan.Utami balas dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Joandra. Dia menahan agar air matanya tidak menetes."Maaf untuk apa, Jo?" lirihnya dalam pelukan Joandra.Banyak yang ingin Joandra sampaikan. Tak sedikit hal yang ingin dia ungkapkan. Bahwa kata maaf tadi adalah mewakili seluruh kesalahannya yang tidak terhitung dan mungkin tidak akan pernah termaafkan.Kemudian yang terucap dari mulutnya adalah, "Maaf karena aku membuat semua ini terjadi.""Kamu nggak salah, Jo. Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan," balas Utami dengan pelukan yang lebih erat.Utami tidak ingin semua ini berakhir. Dia masih ingin berada lebih lama lagi di pelukan Joandra. Namun harapannya tak terkabul.Bagai disadarkan oleh kenyataan, Joandra melepaskan Utami dari dekapannya. Mereka sedang berada di ruang publik. Joandra tidak ingin menambah masalah
Hampir dua minggu lamanya Joandra berada di Medan. Begitu kondisinya pulih lelaki itu kembali ke Jakarta dan memulai aktivitasnya seperti sediakala. Berhubung pemilu sudah selesai maka Joandra lebih banyak menghabiskan hari-harinya di LBH Justicia. Tempatnya mengabdi selama ini."Bang, ada surat buat lo." Angga memberi amlop pada Joandra.Lelaki itu menerimanya, melihat nama pengirim dengan seksama kemudian membaca isi surat tersebut."Astaga." Itu kata pertama yang berhasil keluar dari mulut Joandra setelah membaca surat tersebut."Kenapa, Bang?" Angga bertanya ingin tahu."Gue dipanggil Peradi," beritahu Joandra. Peradi adalah organisasi yang menaungi para advokat di Indonesia."Masalahnya?""Kayaknya ada yang ngelaporin gue, katanya gue ngelanggar kode etik sebagai advokat.""Adaaa aja masalahnya." Angga ikut geram mengetahuinya. Seakan tidak cukup dengan mencelakai Joandra, orang-orang masih ingin menjatuhkannya dengan cara yang lain.Joandra hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu.
Sidang hari ini berlangsung panas. Pihak penggugat dan tergugat keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka merasa berada di jalan yang paling benar dan bersikukuh mempertahankan pendirian masing-masing. Beberapa kali sidang terinterupsi karena Daniel yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan Joandra tetap terlihat tenang meski adu argumen seperti ini tidak hanya membutuhkan pikiran namun juga menguras energinya. Terlalu banyak berbicara memicu perasaan perih bekas operasi di perutnya. Namun, Joandra menyimpan dari orang-orang. Dia tidak boleh cengeng karena akan membuatnya lemah. Itu hanyalah bekas operasi. Semua orang yang pernah mengalami operasi pasti pernah merasakannya.Dari tempat duduknya Utami memerhatikan Joandra. Khawatir laki-laki itu akan tumbang saat sidang sedang berlangsung. Tapi syukurlah. Yang ditakutkannya tidak terjadi. Joandra baik-baik saja sampai sidang berakhir.Satu demi satu orang-orang yang menghadirinya keluar dari ruangan. Sid
Joandra memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas Utami yang saat ini sedang menatapnya. Bukan hanya itu saja. Selain tangannya yang menggenggam jemari Joandra, tangannya yang lain menelusup ke setiap helai rambut laki-laki itu lalu membelainya dengan lembut.Perasaan malu dan bersalah menghimpit dada Joandra. Malu karena Utami sudah memberi pertolongan sampai sebegininya sedangkan besok dia harus menghadapi orang tua gadis itu. Juga merasa bersalah lantaran terlalu sering menyakiti Utami.“Sakit, Jo?” tanya Utami saat melihat Joandra meringis sembari menyentuh perutnya.“Sedikit,” jawab laki-laki itu. Seharusnya saat ini dia berada di tempat yang nyaman dan melalui masa-masa perawatan di bawah pengawasan tenaga medis.“Sabar ya, Jo. Ini nggak akan lama kok. Sebentar lagi kita nyampe.” Utami ikut meringis melihat ringisan di wajah Joandra. Meskipun waktu tempuh dengan menggunakan pesawat pribadi lebih singkat dibandingkan pesawat komersial, namun detik demi detik waktu terasa begitu
Utami mengendarai mobilnya dalam temaram malam dengan perasaan galau. Sisa-sisa hujan yang sudah berhenti masih membasahi jalan tidak ada apa-apanya dengan air mata yang mengalir di pipi Utami saat ini. Utami mengkhawatirkan kondisi Joandra. Yang terjadi saat ini sudah sangat buruk. Utami tidak ingin yang lebih buruk lagi menimpa lelaki itu.Kaki Utami begitu gemetar saat gadis itu mengayunkan langkah menyusuri koridor rumah sakit. Tepat di depan IGD Utami menemukan Panji sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang Utami tidak tahu siapa. Mengetahui kemunculan Utami, Panji beralih padanya. Lelaki itu terlihat lega mengetahui Utami akhirnya bersedia datang."Gimana keadaan Jo?" buru Utami cepat."Lagi dioperasi, Mbak.""Kejadiannya gimana?" tanya Utami lagi."Gue baru pulang terus ngeliat rumah dalam keadaan gelap. Terus ... gue ngeliat Bang Jo dalam keadaan nggak sadarkan diri di depan rumah. Ada luka tusukan di perutnya. Dan itu baru banget. Kayaknya kejadiannya nggak lama sebelum gu
Utami memijit-mijit pelipisnya. Kepalanya bertambah berat sekarang. Aruna sudah pergi bersama kebenciannya pada Utami. Lalu sekarang tinggallah Utami menghadapi Maudy dan Jennifer yang mencak-mencak memarahinya."Mami nggak nyangka kalau dialah dalang di balik semua ini. Demi apa pun Mami menyesal pernah membiarkan kamu pacaran dengan dia.""Aku yakin, dia pasti mau balas dendam karena dulu kalah ngelawan Om Wira," kata Jennifer mengompori."Dan kali ini nggak akan berubah. Dia akan tetap kalah.""Untung Ci Tami putus sama dia. Aku nggak akan rela ada pengkhianat menyelinap ke dalam keluarga kita. Lagian kenapa sih dulu Ai biarin Ci Tami pacaran sama orang itu?"Maudy memandang ke arah Utami dengan tatapan sebalnya. "Bukannya dibiarin tapi Tami-nya yang nggak mau dilarang. Sekarang lihat sendiri akibatnya kan? Orang yang kamu bela dan kamu cintai mati-matian ternyata adalah orang yang ingin menghancurkan kita. Kalau tahu begini dari dulu Mami nggak akan pernah mengizinkan kamu berhubu