Beranda / Romansa / Mencintai Musuh Ayahku / Wanita Penghangat Ranjang

Share

Wanita Penghangat Ranjang

Penulis: Zizara Geoveldy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 12:56:07

Tidak satu kali pun melintas di benak Joandra bahwa orang yang akan ditemuinya adalah Mahawira, calon mertuanya sendiri. Mana dia tahu kalau Mahawiralah yang membeli perusahaan tersebut. Namun bukan berarti membuat niatnya jadi surut. Sembari menepis keterkejutannya Joandra mengayunkan kaki mendekati pria itu. Dia duduk di kursi yang telah disediakan untuknya.

"Sore, Om, saya nggak tahu kalau Om yang membeli perusahaan ini." Itu kalimat pertama yang Joandra sampaikan setelah mendarat dengan sempurna di kursi.

"Tidak apa-apa." Mahawira tersenyum. "Mau minum apa, Jo?" sambung lelaki itu bersikap seakan sedang menyambut kekasih anaknya di rumah.

Kedatangan Joandra jelas bukan untuk bertamu. Dia mewakili banyak suara yang menginginkan hak mereka.

"Maaf, Om, saya ingin membicarakan mengenai tuntutan para mantan karyawan. Mereka meminta agar uang pesangon dibayarkan. Dalam hal ini saya mewakili mereka untuk bicara," ucap Joandra sopan menuturkan maksudnya.

Mahawira mengangguk-angguk yang menandakan bahwa pria itu memahami.

"Om mengerti, Joandra. Om ikut prihatin. Tapi Om tidak dapat berbuat apa-apa."

"Maksud Om dengan tidak dapat berbuat apa-apa?" Joandra ingin Mahawira memperjelas ucapannya. Bagaimana mungkin pria itu tidak dapat melakukan apa pun sedangkan tampuk kekuasaan ada di tangannya.

"Urusan karyawan sudah selesai dengan pemilik yang lama. Kalaupun ada yang belum beres, itu bukan tanggung jawab manajemen yang baru. Kami tidak tahu apa-apa." Mahawira mengembangkan kedua tangannya ke udara.

"Nggak bisa begitu, Om," jawab Joandra tidak terima. "Dengan membeli perusahaan ini artinya Om juga mengambil alih tanggung jawab dari pemilik yang lama, termasuk urusan menyelesaikan kewajiban terhadap karyawan. Salah satunya yang menjadi tuntutan mereka adalah pemberian pesangon."

"Tidak bisa begitu, Jo. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan maka otomatis itu menjadi konsekuensi karyawan. Jangan mau untungnya saja, tapi tidak mau menganggung kerugian."

Joandra tidak habis pikir pada jalan pikiran Mahawira. Tapi ia tahu lelaki itu tidak bodoh. Justru pria itu sangat cerdas. Tentu saja dia tidak ingin rugi.

Masih dengan menyabar-nyabarkan diri Joandra bertahan untuk tetap bersikap sopan. Dia juga merasa perlu untuk berhati-hati menghadapi pria ini karena Mahawira adalah orang tua kekasihnya. Salah-salah, hubungannya dengan Utami yang menjadi taruhan.

"Om, maaf sebelumnya. Tapi tentang untung atau rugi bukanlah menjadi urusan karyawan. Mereka nggak tahu apa-apa. Yang mereka tahu hanya bekerja sebaik mungkin lalu menerima bayaran setiap bulan."

"Kamu salah kalau begitu," tukas Mahawira mengomentari. "Tugas karyawan bukan hanya bekerja. Mereka juga harus siap menanggung segala konsekuensi atas operasional perusahaan. Lagian kalau perusahaan untung besar mereka juga menerima bonus yang jumlahnya tidak sedikit. Jadi kalau perusahaan mengalami kerugian mereka juga harus siap menanggung risikonya."

Ini paham yang salah. Joandra memang bukan anak ekonomi, tapi dia tahu persis bukan begitu konsepnya. Walaupun perusahaan mengalami kerugian namun yang namanya kewajiban harus tetap dibayar.

Joandra masih ingin berargumen ketika Mahawira lebih dulu mengeluarkan suaranya.

"Jo, buat apa sih kamu susah-susah begini? Kamu dapat apa memangnya dari mereka? Dari pada capek-capek kayak gini dan hanya buang-buang energi, lebih baik kamu kerja menjadi pengacara pribadi Om."

Mungkin Mahawira berpikir Joandra bisa disuap. Tapi demi apa pun jawabannya akan tetap sama atas tawaran tersebut. Joandra tidak akan mau menerimanya. Dia tidak ingin menjadi boneka lelaki itu yang bisa diatur dan dimainkan sesuka hati.

"Mereka memang nggak membayar saya, Om. Saya ikhlas membantu mereka."

Mahawira tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Om hargai prinsip kamu. Tapi ingat, Jo, kalau kamu ingin menikahi Utami, banyak hal yang perlu kamu pertimbangkan. Salah satunya adalah, mau kamu kasih makan apa anak Om nanti? Kamu pasti tahu Om tidak akan membiarkan putri Om satu-satunya hidup susah."

Telinga Joandra memerah mendengarnya. Apa yang dikatakan Mahawira tidak salah. Semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak mereka. Sedangkan di mata Mahawira Joandra hanyalah lelaki biasa dengan karir biasa-biasa saja dan penghasilan apa adanya. Tentu saja lelaki itu cemas jika anaknya yang sudah biasa hidup bergelimang harta dan kemewahan tiba-tiba diajak susah.

"Coba kamu pikirkan baik-baik, Jo. Semua ini demi kebaikan kamu juga. Tidak ada ruginya menerima tawaran Om. Om yakin kamu pasti ingin menikahi Utami, kan? Tidak mungkin hubungan kalian begini selamanya. Kalian sudah pacaran terlalu lama, Joandra. Utami pasti menginginkan kepastian dan status yang jelas lebih dari sekadar pacaran."

Ucapan Mahawira berhasil membungkam mulut Joandra. Lelaki muda itu membisu. Dia memang kalah kalau disinggung mengenai masalah finansial yang tidak memadai. Joandra tidak akan memungkiri kalau itu adalah kelemahannya.

Lalu ketika Joandra berpamitan senyum tipis Mahawira mengiringinya. Senyum lelaki itu berubah miring ketika baru saja Joandra membalikkan badannya lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Di depan gedung sana para demonstran masih berunjuk rasa menyuarakan keinginan mereka. Yel-yel yang membakar semangat diteriakkan tanpa henti.

Suara mereka tertangkap telinga Joandra yang membuat hati lelaki itu trenyuh. Orang-orang di sana pasti kecewa karena Joandra pulang tanpa membawa hasil.

Mengeluarkan ponsel dari dalam saku, Joandra menelepon Panji, rekannya dari LBH Justicia yang saat ini memandu para demonstran.

"Iya, Bang?" Panji menjawab.

"Bubar, Ji. Kembali ke markas."

Tidak terdengar jawaban Panji, malah yang semakin jelas adalah suara riuh para demonstran yang tetap penuh semangat meski hari sudah sore. Mereka masih punya waktu setengah jam lagi dari waktu yang diizinkan untuk berdemonstrasi.

"Maksud lo apa, Bang? Kok pulang? Masih setengah enam ini."

"Kita gagal pake pendekatan personal, jadi sekarang pulang."

"Terus gimana? Gue nggak tega sama bapak-bapak ini. Kasihan, Bang. Mana ada yang minjem duit sama gue, mana gue lagi bokek," erang Panji frustasi di tengah riuhnya suara yel-yel yang masih mengudara.

"Lo kasih mereka semangat dulu. Nanti gue pikirin lagi caranya. Dan soal duit mereka butuh berapa? Gue ada tapi nggak banyak."

"Nanti gue tanyain."

Setelah sambungan terputus Joandra mendengar suara Panji melalui pengeras.

"Teman-teman, berhubung sudah sore kita pulang dulu. Besok kita lanjut. Tetap semangat semuanya!!!"

Perlahan keramaian itu menyurut. Massa mundur dengan teratur meski hati mereka bertanya-tanya bagaimana hasil pertemuan Joandra dengan petinggi perusahaan.

Sementara itu polisi yang mengawal demonstrasi akhirnya bisa bernapas lega karena unjuk rasa berlangsung tertib. Tidak ada tindakan anarki seperti yang dikomandokan Joandra.

Beberapa dari petugas tersebut mengenal Joandra karena lelaki muda itu sudah  ternama sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak para kaum lemah. Joandra selalu berada di garda terdepan setiap kali ada aksi sejenis.

***

Kawasaki Ninja hitam Joandra berhenti di depan Utami Universe, nama butik milik Utami. Meski orang tuanya memiliki banyak usaha namun Utami memilih untuk membangun usaha sendiri. Perempuan itu sukses dengan bisnis pakaian wanita. Sejujurnya privilege good looking membuat semua jadi gampang. Utami sendiri yang menjadi model barang-barang dagangannya sehingga laku dengan cepat. Dia juga menerima banyak endorse dan sukses menjadi influencer yang berpengaruh. Malah hasil endorse-nya sebulan jauh berkali lipat mengalahkan penghasilan Joandra.

Setelah memarkirkan motornya, Joandra melangkah masuk ke dalam butik. Sepeda motor itu adalah hadiah dari Utami saat Joandra berulang tahun yang kedua puluh lima. Utami memang tidak pernah main-main dengan cintanya pada Joandra.

Joandra bertemu dengan Febi, salah satu pekerja butik.

"Malam, Mas Jo," sapa gadis itu.

"Malam, Feb. Tami ada?"

"Ada tuh, Mas, di ruangannya. Masuk aja, Mas.”

Joandra menaiki tangga menuju lantai dua tempat ruangan Utami berada. Kekasihnya itu sedang sibuk di depan tripod memotret baju-baju endorse-an.

Lama Joandra berdiri di depan pintu menyaksikan Utami yang tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Joandra tidak ingin mengganggu, namun malam ini dia sudah berjanji untuk datang.

Lelaki itu lantas memberi tahu kedatangannya lewat dehaman pelan yang membuat Utami menoleh.

Gadis muda itu melengkungkan bibirnya. Setiap Utami tersenyum maka matanya ikut tersenyum. Manisnya senyuman kekasihnya bagaikan penawar yang menghapus segala rasa lelah Joandra.

Utami mewarisi wajah oriental maminya yang tak kalah cantik darinya. Matanya sipit, hidungnya kecil, bibirnya merah mungil namun sensual. Kadang Joandra tidak habis pikir apa yang Utami lihat darinya. Berbeda dengan Utami yang putih mulus, Joandra bagai terpanggang matahari meski orang-orang bilang dirinya gagah. Namun tetap saja lelaki itu merasa dirinya tidak sebanding dengan Utami yang begitu bening.

"Kirain nggak jadi datang." Utami melangkah mendekat lalu mengecup pipi Joandra.

"Bisa ngamuk tuan putri nanti."

Utami tertawa. "Kamu dari mana?" tanyanya setelah melihat wajah lelah Joandra.

"Dari kantor."

Seharusnya Utami tidak perlu bertanya. Dari mana lagi memangnya kekasihnya itu.

Utami mengeluarkan sari buah dari dalam minibar kemudian duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut dan memberikan sari buah tadi pada Joandra.

Joandra menyesapnya perlahan. Tidak perlu sari buah ini. Hanya dengan melihat wajah Utami dahaganya otomatis berkurang.

"Lagi banyak endorse-an ya?" tanyanya melayangkan pandang pada tumpukan baju-baju di atas meja.

"Lumayan. Ada olshop baru buka, mereka gencar banget promonya. Malah kabarnya sampai ngendorse Luna Maya juga. Aku tuh nggak ngerti deh, kalo udah make Luna Maya kenapa masih ngendorse di aku."

"Luna Maya nggak ada apa-apanya dibanding kamu, Ta," jawab Joandra spontan yang membuat pipi Utami merona.

"Dasar gombal." Gadis itu mencubit mesra lengan Joandra.

Joandra membalas namun bukan dengan cubitan yang sama. Diambilnya tangan gadis itu lalu dikecupnya tak kalah mesra. Segala kepenatan hari ini seakan sirna. Itu semua karena Utami.

"Ta, aku kan udah setor wajah nih. Aku pulang ya?"

"Buru-buru banget? Kamu kan baru datang masa udah pulang?" Utami memprotes. Belum sepuluh menit Joandra di sana malah sudah minta pulang.

"Aku capek banget, Ta. Pengen istirahat."

"Pengen aku temenin istirahatnya?"

"Temenin di mana?"

"Aku ikut ke kosanmu, Jo. Aku nginap di sana ya?"

Joandra tertawa tanpa suara. Bukan hanya sekali dua kali. Sudah sebegitu sering Utami menginap di tempatnya. Dan selama ini aman-aman saja. Mungkin orang tua gadis itu juga tahu, tapi berpura-pura tidak tahu atau mungkin sengaja membiarkan karena pada akhirnya Utami tetap akan menikah dengan Joandra. Entahlah. Joandra juga tidak tahu.

"Nggak apa-apa kalau kamu nginap di kosanku?"

"Ya nggak apa-apalah."

"Om Wira sama Tante Maudy gimana?"

"Mami lagi sibuk ngurus acara apa gitu. Terus Papi juga sibuk sama perusahaan baru."

Jantung Joandra berdetak dua kali lebih cepat. Ucapan kekasihnya mengingatkan pada kejadian tadi sore. Lalu perkataan Mahawira kembali terngiang di telinganya dengan begitu jelas. Tentang penawaran pria itu. Juga tentang peringatannya mengenai hubungan dengan Utami.

"Kamu kenapa sih? Kok serius gitu? Aku kan bukan pertama kali menginap di kos kamu. Aku tinggal bilang menginap di butik. Lagian Mami Papi nggak akan sidak ke sini kok. Aku tuh udah dewasa, Jo." Utami menepuk ringan paha Joandra yang termangu.

"Oh, oke. Mau pergi sekarang atau lanjutin foto-foto dulu?”

“Pergi sekarang aja, kamu kan capek. Itu bisa dilanjutin besok.”

Setelah beres-beres sebentar, keduanya turun ke lantai utama.

“Feb, aku duluan ya, kamu kalo udah ngantuk tutup aja,” kata Utami pada Febi.

“Baik, Ci,” jawab tangan kanannya itu lalu tersenyum singkat pada Joandra yang merangkul punggung Utami.

Dinginnya angin malam menerpa kulit mereka saat sepasang sejoli tersebut keluar dari butik.

“Udah?” Joandra bertanya meyakinkan apa Utami sudah duduk dengan baik dan benar di boncengannya.

“Udah,” jawab Utami lalu memeluk Joandra dari belakang dan merebahkan kepalanya ke punggung lelaki itu.

Joandra mengambil tangan Utami lalu memasukkan tangan halus itu ke balik bajunya. Saat kulit gadis itu dan perutnya bersentuhan seketika darahnya berdesir. Udara malam ini cukup dingin. Namun lelaki itu yakin dia tidak akan kedinginan malam ini. Ada kekasihnya yang siap menghangatkannya kapan saja.

Bersambung~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencintai Musuh Ayahku   Bab 9

    Tiga pasang mata yang lain serentak memandang ke arah pintu menyaksikan aksi Utami. Di saat itulah Joandra menyadari bahwa kedatangannya tidak tepat waktu.“Aku mengganggu?” tanya Joandra setelah Utami berdiri tepat di hadapannya.Kekasihnya itu menggelengkan kepala.“Tadi dua kali aku cari kamu ke butik tapi kata Febi kamu nggak masuk, katanya kamu sakit kepala. Makanya aku ke sini. Masih sakit kepala?”“Udah agak mendingan,” jawab Utami. Dia berbohong karena nyatanya kepalanya bertambah sakit saat ini setelah mengetahui rencana papinya.“Tami, kenapa Joandra nggak disuruh masuk?” Terdengar suara Maudy menyela obrolan mereka.Utami terdiam dan hanya bisa memandangi wajah Joandra. Utami tidak ingin Joandra masuk lalu duduk bersama orang tuanya. Dia tidak ingin Joandra mendapat sikap kasar dari orang tuanya. Dia tidak mau Joandra tersinggung.Tidak mendapat respon dari Utami, Maudy langsung berdiri lalu menghampiri keduanya yang masih berdiri di sisi pintu.“Jo, ayo masuk, kenapa berdi

  • Mencintai Musuh Ayahku   Bab 8

    Utami terbangun dan mendapati hari sudah gelap. Entah berapa lama dirinya tertidur.Tadi siang setelah menangis sepuasnya karena kesal, Utami ketiduran. Sambil menggeliatkan badan dijangkaunya ponsel di nakas. Tadi Utami sengaja mematikannya agar Joandra tidak bisa menghubungi.Apa yang dilakukan Joandra saat ini? Apa lelaki itu tidak merasa bersalah lalu mencoba menghubungi Utami?Ragu sejenak, Utami memutuskan untuk membiarkan ponselnya tetap mati. Kalau Joandra merasa bersalah dia pasti akan mencari Utami ke mana pun.Setelah mandi Utami turun ke lantai utama. Perutnya keroncongan. Dia ingin makan sekarang."Papi mana, Bi?" tanyanya pada pembantu yang sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah itu."Ada di ruang tamu, Non. Sama Ibu juga.""Lagi ada tamu?""Betul, Non. Tadi tidak sengaja Bibi lihat saat mengantar minum. Orangnya cakep, masih muda. Sebelas dua belas sama pacarnya Non." Sang ART bertutur dengan muka penuh binar."Siapa dia, Bi?" tanya Utami penasaran."Bibi juga tidak tah

  • Mencintai Musuh Ayahku   Bab 7

    Utami menahan air matanya agar tidak tumpah. Jalan raya di hadapannya tampak buram. Bulir-bulir bening berdesakan di pelupuknya dan siap jatuh kapan saja. Menyakitkan mengetahui Joandra lebih memilih pekerjaan dan prinsip yang dipertahankan sampai mati ketimbang Utami yang jelas-jelas adalah wanita yang dicintainya. Utami merasa kalah. Ia pikir selama ini dirinya adalah prioritas bagi Joandra. Tapi apa buktinya?Tadi saat Utami bergegas meninggalkan Joandra, laki-laki itu memang mengejarnya sambil memanggil namanya. Namun Utami yang terlanjur kecewa menggas mobilnya sekencang mungkin meninggalkan kantor Joandra. Kantor yang tidak layak disebut sebagai kantor. Tempat tersebut lebih cocok disebut sebagai gudang, ruangan tua tidak berguna atau apa pun yang menyimbolkan bahwa tempat tersebut sangat tidak tepat dijadikan sebagai tempat beraktivitas. Kecil, sempit dan pengap. Beberapa bagian dindingnya bahkan sudah terkelupas.Utami tidak mengerti pada kekasihnya itu. Di saat dia bisa menda

  • Mencintai Musuh Ayahku   Bab 6

    Dengan cepat Joandra memandang ke arah pintu. Bibirnya melengkung memberi senyum. Ditinggalkannya tempat duduk lantas berjalan menyongsong kekasihnya itu."Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Joandra mengecup pipi Utami dengan perasaan sayang. Iya, Joandra memang sesayang itu pada Utami. Hanya Utami yang bertahan lama di hatinya. Bukan karena siapa dan apa yang dimiliki gadis itu. Tapi karena Joandra mencintainya dengan tulus.Namun kali ini reaksi yang didapatkannya tidak seperti biasa. Tidak ada senyum ceria atau kecupan balasan."Gimana mau bilang, dari tadi aku telfon kamu tapi nggak direspon."Joandra spontan meraba saku celananya dengan kedua tangan namun tidak merasakan ada ponselnya di dalam sana. Lelaki itu lantas berjalan menuju meja lalu mencari ponsel di dalam ransel. Benda itu ditemukan dalam keadaan silent. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Utami."Sorry, Ta, sorry, ternyata tadi hpku silent." Joandra mengangkat benda tersebut lantas menunjukkan pada Utami.Utami m

  • Mencintai Musuh Ayahku   Tidak Mungkin

    Dengan refleks Utami mengangkat kepala mendengar nama kekasihnya disebut. “Apa, Pi? Joandra?” “Apa ucapan Papi kurang jelas? Pacar kamu itu melaporkan perusahaan kita. Dia ingin menghancurkan Papi!” beritahu papinya menggebu-gebu. “Nggak mungkin Jo mau menghancurkan Papi. Itu sangat nggak masuk akal,” bantah Utami menyangkal. Dia yakin sekali jika kekasihnya tidak akan melakukan hal konyol tersebut. “Kenapa tidak mungkin? Nyatanya itu terjadi. Dia menuntut perasaan kita agar nama Papi tercoreng, reputasi Papi rusak. Lalu setelahnya apa? Dia tertawa melihat Papi hancur!” Utami menggeleng-gelengkan kepala, tidak sependapat dengan pikiran sang ayah. “Aku nggak yakin kalau itu Jo, Pi. Apa untungnya Jo melaporkan Papi? Jo masih waras. Dia nggak akan mungkin melakukan hal konyol begitu.” Utami terus bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Utami sadar betul dan tahu kekasihnya itu sampai ke akar-akar. Namun, Joandra tidak mungkin berlawanan dengan orang tuanya kan? Joandra tidak akan sen

  • Mencintai Musuh Ayahku   Berita Mengejutkan

    Utami baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Dia bermaksud pergi ke butik lalu beraktivitas seperti biasa. Suasana rumah sangat sepi kala gadis itu melintasi bagian demi bagian. Rumah itu memang selalu sepi. Selain dirinya adalah anak tunggal, kedua orang tuanya juga sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing. Papinya dengan perusahaan yang beranak pinak. Sedangkan maminya dengan usaha franchise makanan yang semakin berkembang dengan pesat.“Iya, Feb, aku masih di rumah, kamu cek stok dulu, nanti kita bicarain.” Utami menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sembari terus melangkahkan kaki.“Tami! Nggak sarapan dulu?”Utami memandang ke sumber suara. Ternyata maminya ada di ruang makan. Dia yang barusan memanggil Utami.Bukan hanya maminya, namun papinya juga ada di sana. Utami yang tadinya berniat untuk sarapan di butik mengurungkan niat tersebut lalu membelokkan langkah menuju meja makan.“Aku pikir Mami masih di Bandung. Kapan nyampe, Mi?” Utami tanyakan semba

  • Mencintai Musuh Ayahku   Bercinta

    Aromaterapi yang bersumber dari diffuser menyeruak ke udara ketika Joandra membuka pintu rumah. Bukan dirinya, tetapi sang kekasih cantiknyalah yang menyediakan. Joandra hanya tinggal menggunakan apa pun yang Utami sediakan.Utami geleng-geleng kepala ketika masuk ke kamar dan menemukan tempat tidur dalam keadaan berantakan. Utami mendekat lalu mulai membersihkannya.“Sorry, Ta, tadi pagi aku nggak sempat beresin,” ucap Joandra sembari membuka jaket lalu menggantungnya di belakang pintu. Setelahnya laki-laki itu mendekat. Dipeluknya sang kekasih dari belakang. “Percuma kamu beresin, kan mau diberantakin lagi,” bisiknya seduktif di telinga Utami.Gadis itu menggerakkan kepalanya, mencoba memandang Joandra yang saat ini memeluknya dari belakang. Lelaki itu menyambut dengan satu kecupan lembut di bibir Utami.Utami membalikkan badan lalu membalasnya. Berciuman dengan Joandra tidak akan pernah membuatnya bosan.“Dingin nih, Sayang …,” bisik Joandra di sela-sela ciuman mereka.“Aku juga,”

  • Mencintai Musuh Ayahku   Wanita Penghangat Ranjang

    Tidak satu kali pun melintas di benak Joandra bahwa orang yang akan ditemuinya adalah Mahawira, calon mertuanya sendiri. Mana dia tahu kalau Mahawiralah yang membeli perusahaan tersebut. Namun bukan berarti membuat niatnya jadi surut. Sembari menepis keterkejutannya Joandra mengayunkan kaki mendekati pria itu. Dia duduk di kursi yang telah disediakan untuknya."Sore, Om, saya nggak tahu kalau Om yang membeli perusahaan ini." Itu kalimat pertama yang Joandra sampaikan setelah mendarat dengan sempurna di kursi."Tidak apa-apa." Mahawira tersenyum. "Mau minum apa, Jo?" sambung lelaki itu bersikap seakan sedang menyambut kekasih anaknya di rumah.Kedatangan Joandra jelas bukan untuk bertamu. Dia mewakili banyak suara yang menginginkan hak mereka."Maaf, Om, saya ingin membicarakan mengenai tuntutan para mantan karyawan. Mereka meminta agar uang pesangon dibayarkan. Dalam hal ini saya mewakili mereka untuk bicara," ucap Joandra sopan menuturkan maksudnya.Mahawira mengangguk-angguk yang me

  • Mencintai Musuh Ayahku   Kamu Adalah Buah Terlarang

    Tubuh bergelimang peluh itu saling melepas setelah tadi sama-sama memagut. Selanjutnya yang terdengar adalah desah napas yang terengah-engah bersama sensasi luar biasa yang mengantar ke surga dunia.“Capek?”“Sedikit,” pelan suara Utami saat Joandra bertanya sekaligus mengecup dahinya.Joandra tersenyum kemudian merengkuh wanita yang beberapa tahun ini dipacarinya agar berbaring di atas lengannya. Sementara tangannya yang lain menjangkau buku favoritnya—Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie—yang tergeletak di atas nakas. Buku itu sudah lusuh. Beberapa halamannya juga menguning. Terdapat beberapa lipatan di beberapa lembar untuk menandakan poin-poin penting. Sembari mendekap Utami, Joandra membuka halaman terakhir yang dibacanya lalu meneruskan bacaannya.Utami hanya bisa memandang dalam diam tingkah kekasihnya. Entah sudah berapa puluh kali Joandra menamatkan buku tersebut, tapi lelaki itu tidak pernah bosan. Setelah membaca keseluruhan isi buku itu sampai selesai maka Joandra

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status