"Hmm.." Aurora hanya bisa diam dan menunduk."Kamu tahu kan? Perusahaan itu sebenarnya milik keluarga dan pernah ibu beli. Tapi, dibiarkan begitu saja karena kesalah pahaman. Wajar dong ibu rebut kembali dan aku naik jabatan langsung dengan gampang?""Iya, mas""Kamu juga pasti senang bukan punya suami kerja bukan pengangguran lagi?""Iya, mas.""Nanti kamu akan kuajak jalan-jalan keliling luar negeri. Bila perlu, kamu kuliah lagi gimana?""Iya, mas.""Kamu mau aku suapin pisang gorengnya gak?""Iya, mas." Apapun pertanyaan yang diadjukan oleh Antony, selalu dibalas dengan kata iya mas. Hal tersebut membuat dirinya kesal dan mungkin merasa bersalah. Beruntung, Aurora tidak menolak suapan Antony. Ia hanya merasa tak enak dengan ejekan sang suami yang mengatakan bahwa dirinya hanya lulusan SMK. Ya, Aurora belum pernah sempat kuliah atau bahkan bekerja. Melainkan, ia langsung menikah dengan Antony. Bayangan kata-kata itu baginya menusuk hati. Apalagi, segala ucapan atau pendap
"Lagi apa tuh? Berduaan aja?" tanya Nugros yang baru saja datang ke kantor. Lalu, duduk dan mengecek beberapa berkas-berkas yang mungkin akan ia kerjakan. Bukan hanya Nugros, Tio dan Naka pun datang mengikuti Nugros. Sejak teman-teman berserta rekan kerja lainnya datang, Ervin dan Neira lebih memilih diam tanpa kata. Seolah-olah tak peduli dengan mereka. Kemudian, melanjutkan rutinitas kerja lebih awal. Naka yang dari tadi menatap Neira dari jauh hanya bisa mengelus dada. Rasa cemburunya masih tersisa. Sayang, rasa cemburu itu hanyalah semu yang sia-sia untuk ia ungkapkan."Nei, kalau lo bahagia dengan Ervin gue ikut bahagia. Tapi, jika suatu saat dibuat kecewa, gue siap pasang badan buat lo. Tolong, dengar isi hati gue Nei." gumamnya. Dari pagi hingga teriknya panas sinari bangunan tempat mereka kerja, nampaknya terlihat biasa saja. Tak ada gurauan, gosip, atau pun berita yang ada. Namun, pemandangan biasa itu tak biasa bagi Ervin dan Neira. Mereka berdua jarang berbicara
"Iya, ada apa nelpon mulu sih?!" tanya Antony dengan nada tinggi dan kesal. Setelah beberapa kali dipanggil, ini adalah panggilan ke-5 Aurora baru ia bisa angkat. Antony mengungkap kekesalannya melalui sambungan telepon itu. Ia kebetulan sedang beres-beres dan persiapan untuk pulang. Suasa hatinya justru beruba h saat Aurora beberapa kali menghubunginya. Hingga akhirnya pancingan yang tadinya ada di tanah, ia ambil kembali dan diarahkan ke sungai. Padahal, hari mulai gelap. Tersisa hanya cahaya jingga yang sinari langit."Coba inti aja, ada apa?""Aku pengen bicara penting. Tolong, mas pulang lebih cepat bisa?""Heh, Aurora. Padahal, gak usah ditelpon juga aku dari tadi udah siap-siap mau pulang. Gara-gara kamu telpon, justru aku jadi malas buat pulang.""Yah, kok gitu?""Tunggu 30 menit lagi, aku pasti pulang. Udah, ya!" Antony langsung menutup panggilan. Benar saja, selama 30 menit itu Antony hanya melamun di pinggir sungai seorang diri. Teman-temannya yang lain sudah pergi
"Ya, gak lah. Apaan sih? ka" jawab Neira dengan memasang wajah risih dan menyikut tangan Naka,. Ucapan Neira itu terdengar oleh Pak Adam dari jauh. Ia sesekali menoleh ke belakang, menatap ke arah Naka dan Neira dengan tatapan sinis. Lalu, mereka berdua membalasnya dengan senyum dan tertunduk. Setelah itu, pak Adam dan istri keempatnya pergi hingga tak terlihat batang hidung sama sekali. Kini, Naka kembali ke tempat duduknya. Neira pun duduk kembali dan menatap layar komputer. Suasana kantor pun kembali riuh dengan keluh kesah para pegawai. Beberapa diantara mereka ada yang inginkan resign. Sisanya, bertahan demi kelancaran ekonomi. Tentunya, geng kantor yang terdiri dari Ervin, Neira, Naka, Tio, dan Nugros pasti bertahan di sini."Gue gak bakalan resign, vin. Tenang aja, gak usah kangen." ujar Nugros."Hahaha, iya iya percaya. Tapi, kok gue merasa gak enak ya jadi tumbal perusahaan.""Tumbal apa tumbal? Harusnya senang, dapat jodoh dan nikah gratis, lho." saut Tio. Tanpa b
"Ada apa? Vin. Kok telpon malam-malam gini?" tanya Aurora sambil bangun dari tempat duduknya. Ia mondar-mandir diantara 2 kursi ruang tamu."Hmm.. aku mau ngomong sesuatu sama kamu, ra.""Apa?""Doain aku ya, 7 hari lagi aku akan menikah. Kuharap, kamu bisa datang.""Serius, vin? Aku ikut senang dengernya. Semoga lancar sampai hari H""Tapi.." Selama obrolan yang cukup panjang ini, Ervin juga mendapatkan pesan dari Pak Adam. Ia mengirimkan undangan digital yang baru saja ia dapatkan dari klien kepercayaannya. Entah, kenapa bisa secepat itu? Padahal, baru saja ia selesai melakukan sesi foto bersama Neira. Ervin pun terheran-heran. Ia sama sekali tak membalas pesan itu sebelum obrolan dengan Aurora selesai. Kembali pada obrolan antara Aurora dan Ervin, di sinilah Ervin mengungkapkan kekesalannya. Ia masih setia untuk mengungkapkan bahwa perasaannya itu tak berubah, sama seperti dulu."Karena hal itu kamu berkata tapi? Vin.""Iya.""Sudahlah, vin. Masa depan kamu masih panjang
"Udah terima aja, ra. Ibu udah terlanjur boking" ujar Bu Firah dengan nada suara datar. Aurora hanya bisa terdiam dan menelan ludah. Ia tak bisa lagi mengelak dan menerima keputusan ini dengan lapang. Sementara itu, Antony sibuk membersihkan piring seolah tak peduli. Aurora tak enak dengan perlakuan suami di depan mertua, ia ikut membersihkan meja makan. Sisanya, Nakula dibawa main ke ruang depan bersama Bu Firah. Sudahlah, tak ada yang harus diperdebatkan. Saat masa senggangnya sebelum pemberangkatan, Aurora menyempatkan diri ke kamar sebentar. Lalu, membuka ponsel dan memencet tombil hijau. Di sana, ia ingin mengabarkan pada ibunya bahwa dirinya akan pindah ke Jakarta.Tuut..Tuut.. Nomor yang anda tuju, sedang dialihkan. Silahkan tunggu beberapa saat lagi. "Padaha kan telpon biasa, kenapa nomor ibu gak aktif" tanya hati kecil Aurora. "Hmm.. apa mungkin hpnya lagi di charge, ya?" lanjutnya sambil menatap cermin. Tak berhenti sampai di sana, ia mencoba hubungi ayahn
"Kamu lagi dimana, vin? Angkat, dong!" gumam Neira sambil komat-kamit menatap layar ponsel. Beberapa panggilan, tak juga ia angkat. Jawabannya masih sama, nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan. Sementara itu, ibunya terus saja bertanya-tanya karena ingin ngobrol dengan calon menantu. Dengan tatapan penuh harap, ibunya itu sesekali terseyum kecil. Menatap anak sulugnya itu akan menjadi istri orang. Besar harapan beliau untuk anaknya hidup bahagia di pernikahannya."Sorry, ra. Gue kebetulan langsung nemplok depan leptop. Sat ini gue gak bisa ngobrol, energi gue juga habis baru telponan sama keluarga." datanglah pesan dari Ervin."Oh, gitu ya? Yaudah, vin.""Kalau besok kayanya bisa, ra. Sekarang lo istirahat dulu aja." Sementara itu, ibunya masih saja duduk di kursi sambil menunggu kepastian. Lalu, Neira datang menghampirnya untuk duduk bersama. Mendengar penjelasan Neira, beliau bisa menerima. Tak langsung pergi meninggalkan ruangan, ponsel Neira berdering. Sa
"Ada apa, mas?" tanya Aurora saat pintu lift tertutup. Suaminya itu hanya diam dan menghela nafas pendeknya. Tanpa jawaban, ia hanya gelengkan kepala. Mungkin, itu hanya sebuah pandangan kabur karena dia sudah lelah dan inginkan tidur. Sementara itu juga, Ervin sedang duduk di salah satu kedai warun pecel lele dengan tenda biru dan lampu pijar. Disana, ia memesan bihun goreng lengkap dengan teh tawar hangat. Meskipun mulutnya sibuk menguyah makanan, tapi memorinya pergi ke arah jalan pernikahan. Ia belum sempat membicarkan kepada Neira, akan tinggal dimana setelah menikah?"Aduh, nanti kalau udah nikah tinggal dimana ya? Apa pisah aja, ya? Jangan serumah." gumamnya sambil menyeruput teh. "Hmm.. tapi, Neira mau gak ya? Ah, jelas wajib gue paksa. Lagian gue juga ogah-ogahan nikah sama dia. Hambar rasanya kaya teh ini." ia lanjut bergumam. "Gini ya, kalau misalkan gue tinggal di apartemennya atau bahkan rumah orang tuanya, pasti bakalan banyak yang menggoda. Hal kaya git