Share

3. Sehari menjadi istri

Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk berpikir, sampai akhirnya aku menyetujui proposal Laskar. Hanya butuh sehari saja untuk Laskar mempersiapkan pesta pernikahan dan kami menikah tepat tanggal 29 bulan ini.

Katanya, hari pernikahan adalah hari yang paling membahagiakan bagi seluruh wanita di dunia. Dan ternyata itu memang benar! Aku merasakan kebahagiaan itu.

Dinikahi oleh pria tampan, kaya, dan memiliki segudang prestasi. Terlebih aku sudah memujanya diam-diam sejak 6 tahun yang lalu di rumah sakit, saat pertama kali bertemu dengannya. Cintaku padanya adalah cinta pada pandangan pertama.

Pernikahan ini dilakukan secara tertutup, hanya keluarga dari nenek Salima dan ayahku saja yang menghadiri.

Sebenarnya aku merasa ada sesuatu yang janggal, sekelas Bimantara, keluarga terkaya di kota ini melaksanakan pernikahan dengan tertutup bahkan tidak ada media sama sekali. Bukannya orang-orang kaya cenderung suka memamerkannya? Atau mungkin keluarga Bimantara itu berbeda dengan keluarga kaya lainnya.

“Aku ada rapat di kantor malam ini, maaf tidak bisa menemanimu, Sayang….” Laskar berkata padaku tepat setelah pesta berakhir. Padahal aku sudah mengharapkan malam romantis berdua dengannya.

“O-oh, baiklah….” aku tak ada pilihan lain, meski begitu sedikit kecewa.

Laskar mengecup puncak kepalaku sambil mengusapnya, lalu pergi. Kecupannya membuat hatiku menghangat, tapi seketika berubah menjadi dingin. Aku sendirian di rumah besar ini.

Sebenarnya rumah ini punya 4 pembantu, yakni Mba Tarmi, Mba Yuni, Yuda, dan Pak Ismam. Namun mereka tidak tinggal di sini, tiap jam 5 pagi mereka akan datang dan akan pulang di jam 6 sore.

Karena hari ini ada acara besar, untuk sementara Laskar menyuruh Mba Tarmi tidur di sini sekaligus untuk melayaniku. Dia juga yang mengganti spreinya dengan yang baru, menyiapkan bak mandi dengan air hangat, dan menyiapkan makanan juga vitamin.

"Nyonya sudah mandi?" tanya Mba Tarmi setelah masuk ke kamarku.

"Sudah, Mba."

"Nyonya capek banget, ya? Sini saya pijitin!" tawar Mba Tarmi.

"Boleh deh, Mba!" karena ditawarkan pijit gratis, aku tak akan menolak. Apalagi pijitan mba Tarmi membuatku rileks.

"Mba Tarmi udah lama kerja di sini?" tanyaku memulai pembicaraan sambil menikmati enaknya pijitan.

"Baru 5 bulan yang lalu," jelasnya.

"Oh ya?"

Mba Tarmi mengangguk.

"Aku kira Mba Tarmi bekerja di sini sudah lama loh."

"Saya dan ketiga pembantu di sini direkrut tuan Laskar semenjak Tuan menempati rumah ini," jelasnya.

"Jadi rumah ini baru?"

"Iya!" Mba Tarmi mengangguk. 

Aku berpikir, ini ada hubungannya dengan mengakuisisi Grandmath. Laskar kembali ke kota ini untuk pekerjaan, dan tentu saja ia membutuhkan tempat tinggal yang baru.

"Menurut Mba Tarmi bagaimana Tuan Laskar?" tanyaku lagi dengan antusias.

Gerakan tangannya mulai luwes memijat area betisku. "Tuan Laskar sebenarnya sangat baik, Nyonya, hanya saja beliau jarang bicara," ucap Mba Tarmi agak berbisik.

"Jarang bicara?" reflek alisku bertautan. Antusiasme seketika berubah menjadi keheranan.

Mengenai sikap Laskar yang sekarang menjadi pria ramah dan lembut, berhasil membuat bibirku melengkung ke atas. Entah mengapa hatiku tiba-tiba membuncah bahagia.

Mungkin bagi pelayan seperti Mba Tarmi, Laskar memang jarang bicara. Jadi, bisa jadi Laskar hanya menampilkan senyum dan kelembutannya itu padaku saja bukan? Bisa jadi dia benar-benar menyukaiku di waktu yang sedikit terlambat.

***

"Aku akan mencekik lehermu sampai kamu mati! Gadis sepertimu tidak pantas menerima cinta dariku!" 

Napasku tercekat saat tiba-tiba saat mataku terjaga, seseorang masuk ke kamar dan langsung mencekik leherku.

"Si-siapa k-kamu?" tanyaku dengan suara tercekat. Sosok itu berdiri menjulang di hadapanku, lalu dia menindih tubuhku di antara kakinya.

Dia tidak menjawab, malah semakin kuat mencekikku.

“T-tolong…”

Aku berusaha teriak, tapi cengkraman tangannya semakin kuat. Aku tidak kuat lagi untuk bernapas. Leherku sakit dan dadaku mulai sesak.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kananku, lalu disusul satu tamparan di pipi kiriku.

Hahhh….

Aku pun terjaga dalam kondisi sebenarnya. Bangun dalam keadaan takut setengah mati dan napas yang tersengal-sengal. Rambut berantakan dan lepek dipenuhi peluh yang bercucuran. 

Aku cepat tersadar bahwa tadi itu cuma mimpi, tapi saat kusentuh pipiku rasanya sangat panas seperti habis ditampar sungguhan.

"Apa tadi aku bermimpi? Tapi kenapa terasa sangat nyata?" tanyaku dengan pikiran yang melayang-layang. 

Kemudian aku menoleh ke arah jam analog yang ada di meja, lalu beralih ke sisi kasur yang kosong di sebelahku.

"Sekarang jam 4 subuh, tapi Laskar belum pulang." rasanya sangat sedih saat melewati malam pertama hanya seorang diri.

Aku pun keluar dari kamar dan mencoba berkeliling rumah menghilangkan debaran mengerikan ini. Saat aku baru keluar kamar dan menutup pintu, samar-samar aku mendengar suara seseorang sedang berbicara.

Karena penasaran, akhirnya aku turun ke lantai bawah. Ternyata benar ada orang di sana, orang itu Laskar yang sedang duduk menyendiri sambil memainkan handphonenya. Aku bisa melihat kegusaran di wajahnya yang begitu jelas karena tersinari layar handphone yang menyala.

"Pak Laskar? Kamu baru pulang?" tanyaku seraya berjalan menghampirinya.

"Sabrina? Oh ya aku baru saja pulang dari kantor!" gelagatnya seperti orang yang terkejut dan belingsatan.

"Selarut ini?" 

"Iya! Biasalah pekerjaanku sangat banyak, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja," jawabnya sambil menggaruk tengkuk.

Tatapanku redup, aku iba melihatnya begitu lelah. Apakah tugas seorang CEO seberat itu sampai banyak menyita waktunya?

"Kenapa kamu terbangun?" tanyanya, kedua alis tebalnya bertaut.

"Aku mimpi buruk, jadi aku bangun, berniat keliling rumah, eh malah lihat Pak Laskar ada di sini," jelasku kikuk.

"Oh begitu."

"Uhmm Pak Laskar aku ingin membuat–"

"Sabrina aku mau ke kamarku dulu ya, sampai bulan depan kamu masih cuti jadi gunakan waktumu dengan baik, aku pergi dulu."

Laskar memotong ucapanku dan pergi begitu saja tanpa mendengarkan ucapanku selanjutnya. Padahal aku berniat ingin membuatkannya makanan karena berpikir dia sangat lapar setelah bekerja semalaman.

Aku kecewa tapi aku tak ingin egois. Aku mengikuti Laskar sampai ke lantai dua, nyatanya dia tidak masuk ke kamarku, tapi masuk ke kamar lain. 

Aku mencoba berpikir positif, mungkin saja Laskar belum terbiasa privasinya dicampuri oleh orang baru sepertiku. Jadi dia tidur di kamarnya sendiri.

Sekitar jam 6 pagi, aku berniat menemui Laskar di kamarnya. Bermaksud ingin melakukan baktiku sebagai istri seperti menyiapkan air dalam bak mandi dan menyiapkan bajunya. 

Saat aku baru mengetuk pintu kamarnya. Sejurus pintu itu terbuka dan muncullah Laskar dalam keadaan rapi mengenakan setelan jas kantornya. Aku pun kembali mengurungkan niatku.

"Sabrina? Kenapa kamu di depan kamarku?" Laskar bertanya begitu. Kenapa rasanya aku seperti orang aneh yang sedang mengintip di depan kamarnya.

"Eh, Pak Laskar! Tidak! Aku cuma lewat sini! Mau ke bawah!" duh rasanya aku terlalu kentara sampai berbicara kikuk begini.

Laskar tersenyum melihat tingkahku. Mungkinkah aku kelihatan bodoh?

"Aku kira anda bakal cuti juga." akhirnya kalimat ini terucap juga dengan nada manja.

"Tidak bisa, Sabrina, tidak ada orang yang mampu menghandle pekerjaanku," ujarnya.

"Jadi kapan anda punya waktu luang?"

"Kapan-kapan, oke?"

Bibirku manyun layaknya orang merajuk. Aku sebal padanya, mana mungkin tak ada yang bisa menghandle untuk sehari saja. Lalu apakah selama ini karyawan di kantornya memakan gaji buta?

Laskar tersenyum manis sambil mengacak rambutku. Duh! Kenapa hatiku ikut teracak-acak? Laskar selalu bisa membuatku jatuh cinta padanya.

"Nikmati waktumu ya!"

Laskar melenggang pergi, aku mengikutinya sampai ke bawah menuju pintu utama. Mba Yuni berlari menyusul Laskar menyerahkan tas bekal padanya. Padahal, harusnya itu yang kulakukan sebagai seorang istri.

Asisten pribadinya yang bernama Antony sudah berdiri menyambutnya di depan teras. Saat setelah Laskar berjalan, Antony baru membuntutinya. Seorang supir sudah berdiri di dekat mobil dan siap membukakan pintu untuknya.

Aku melambaikan tangan padanya sambil berteriak "Hati-hati!", namun dengan acuh tak acuh Laskar buru-buru masuk ke dalam mobil. Bahkan sampai mobil itu keluar gerbang pun dia tak membalas lambaianku.

Meskipun aku bahagia akhirnya bisa menikah dengan pria yang aku sukai. Namun aku hanya bisa menyesali diriku sebagai istri yang tidak berguna dalam melayaninya, bahkan di hari pertamaku menjadi istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status