Tidak satu kali pun melintas di benak Joandra bahwa orang yang akan ditemuinya adalah Mahawira, calon mertuanya sendiri. Mana dia tahu kalau Mahawiralah yang membeli perusahaan tersebut. Namun bukan berarti membuat niatnya jadi surut. Sembari menepis keterkejutannya Joandra mengayunkan kaki mendekati pria itu. Dia duduk di kursi yang telah disediakan untuknya.
"Sore, Om, saya nggak tahu kalau Om yang membeli perusahaan ini." Itu kalimat pertama yang Joandra sampaikan setelah mendarat dengan sempurna di kursi.
"Tidak apa-apa." Mahawira tersenyum. "Mau minum apa, Jo?" sambung lelaki itu bersikap seakan sedang menyambut kekasih anaknya di rumah.
Kedatangan Joandra jelas bukan untuk bertamu. Dia mewakili banyak suara yang menginginkan hak mereka.
"Maaf, Om, saya ingin membicarakan mengenai tuntutan para mantan karyawan. Mereka meminta agar uang pesangon dibayarkan. Dalam hal ini saya mewakili mereka untuk bicara," ucap Joandra sopan menuturkan maksudnya.
Mahawira mengangguk-angguk yang menandakan bahwa pria itu memahami.
"Om mengerti, Joandra. Om ikut prihatin. Tapi Om tidak dapat berbuat apa-apa."
"Maksud Om dengan tidak dapat berbuat apa-apa?" Joandra ingin Mahawira memperjelas ucapannya. Bagaimana mungkin pria itu tidak dapat melakukan apa pun sedangkan tampuk kekuasaan ada di tangannya.
"Urusan karyawan sudah selesai dengan pemilik yang lama. Kalaupun ada yang belum beres, itu bukan tanggung jawab manajemen yang baru. Kami tidak tahu apa-apa." Mahawira mengembangkan kedua tangannya ke udara.
"Nggak bisa begitu, Om," jawab Joandra tidak terima. "Dengan membeli perusahaan ini artinya Om juga mengambil alih tanggung jawab dari pemilik yang lama, termasuk urusan menyelesaikan kewajiban terhadap karyawan. Salah satunya yang menjadi tuntutan mereka adalah pemberian pesangon."
"Tidak bisa begitu, Jo. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan maka otomatis itu menjadi konsekuensi karyawan. Jangan mau untungnya saja, tapi tidak mau menganggung kerugian."
Joandra tidak habis pikir pada jalan pikiran Mahawira. Tapi ia tahu lelaki itu tidak bodoh. Justru pria itu sangat cerdas. Tentu saja dia tidak ingin rugi.
Masih dengan menyabar-nyabarkan diri Joandra bertahan untuk tetap bersikap sopan. Dia juga merasa perlu untuk berhati-hati menghadapi pria ini karena Mahawira adalah orang tua kekasihnya. Salah-salah, hubungannya dengan Utami yang menjadi taruhan.
"Om, maaf sebelumnya. Tapi tentang untung atau rugi bukanlah menjadi urusan karyawan. Mereka nggak tahu apa-apa. Yang mereka tahu hanya bekerja sebaik mungkin lalu menerima bayaran setiap bulan."
"Kamu salah kalau begitu," tukas Mahawira mengomentari. "Tugas karyawan bukan hanya bekerja. Mereka juga harus siap menanggung segala konsekuensi atas operasional perusahaan. Lagian kalau perusahaan untung besar mereka juga menerima bonus yang jumlahnya tidak sedikit. Jadi kalau perusahaan mengalami kerugian mereka juga harus siap menanggung risikonya."
Ini paham yang salah. Joandra memang bukan anak ekonomi, tapi dia tahu persis bukan begitu konsepnya. Walaupun perusahaan mengalami kerugian namun yang namanya kewajiban harus tetap dibayar.
Joandra masih ingin berargumen ketika Mahawira lebih dulu mengeluarkan suaranya.
"Jo, buat apa sih kamu susah-susah begini? Kamu dapat apa memangnya dari mereka? Dari pada capek-capek kayak gini dan hanya buang-buang energi, lebih baik kamu kerja menjadi pengacara pribadi Om."
Mungkin Mahawira berpikir Joandra bisa disuap. Tapi demi apa pun jawabannya akan tetap sama atas tawaran tersebut. Joandra tidak akan mau menerimanya. Dia tidak ingin menjadi boneka lelaki itu yang bisa diatur dan dimainkan sesuka hati.
"Mereka memang nggak membayar saya, Om. Saya ikhlas membantu mereka."
Mahawira tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Om hargai prinsip kamu. Tapi ingat, Jo, kalau kamu ingin menikahi Utami, banyak hal yang perlu kamu pertimbangkan. Salah satunya adalah, mau kamu kasih makan apa anak Om nanti? Kamu pasti tahu Om tidak akan membiarkan putri Om satu-satunya hidup susah."
Telinga Joandra memerah mendengarnya. Apa yang dikatakan Mahawira tidak salah. Semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak mereka. Sedangkan di mata Mahawira Joandra hanyalah lelaki biasa dengan karir biasa-biasa saja dan penghasilan apa adanya. Tentu saja lelaki itu cemas jika anaknya yang sudah biasa hidup bergelimang harta dan kemewahan tiba-tiba diajak susah.
"Coba kamu pikirkan baik-baik, Jo. Semua ini demi kebaikan kamu juga. Tidak ada ruginya menerima tawaran Om. Om yakin kamu pasti ingin menikahi Utami, kan? Tidak mungkin hubungan kalian begini selamanya. Kalian sudah pacaran terlalu lama, Joandra. Utami pasti menginginkan kepastian dan status yang jelas lebih dari sekadar pacaran."
Ucapan Mahawira berhasil membungkam mulut Joandra. Lelaki muda itu membisu. Dia memang kalah kalau disinggung mengenai masalah finansial yang tidak memadai. Joandra tidak akan memungkiri kalau itu adalah kelemahannya.
Lalu ketika Joandra berpamitan senyum tipis Mahawira mengiringinya. Senyum lelaki itu berubah miring ketika baru saja Joandra membalikkan badannya lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Di depan gedung sana para demonstran masih berunjuk rasa menyuarakan keinginan mereka. Yel-yel yang membakar semangat diteriakkan tanpa henti.
Suara mereka tertangkap telinga Joandra yang membuat hati lelaki itu trenyuh. Orang-orang di sana pasti kecewa karena Joandra pulang tanpa membawa hasil.
Mengeluarkan ponsel dari dalam saku, Joandra menelepon Panji, rekannya dari LBH Justicia yang saat ini memandu para demonstran.
"Iya, Bang?" Panji menjawab.
"Bubar, Ji. Kembali ke markas."
Tidak terdengar jawaban Panji, malah yang semakin jelas adalah suara riuh para demonstran yang tetap penuh semangat meski hari sudah sore. Mereka masih punya waktu setengah jam lagi dari waktu yang diizinkan untuk berdemonstrasi.
"Maksud lo apa, Bang? Kok pulang? Masih setengah enam ini."
"Kita gagal pake pendekatan personal, jadi sekarang pulang."
"Terus gimana? Gue nggak tega sama bapak-bapak ini. Kasihan, Bang. Mana ada yang minjem duit sama gue, mana gue lagi bokek," erang Panji frustasi di tengah riuhnya suara yel-yel yang masih mengudara.
"Lo kasih mereka semangat dulu. Nanti gue pikirin lagi caranya. Dan soal duit mereka butuh berapa? Gue ada tapi nggak banyak."
"Nanti gue tanyain."
Setelah sambungan terputus Joandra mendengar suara Panji melalui pengeras.
"Teman-teman, berhubung sudah sore kita pulang dulu. Besok kita lanjut. Tetap semangat semuanya!!!"
Perlahan keramaian itu menyurut. Massa mundur dengan teratur meski hati mereka bertanya-tanya bagaimana hasil pertemuan Joandra dengan petinggi perusahaan.
Sementara itu polisi yang mengawal demonstrasi akhirnya bisa bernapas lega karena unjuk rasa berlangsung tertib. Tidak ada tindakan anarki seperti yang dikomandokan Joandra.
Beberapa dari petugas tersebut mengenal Joandra karena lelaki muda itu sudah ternama sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak para kaum lemah. Joandra selalu berada di garda terdepan setiap kali ada aksi sejenis.
***
Kawasaki Ninja hitam Joandra berhenti di depan Utami Universe, nama butik milik Utami. Meski orang tuanya memiliki banyak usaha namun Utami memilih untuk membangun usaha sendiri. Perempuan itu sukses dengan bisnis pakaian wanita. Sejujurnya privilege good looking membuat semua jadi gampang. Utami sendiri yang menjadi model barang-barang dagangannya sehingga laku dengan cepat. Dia juga menerima banyak endorse dan sukses menjadi influencer yang berpengaruh. Malah hasil endorse-nya sebulan jauh berkali lipat mengalahkan penghasilan Joandra.
Setelah memarkirkan motornya, Joandra melangkah masuk ke dalam butik. Sepeda motor itu adalah hadiah dari Utami saat Joandra berulang tahun yang kedua puluh lima. Utami memang tidak pernah main-main dengan cintanya pada Joandra.
Joandra bertemu dengan Febi, salah satu pekerja butik.
"Malam, Mas Jo," sapa gadis itu.
"Malam, Feb. Tami ada?"
"Ada tuh, Mas, di ruangannya. Masuk aja, Mas.”
Joandra menaiki tangga menuju lantai dua tempat ruangan Utami berada. Kekasihnya itu sedang sibuk di depan tripod memotret baju-baju endorse-an.
Lama Joandra berdiri di depan pintu menyaksikan Utami yang tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Joandra tidak ingin mengganggu, namun malam ini dia sudah berjanji untuk datang.
Lelaki itu lantas memberi tahu kedatangannya lewat dehaman pelan yang membuat Utami menoleh.
Gadis muda itu melengkungkan bibirnya. Setiap Utami tersenyum maka matanya ikut tersenyum. Manisnya senyuman kekasihnya bagaikan penawar yang menghapus segala rasa lelah Joandra.
Utami mewarisi wajah oriental maminya yang tak kalah cantik darinya. Matanya sipit, hidungnya kecil, bibirnya merah mungil namun sensual. Kadang Joandra tidak habis pikir apa yang Utami lihat darinya. Berbeda dengan Utami yang putih mulus, Joandra bagai terpanggang matahari meski orang-orang bilang dirinya gagah. Namun tetap saja lelaki itu merasa dirinya tidak sebanding dengan Utami yang begitu bening.
"Kirain nggak jadi datang." Utami melangkah mendekat lalu mengecup pipi Joandra.
"Bisa ngamuk tuan putri nanti."
Utami tertawa. "Kamu dari mana?" tanyanya setelah melihat wajah lelah Joandra.
"Dari kantor."
Seharusnya Utami tidak perlu bertanya. Dari mana lagi memangnya kekasihnya itu.
Utami mengeluarkan sari buah dari dalam minibar kemudian duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut dan memberikan sari buah tadi pada Joandra.
Joandra menyesapnya perlahan. Tidak perlu sari buah ini. Hanya dengan melihat wajah Utami dahaganya otomatis berkurang.
"Lagi banyak endorse-an ya?" tanyanya melayangkan pandang pada tumpukan baju-baju di atas meja.
"Lumayan. Ada olshop baru buka, mereka gencar banget promonya. Malah kabarnya sampai ngendorse Luna Maya juga. Aku tuh nggak ngerti deh, kalo udah make Luna Maya kenapa masih ngendorse di aku."
"Luna Maya nggak ada apa-apanya dibanding kamu, Ta," jawab Joandra spontan yang membuat pipi Utami merona.
"Dasar gombal." Gadis itu mencubit mesra lengan Joandra.
Joandra membalas namun bukan dengan cubitan yang sama. Diambilnya tangan gadis itu lalu dikecupnya tak kalah mesra. Segala kepenatan hari ini seakan sirna. Itu semua karena Utami.
"Ta, aku kan udah setor wajah nih. Aku pulang ya?"
"Buru-buru banget? Kamu kan baru datang masa udah pulang?" Utami memprotes. Belum sepuluh menit Joandra di sana malah sudah minta pulang.
"Aku capek banget, Ta. Pengen istirahat."
"Pengen aku temenin istirahatnya?"
"Temenin di mana?"
"Aku ikut ke kosanmu, Jo. Aku nginap di sana ya?"
Joandra tertawa tanpa suara. Bukan hanya sekali dua kali. Sudah sebegitu sering Utami menginap di tempatnya. Dan selama ini aman-aman saja. Mungkin orang tua gadis itu juga tahu, tapi berpura-pura tidak tahu atau mungkin sengaja membiarkan karena pada akhirnya Utami tetap akan menikah dengan Joandra. Entahlah. Joandra juga tidak tahu.
"Nggak apa-apa kalau kamu nginap di kosanku?"
"Ya nggak apa-apalah."
"Om Wira sama Tante Maudy gimana?"
"Mami lagi sibuk ngurus acara apa gitu. Terus Papi juga sibuk sama perusahaan baru."
Jantung Joandra berdetak dua kali lebih cepat. Ucapan kekasihnya mengingatkan pada kejadian tadi sore. Lalu perkataan Mahawira kembali terngiang di telinganya dengan begitu jelas. Tentang penawaran pria itu. Juga tentang peringatannya mengenai hubungan dengan Utami.
"Kamu kenapa sih? Kok serius gitu? Aku kan bukan pertama kali menginap di kos kamu. Aku tinggal bilang menginap di butik. Lagian Mami Papi nggak akan sidak ke sini kok. Aku tuh udah dewasa, Jo." Utami menepuk ringan paha Joandra yang termangu.
"Oh, oke. Mau pergi sekarang atau lanjutin foto-foto dulu?”
“Pergi sekarang aja, kamu kan capek. Itu bisa dilanjutin besok.”
Setelah beres-beres sebentar, keduanya turun ke lantai utama.
“Feb, aku duluan ya, kamu kalo udah ngantuk tutup aja,” kata Utami pada Febi.
“Baik, Ci,” jawab tangan kanannya itu lalu tersenyum singkat pada Joandra yang merangkul punggung Utami.
Dinginnya angin malam menerpa kulit mereka saat sepasang sejoli tersebut keluar dari butik.
“Udah?” Joandra bertanya meyakinkan apa Utami sudah duduk dengan baik dan benar di boncengannya.
“Udah,” jawab Utami lalu memeluk Joandra dari belakang dan merebahkan kepalanya ke punggung lelaki itu.
Joandra mengambil tangan Utami lalu memasukkan tangan halus itu ke balik bajunya. Saat kulit gadis itu dan perutnya bersentuhan seketika darahnya berdesir. Udara malam ini cukup dingin. Namun lelaki itu yakin dia tidak akan kedinginan malam ini. Ada kekasihnya yang siap menghangatkannya kapan saja.
Bersambung~
"Baju yang ini gimana, Sayang?"Utami memiringkan kepalanya, memindai sosok Joandra yang saat ini mengenakan kemeja slim fit dan jeans.Perempuan itu lantas menggeleng. "Terlalu kasual, kurang cocok buat ketemu Mami.""Jadi pake yang mana lagi, Sayang?" erang Joandra frustrasi. Baru kali ini Utami sedemikian concern pada penampilannya. Biasanya mana pernah Utami mengatur. Perempuan itu tidak pernah protes Joandra mau pakai baju apa saja.Sudah berkali-kali Joandra gonta-ganti baju. Tapi tidak ada satu pun yang sesuai di mata Utami. Ada saja kurangnya. Yang terlalu kasual lah, terlalu formal lah, atau tidak terkesan berwibawa.Duduk di pinggir ranjang, Joandra memerhatikan sang kekasih yang sibuk membongkar pakaian di lemari."Jo, coba deh yang ini. Aku rasa yang ini udah pas." Utami memutar tubuh, menunjukkan sebuah baju kaos berwarna broken white, celana chino berwarna khaki, serta sebuah jas semi formal.Joandra tidak langsung memakainya. Dipandanginya sang kekasih hati."Kok nggak
Utami memeluk pinggang Joandra begitu erat selama perjalanan ke rumah laki-laki itu. Malam ini keduanya begitu bahagia."Udah lama banget ya, Jo, kita nggak motoran kayak gini," ujar Utami menempelkan dagunya di atas bahu Joandra."Iya, Sayang." Joandra mengiakan. Dilepaskannya tangan kiri dari stang motor lalu meletakkan di paha Utami. Joandra tidak ingin kehilangan perempuan itu lagi. Sudah cukup deritanya.Dulu saat mereka masih berpacaran Utami lebih suka Joandra membawanya dengan motor ketimbang mobil karena dengan begitu Utami bisa memeluk Joandra dari belakang. Ia juga bisa menyandarkan kepalanya ke punggung laki-laki itu.Sekarang Utami tidak perlu khawatir lagi. Mereka bisa mengulang momen-momen indah itu tanpa batas waktu karena mereka akan bersama selamanya.Setibanya di rumah, mereka menemukan wajah terkejut Ike ketika membuka pintu. Namun segera saja ekspresi perempuan itu berganti dengan binar ceria."Ma, aku mau menepati janjiku. Aku bawa yang terbaik untuk Mama," ucap
Utami tidak tahu dosa sebesar apa yang telah dilakukannya sehingga takdir begitu tega menjungkirbalikkan hidupnya. Seolah semua yang telah dialaminya masih belum cukup, ia masih diuji dengan satu lagi realita pahit. Hari itu juga Utami harus melahirkan anaknya. Bukan hanya menanggung luka batin, Utami juga harus merasakan bagaimana sakitnya diinduksi. Utami terlalu sakit dengan semua itu. Lalu kini ia harus menyaksikan pemakaman anaknya. Menyakitkan ketika ia harus bertemu dengan anaknya di dunia dalam keadaan tidak bernyawa. Sepasang mata Utami mengembun. Rasanya baru beberapa jam lalu dirinya berjuang menahan sakit untuk mengeluarkan anak itu dari rahimnya. Ia pikir tidak ada hal lain yang menyakitkan melebihi diinduksi. Nyatanya ia salah, karena menyaksikan dengan matanya sendiri tubuh mungil itu dikebumikan jauh lebih menyakitkan. Maudy, Magdalena dan kerabat mereka yang lain yang menghadiri pemakaman tersebut tampak bersedih. Orang tua Daniel hampir sama terpukulnya dengan U
Joandra memeriksa ponselnya sekali lagi, memastikan tidak ada pesan dari Utami. Tadi perempuan itu mengatakan sudah di berada di dalam taksi. Sedangkan Joandra sendiri sudah stand by sejak hampir setengah jam yang lalu. Ia membuktikan janjinya benar-benar akan datang untuk makan siang bersama. Joandra tidak ingin membuat Utami menunggu. Apalagi setelah mendengar betapa khawatirnya perempuan itu saat kemarin Joandra menelepon.Menyesap minumannya, Joandra meluruskan pandangan, memerhatikan beberapa orang yang sedang berdendang di depan sana. Restoran tersebut memang menyediakan live music pada hari-hari tertentu.Di pintu masuk restoran Utami berdiri. Matanya mengelana mencari sosok lelaki yang berjanji dengannya. Utami khawatir laki-laki itu tidak datang. Namun ketika matanya menemukan sosok seseorang mengenakan kemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung sesiku, Utami mengembuskan napas lega. Joandra sudah datang dan terlihat sedang fokus menikmati permainan musik yang dibawa
Bagi Utami mendapat kesempatan berduaan dengan Joandra seperti saat ini adalah hal yang selalu diimpi-impikannya sejak lama--ketika dulu ia belum menikah dengan Daniel. Karena setelah menjadi istri pria itu Utami mencoba untuk mengenyahkan Joandra dari hati, pikiran dan apa pun.Siapa yang akan menduga jika setelah tahun demi tahun terlewati Utami bukan hanya sekadar bertemu dengan Joandra, tetapi juga memiliki kesempatan untuk duduk berdua seperti saat ini. Meskipun situasinya terasa canggung.Tidak ada seorang pun yang berinisiatif membuka pembicaraan. Utami tidak tahu harus membicarakan apa. Begitu pun dengan Joandra yang bingung harus memulai semuanya dari mana. Tapi saat kemudian teringat belum tahu alamat pasti tujuan mereka Joandra terpaksa bertanya."Ta, ini kita ke dokter yang di mana?"Utami menyebutkan dengan jelas nama sang obgyn serta alamat lengkapnya yang menjadi pembuka obrolan-obrolan mereka selanjutnya."Ke sana biasanya sekali berapa, Ta?""Normalnya sih sekali sebu
Suasana pemakaman Daniel di San Diego Hills diwarnai oleh tangis dan air mata dari keluarga yang ditinggalkan.Magdalena pingsan berkali-kali. Kenyataan yang mereka hadapi begitu berat untuk mereka terima.Tidak seorang pun menyangka bahwa Daniel akan meninggal di usia yang masih sangat muda dengan cara yang teramat dramatis. Lebih menyedihkannya lagi adalah karena pria itu meninggalkan seorang istri yang tidak ia ketahui sedang mengandung anaknya.Para pelayat datang dari berbagai kalangan. Mulai dari keluarga kedua belah pihak, para kolega, teman, sahabat, tetangga, hingga sekadar kenalan.Satu di antara banyak pelayat tersebut adalah Joandra.Joandra datang bersama teman-teman advokat serta alumni Fakultas Hukum dulu.Dari tempatnya saat ini Joandra menyaksikan Utami. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Meski demikian Utami adalah yang paling tegar di antara lainnya meski saat ini keadaannyalah yang paling menyedihkan--ditinggalkan suami saat sedang mengandung. Na