Share

2. Proposal pernikahan

"Kalian lagi! Kalian lagi! Apa kalian tidak serius bekerja?! Bisa-bisanya kalian ribut di hadapan Pak Presdir! Apa kalian ingin dipecat?!"

Aku buru-buru menghadap komputer lagi, dan Tristan kabur begitu saja dari mejaku.

Selesai mengancam, Pak Dimas menyusul Laskar dan sekretarisnya yang berjalan mendahului. Dua kali aku kena marah Pak Manajer hari ini.

Waktu berjalan lambat setelah itu, sementara pekerjaanku tidak ada habisnya. Sepertinya aku terlalu fokus dengan pekerjaanku sampai lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 ketika aku mematikan komputer.

Segera aku membereskan barang-barangku yang ada di meja, lalu keluar dari kantor divisiku, dan berjalan menuju lift. Situasi sekitar sudah nampak sepi. Di depan lift pun hanya ada diriku seorang. Tak lama, pintu lift mulai terbuka, dan aku segera masuk. 

Namun, saat pintu lift hampir tertutup, sebuah tangan kekar terjulur dan seseorang berusaha masuk. Aku sedikit tersentak kaget. Kemunculan orang itu membuat aku refleks menghindar dan menepi.

Aku meneguk air liur. Kenapa kami harus bertemu lagi di sini?

"Tak kusangka, ternyata kamu jadi karyawanku sekarang." suara Laskar menyapa ketika kami sudah sama-sama berdiri menghadap pintu lift. Suara yang hampir membuatku goyah.

"S-sepertinya ini cuma kebetulan," jawabku sungkan.

‘Bukannya dia pulang lebih awal? Kenapa tiba-tiba ada di sini?’ batinku menggerutu.

"Bukan cuma kebetulan, sepertinya memang Tuhan yang merencanakan." Dia menoleh dari balik bahunya, membuat aku mengangkat kepala.

"Apa maksudnya?" batinku bertanya. Ini bukan lagi kalimat hinaan yang aku dengar seperti dulu.

"Sabrina, sebenarnya aku ingin berterimakasih padamu, karena dulu pernah membantuku merawat Nenek," ucapnya dengan suara lemah.

Alisku berkerut karena tiba-tiba Laskar kembali membahas nenek. "Tidak masalah, Pak. Aku senang membantu Anda. Lagipula itu sudah lama dan Nenek sudah tiada, sebaiknya tidak perlu dibahas."

"Tidak, aku rasa perlu. Aku… yang salah tidak memperhatikan kebaikanmu."

Aku tidak menjawab lagi, hanya melihat angka di lift yang terasa bergerak lambat. Aku mulai resah tak bisa mengendalikan hatiku.

Saat pintu lift terbuka, aku buru-buru keluar berjalan ke lobi. Namun ternyata, karena kaki Laskar yang lebih panjang dari milikku, pria itu dengan cepat bisa menyusulku.

Keluar dari lobi, sebuah mobil Rolls-Royce warna hitam sudah siap di sana. Aku tidak terlalu memperdulikannya, karena mungkin itu mobil Laskar. Benar saja, pria itu segera masuk ke mobil itu begitu sang supir membuka pintu belakang.

Aku hanya memberi salam sejenak, dan kembali berjalan ke arah halte bus, ketika suara Laskar memanggilku.

“Naiklah, ada yang mau kubicarakan denganmu." 

Langkahku berhenti, dan menatapnya yang sudah duduk santai di mobil. “Ada apa?”

“Naik saja dulu.”

Aku menghela napas. "Maaf, Pak. Ini di luar jam kerja saya, selain itu saya tidak punya waktu lagi." 

Aku berusaha menghindar, tapi Laskar sepertinya juga tidak menyerah.

“Ini tentang wasiat Nenek.”

Aku pun bergeming, wasiat nenek yang mana lagi? Ketika dia membicarakan itu, harapan yang sudah kukubur sangat dalam sedikit timbul kembali.

"Sabrina, ini penting, masuklah ke dalam mobil," suruhnya kembali.

Pasrah, aku pun mengikuti kemauannya. Saat melangkahkan sebelah kakiku ke dalam. Jantungku tiba-tiba berdegup cepat, dan mendadak kakiku lemas. 

Wajahku panas bahkan mungkin terlihat merah seperti tomat. Kini isi kepalaku berisik, mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa yang diinginkannya?

"Tolong baca ini." 

Dia menyerahkan map merah itu padaku. Namun fokusku malah teralihkan pada cincin yang melingkar di jari manis nya ketimbang map merah yang dia serahkan.

‘Sepertinya pria ini sudah menikah dengan wanita pilihannya itu,’ batinku bergumam.

Kenapa denganku? Tiba-tiba aku merasa kecewa? Mestinya aku bahagia kan jika dia sudah menikah.

“Sabrina, kenapa diam? Bacalah,” titahnya lembut. 

Suaranya begitu menggetarkan hati ini yang sudah lama menyendiri. Aku pun buru-buru membuka map itu lalu membaca isinya.

Mataku bergulir dari kanan ke kiri dari atas ke bawah. Aku mengernyit setelah berhasil menangkap maksud dari isi berkas ini. 

Di sana tertulis jelas pihak pertama yakni Laskar Bimantara menawarkan pernikahan atas wasiat Nenek Salima dengan beberapa jaminan yang akan diberikan kepada pihak kedua. Bahkan proposal tersebut sudah disahkan oleh notaris dan ditandatangani kedua saksi lainnya. 

Pernikahan yang harusnya terjadi 6 tahun lalu, tapi Laskar baru menginginkannya sekarang? Dulu, aku memang mengharapkan pernikahan dengannya sampai Laskar menolak, tapi kemudian aku bersusah payah memendam keinginan itu. 

"Saya tidak mengerti maksud anda menyerahkan ini kepada saya," aku mengungkapkan isi kepalaku. 

"Kamu tidak mengerti?" tanyanya.

Aku menggeleng bingung.

"Enam tahun lalu, almarhum nenekku menjodohkan kita, apa kamu masih ingat?" tanyanya sambil tersenyum manis.

Aku mengangguk lalu menjawab, "Tentu saja aku masih ingat."

"Bagaimana kalau kita menikah sekarang?"

"A-apa?" Aku melongo tak percaya dihadapkan pertanyaan yang seabsurd itu, melalui mulut Laskar yang notabene tipe manusia serius. 

Ini bagaikan serangan bom yang diledakkan di dalam hatiku dengan tiba-tiba. Sontak saja, jantungku berirama sangat cepat.

“Sabrina… kenapa? Apa kamu sakit? Kenapa tidak menjawab?” Laskar mengguncang bahuku. Netranya yang berwarna kecoklatan memandangku dengan tatapan teduh.

"An-anda serius memintaku menikah denganmu?”

"Iya, kalau bisa secepatnya."

"Apa yang anda katakan itu benar-benar serius?" tanyaku lagi dengan wajah bodoh.

Aku masih belum percaya dengan Laskar. Mengingat sikapnya dulu dengan yang sekarang sangat jauh berbeda.

"Kamu pikir aku orang yang suka main-main?" Laskar menatapku semakin intens.

Segera aku mengalihkan pandangan ini. Semakin lama aku menatap mata Laskar, maka semakin tenggelam hatiku pada perasaan ini. Terlebih, cincin di jari Laskar masih menggangguku sampai sekarang.

Apa Laskar orang yang menawarkan pernikahan kepada gadis lain di belakang istrinya? Aku masih bingung dan terus menatap cincin di jari manisnya itu.

Sejauh yang kukenal, Laskar adalah pria yang sangat rasional, mana mungkin mau mempermainkan pernikahannya. Apa sesuatu terjadi dengan pernikahannya? Apa mungkin mereka sudah cerai? Aku terus menduga-duga.

Mungkin, karena aku terlalu lama menatap jarinya, Laskar jadi paham dengan keraguanku. "Oh, cincin ini? Kamu mengira cincin yang aku pakai ini, cincin pernikahan?”

Aku tersentak, dan berdeham sambil mengalihkan pandangan.

Kudengar, Laskar terkekeh kecil. “Bukan, ini hanya cincin yang aku desain sendiri," jelas Laskar.

"Oh begitu…." suasana mendadak canggung, ternyata aku saja yang berpikiran melenceng.

Sekarang, pikiranku kembali penuh dengan pertanyaan… kenapa dia bersikeras menginginkannya sekarang? Ini sudah 6 tahun berlalu, ibarat nasi bukan lagi menjadi bubur, tapi menjadi basi, apa dia menyesal?

“Kenapa kamu baru melamarku sekarang?” tanyaku akhirnya.

Sekarang, giliran Laskar yang menghela napas. “Butuh waktu lama untukku meyakinkan hatiku. Kau tau kan, dulu aku punya pacar. Dan ketika pacarku mengkhianatiku… di situlah aku teringat kelembutan hatimu saat merawat nenek.”

Ah, aku jadi ingat ucapannya waktu itu. Ya, Laskar memang menolakku mentah-mentah dan kasar. Dia bilang, dia punya pacar yang akan segera dinikahinya, lalu pergi tanpa kabar setelah pemakaman Nenek Sabrina.

Diriku, yang saat itu hanya perawat Nenek Sabrina, tidak bisa berbuat banyak. Status kami sudah berbeda jauh, tentu saja Laskar malu jika menikah denganku. Walaupun rasa cinta ini harus kupendam, aku harus merasa baik-baik saja.

“Dan takdir mempertemukan kita lagi di Grandmath, Sabrina,” lanjut Laskar serta merta menyentuh tanganku.

Matanya seperti memohon. Memohon untuk dikabulkan keinginannya. Aku gelisah melihat tatapan seperti itu. Namun di sisi lain hatiku diliputi rasa bimbang.

"Bolehkah aku meminta waktu untuk berpikir, bagaimanapun ini terlalu mendadak," ujarku meminta waktu.

“Baiklah, aku memberimu waktu sebanyak apapun yang kamu mau. Tapi…” Laskar berbisik di telingaku. 

“Aku bukan orang yang sabar, Sabrina.”

Aku terkesiap lalu menatap ke luar jendela sambil menghembuskan napas panjang. Sikap dan kata-kata Laskar bagaikan serangan di malam gelap. Semuanya membutakan hatiku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status