Share

Bab 7

Author: Isha
Panggilan pertama, Sandi tidak mengangkat.

Panggilan kedua, dia tetap tidak mengangkat.

Kania terus menelepon, hingga panggilan kesembilan, baru akhirnya telepon diangkat.

Mendengar napas Sandi yang tenang dari ujung telepon, Kania teringat waktu SMA dulu, ketika dia difitnah menjiplak dan merasa begitu sendirian, dia juga pernah menelepon Sandi berkali-kali seperti ini.

Waktu itu, Sandi hanya mengatakan satu kalimat: "Jangan takut, ada Om di sini."

Namun kini, dengan tubuh gemetar, Kania bertanya, "Apakah kamu yang berikan draft lukisan itu padanya?"

Tanpa ragu sedikit pun, Sandi mengakui perbuatannya.

"Ya, aku yang memberikannya."

Dari telepon terdengar tarikan napas panjang, suaranya jelas bergetar.

"Kenapa kamu melakukan ini?"

Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya Sandi menjawab.

"Lukisan itu seharusnya nggak dipamerkan di depan umum, apalagi mengatasnamakan kamu. Apa kamu nggak tahu itu?"

Ternyata dia masih takut diketahui orang.

Ternyata dia masih khawatir kalau dia punya perasaan lebih terhadap diriku.

Senyum pahit muncul di bibir Kania, matanya yang merah karena menangis, terpejam.

"Bukan aku yang meniru, tapi Zita. Kamu memberi naskah asliku padanya, sekarang aku nggak bisa menghapus noda plagiarisme itu! Seluruh karierku hancur!"

"Zita hanya khilaf, dia nggak sengaja. Kenapa kamu nggak bisa memaafkannya sekali saja? Awalnya aku ingin kamu belajar melukis hanya untuk mencari hobi, agar perhatianmu teralihkan. Nggak perlu terlalu serius. Lagi pula, aku akan mengurusmu seumur hidup, kamu nggak perlu khawatir soal kehidupan."

Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup telepon.

Kania masih memegang ponsel, matanya tertuju pada cermin di depan.

Melihat wajahnya yang sembab, matanya merah dan lelah, dia merasa seperti tidak bisa mengenali dirinya sendiri.

Apakah ini dirinya?

Dia juga tidak bisa mengenali Sandi lagi.

Apakah Sandi masih paman yang akan mengorbankan dunia demi dirinya meskipun dunia menolaknya?

Sekarang, dia sudah tidak bisa melihat semuanya dengan jelas.

Setelah pameran lukisannya gagal, Kania makin mantap untuk mengembalikan semua uang yang diberikan Sandi.

Beberapa temannya mengenalkan pekerjaan sampingan yang bisa menghasilkan uang, seperti menjadi caddy di lapangan golf, menjadi pelayan di klub eksklusif, dan lainnya.

Agar bisa segera mendapatkan uang, pekerjaan apa pun dia ambil selama bisa menghasilkan. Dia pergi pagi, pulang malam, nyaris tidak pernah terlihat di rumah.

Satu minggu menjelang keberangkatannya ke luar negeri, Kania akhirnya berhasil mengumpulkan sisa uang yang diperlukan.

Dia mengenakan pakaian pelayan dan membuka pintu ruang VIP, bersiap untuk menjalani shift terakhir.

Tidak disangka, pada hari terakhir bekerja, dia bertemu kenalan lama.

Sejumlah pria dan wanita berkumpul, sepertinya sedang bermain sesuatu.

Pada putaran pertama, Sandi kalah.

Pembawa acara menyebutkan hukumannya di depan semua orang.

"Ciuman dengan lawan jenis yang disukai selama tiga menit!"

Seketika seluruh ruangan menjadi riuh, semua mata tertuju pada Zita yang wajahnya tersipu malu.

Namun, Sandi langsung berdiri, melewati kerumunan, dan berjalan keluar, langkah demi langkah, hingga akhirnya dia tiba di depan Kania.

Semua orang di ruang VIP terdiam, tercengang.

Saat semua orang bingung dengan apa yang terjadi, Sandi akhirnya mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Kania.

"Pegang ini, rekam semuanya."

Kania merasakan firasat buruk, jantungnya bergetar.

Namun, saat itu dia menyadari bahwa rasa sakit yang dulu dia rasakan kini tidak seberapa. Mungkin karena dia benar-benar sudah memutuskan untuk melepaskan, jadi tidak ada lagi yang bisa menyakitinya.

Dengan ekspresi tenang, dia menerima ponsel itu, mencari aplikasi kamera dan mulai merekam.

Kualitas gambar di ponsel Sandi memang bagus. Meskipun pencahayaannya redup, Kania masih bisa melihat gambar dengan jelas.

Sandi kembali ke tempat duduknya, merangkul Zita, dan mencium bibirnya.

Pada bagian atas layar, tertera waktu.

Tiga menit, 180 detik, tepat—tidak lebih, tidak kurang.

Namun, video itu tidak berhenti di sana.

Setelah ciuman itu, Sandi langsung berlutut di depan Zita, mengeluarkan cincin berlian dari sakunya, dan dengan nada penuh kelembutan, dia bertanya.

"Zita, maukah kamu menikah denganku?"

Sandi melamar Zita!

Kania tidak bisa mendengar jawaban Zita dengan jelas.

Gambar dua orang utama dalam video itu tertutup oleh kerumunan orang, sementara suara sorakan dan teriakan riuh memenuhi telinganya.

Dia menurunkan tangannya, menekan tombol berhenti merekam.

Kebetulan, manajer datang dan memberi tahu bahwa ada pelanggan baru di ruang sebelah yang memerlukan bantuannya.

Dia menyerahkan ponsel itu pada rekan kerjanya dan bergegas meninggalkan ruang VIP.

Tidak berhenti sejenak pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rna 1122
nyesek sekali kania
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mencintai dalam Diam   Bab 26

    Meskipun Keluarga Kurnia bukan dari kalangan pejabat atau pedagang kaya, mereka selalu dihormati di Jintara berkat warisan budaya literatur mereka yang sudah turun-temurun.Hingga generasi Zita, Keluarga Kurnia hanya memiliki satu anak perempuan, sehingga mereka membesarkannya dengan penuh perhatian, mencurahkan banyak sumber daya sejak kecil untuk memastikan masa depan cerah yang dapat mendukung keluarga.Untuk itu, Keluarga Kurnia secara khusus mengundang seorang maestro seni lukis tradisional yang paling terkenal di negeri ini untuk mendidik Zita sejak kecil. Dengan reputasi sebagai murid langsung dari Pak Jayadi, Zita berhasil menciptakan nama besar di dunia seni lukis meski usianya masih muda.Melalui Pak Jayadi pula Zita bisa mengenal Sandi.Ketika berita pertunangan mereka menyebar, Keluarga Kurnia sangat gembira, mengira inilah kesempatan untuk mencapai puncak kesuksesan.Namun, tidak sampai satu bulan kemudian, berita bahwa Zita diusir dari vila Keluarga Buwono menyebar luas d

  • Mencintai dalam Diam   Bab 25

    Setelah upacara pembukaan selesai, Kania mengantar keluarga tantenya keluar dari kampus, lalu berbalik menuju fakultasnya.Baru saja sampai di gerbang, dia mendongak dan langsung bertemu dengan sepasang mata yang sangat tidak asing.Entah kenapa, setelah sepenuhnya melepaskan perasaan itu, setiap kali bertemu Sandi, dia selalu merasa seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah oleh orang tuanya.Rasanya persis seperti saat dia diam-diam memberikan kalung ibunya kepada temannya dan ketahuan.Apakah ini yang disebut wibawa dari seorang senior?Bertemu langsung seperti ini, dia tidak mungkin berpura-pura tidak melihatnya. Dengan gugup, dia maju untuk menyapa Sandi."Om, kenapa Om ke sini?"Melihat matanya yang menghindar, hati Sandi terasa sakit.Namun, dia menekan gejolak emosinya dan berpura-pura tenang."Aku datang untuk melihat upacara pembukaan."Kania mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa lagi.Keduanya berjalan dalam diam, perlahan memasuki fakultas.Keheningan ini membuat Sand

  • Mencintai dalam Diam   Bab 24

    Sejak mengetahui bahwa Nona Kania bukan kabur dari rumah melainkan pindah ke luar negeri, dahi pengurus rumah selalu berkerut.Dulu, saat Nona Kania masih di sini, jika mereka melakukan kesalahan, masih ada yang membela mereka.Selama Nona Kania yang bicara, kesalahan sebesar apa pun, Sandi pasti akan memaafkannya.Karena sekarang dia tidak ada, yang menderita adalah para pelayan di bawah Sandi.Entah kenapa, Sandi belakangan ini tidak hanya murung, tetapi juga gemar mencari kesalahan.Juru masak tidak memasak bubur pagi, Sandi langsung marah besar. Juru masak yang panik hanya bisa buru-buru memasak sambil menggerutu. "Nona Kania nggak ada, Pak Sandi sendiri juga nggak suka bubur. Wajar dong, kalau nggak dimasak?"Tukang kebun memangkas dua pohon di halaman, gajinya langsung dipotong dua bulan. Tukang kebun itu berpikir keras, tetapi tidak mengerti. Bukankah dua pohon itu ditanam oleh Nona Kania, yang sebelum pergi terus berpesan agar sering dipangkas supaya bisa tumbuh tinggi? Apa yan

  • Mencintai dalam Diam   Bab 23

    Setelah tiba di Jintara, asisten yang pengunduran dirinya ditolak langsung datang menjemput Sandi dengan mobil.Setelah melewati peristiwa ini, asisten itu melihat banyak hal dengan lebih jelas. Sekarang dia bekerja dengan sungguh-sungguh, pikirannya hanya tertuju pada atasannya dan Nona yang pernah menyelamatkan nyawanya.Selama dua hari ini, ponselnya hampir tidak berhenti berdering karena masalah pernikahan yang dibatalkan. Namun, dia tetap tutup mulut, tidak mengungkapkan sepatah kata pun.Kini bosnya sudah kembali, beban dan tekanan yang dia pikul akhirnya bisa dilepaskan, membuat suasana hatinya jauh lebih baik.Satu-satunya masalah adalah suasana hati bosnya tampaknya tidak terlalu baik, sehingga dia menyampaikan laporan dengan nada yang sangat hati-hati."Pak Sandi, meskipun pernikahan telah dibatalkan, Nona Zita terus membuat keributan. Kemarin dia bahkan membawa barang-barangnya dan pindah ke vila, tinggal di kamar yang dulu dihuni oleh Nona Kania."Mendengar hal ini, Sandi l

  • Mencintai dalam Diam   Bab 22

    Kemala tidak bicara, hanya memandanginya dengan tatapan tajam.Malam musim panas yang terik membuat Sandi berkeringat dingin di bawah tatapan itu.Sandi mengira Kemala tidak mendengarnya dengan jelas, dan saat hendak bertanya lagi, Kemala akhirnya berbicara."Kania bilang hari ini hari pernikahanmu. Kenapa kamu ada di Zelandia? Pengantin pria nggak perlu menghadiri pernikahan sendiri, ya?"Nada suaranya terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya mengguncang hati Sandi seperti badai besar.Di bawah tekanan dan aura kuatnya, akal sehat Sandi yang sempat hilang akhirnya kembali."Pernikahan dibatalkan.""Kenapa dibatalkan? Apa karena mau menemui Kania? Apa Om Buwono tahu soal ini?"Kemala tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. Rentetan pertanyaan itu seperti butiran mutiara yang jatuh ke piring keramik, menimbulkan suara gemerincing.Setelah beberapa menit hening, Sandi akhirnya memaksa dirinya memberikan jawaban."Dibatalkan sebelum aku datang. Ini nggak ada hubunganny

  • Mencintai dalam Diam   Bab 21

    Setelah Kania membawa Liana pergi, Sandi duduk sendirian di ruang pribadi hingga langit gelap.Baru setelah pelayan masuk untuk membereskan meja dan dengan hormat mengatakan bahwa restoran akan tutup, dia membayar ganti rugi atas barang-barang yang rusak, lalu meninggalkan restoran itu dengan linglung.Dalam gelapnya malam, lampu jalan mulai menyala di mana-mana.Saat dia membuka ponselnya, ada lebih dari seratus panggilan tak terjawab dan 99+ pesan yang belum dibaca.Ada dari Zita, dari orang tuanya, dari teman-temannya, dan dari pembawa acara.Pembawa acara?Oh, benar. Hari ini adalah hari pernikahannya. Dia hampir lupa.Namun, ingat atau tidak, apa bedanya?Pernikahan ini pada dasarnya hanya pura-pura. Sebuah sandiwara yang diatur olehnya dan Zita untuk menghancurkan delusi Kania terhadap dirinya.Apa yang dia inginkan sudah didapatkan tanpa usaha berarti, jadi pernikahan ini tidak lagi diperlukan.Mengingat bagaimana selama dua bulan ini dia menahan rasa tidak nyaman, berpura-pura

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status