Mag-log in“Katakan padaku! Apa maumu? Kenapa terus mengikuti dengan senyum aneh itu?” Suara Hamish tegas dan galak. Biasanya, tatapan seperti itu membuat semua pelayan ketakutan.
Kalea memang gentar, tapi tekadnya lebih besar.
“Tuan, saya menunggu Anda pulang,” jawabnya dengan senyum yang tetap merekah.
“Kenapa menungguku?” Hamish berjalan ke sofa, lalu duduk dengan kaki bersilang.
Kalea mendekat, berdiri di depannya.
“Hasil tes kesehatan saya tidak terlalu serius—”
“Ya, aku tahu. Dokter sudah menghubungiku,” potong Hamish datar.
“Ah, begitu.” Kalea mengangguk kecil. “Saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena Tuan sudah memberi saya pakaian yang sangat cantik.”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku tahu kamu datang kesini tanpa membawa apa pun. Aku hanya tak ingin citraku buruk jika ada yang melihat orangku pergi ke rumah sakit dengan piyama kedodoran yang diikat karet.” Hamish berkata dengan raut datar. Pria itu bersedekap menatap Kalea yang masih tetap tersenyum.
“Tetap saja, saya berterima kasih atas kemurahan hati Tuan. Saya berjanji akan bekerja lebih keras dan mengabdi pada Tuan dengan sepenuh hati.” Kalea berucap penuh semangat.
Hamish mendengkus.
“Apa sesenang itu?”
“Tentu saja. Saya tidak punya pakaian lagi, dan semua yang Tuan beri adalah rancangan Celestine Marvella. Saya bahkan tidak pernah berani bermimpi bisa mengenakannya.” Kalea tersenyum lebar, menunjuk pakaian rumahan yang tengah dipakainya.
Hamish mengerutkan dahi. “Kamu tahu Celestine Marvella?”
Kalea mengangguk cepat. “Saya memang suka menggambar desain baju sejak kecil. Dulu, saya bermimpi ingin seperti Celestine Marvella. Saya belajar dari menciang ibu saya. Beliau adalah penjahit rumahan yang sering membuat rancangan sendiri. Meski hanya seorang penjahit rumahan, tapi wawasan beliau soal dunia desainer cukup banyak. Dari ibu saya, saya mengenal beberapa perancang terkenal, termasuk Celestine Marvella.”
Hamish mengangguk singkat.
"Sekali lagi terima kasih, Tuan."
“Jadi, kamu menungguku sampai larut hanya untuk berterima kasih?”
“Iya, Tuan.”
Hamish tiba-tiba tertawa.
Kalea tertegun. Gadis itu mengira bahwa Hamish memiliki kelainan rahang karena dari sejak pertama melihat, pria itu selalu saja berwajah galak, bibir mengatup dan pantang tersenyum. Harus diakuinya, jika Hamish terlihat jauh lebih tampan ketika tertawa.
“Kamu sudah berterima kasih. Sekarang pergilah!”
“Tuan tidak mau saya siapkan sesuatu?”
“Cukup kamu pergi dan jangan ganggu aku, itu sudah cukup!”
Kalea mengangguk patuh, meletakkan tas Hamish di sofa, lalu undur diri dengan sopan.
**
Lebih dari dua minggu Kalea tinggal di kediaman Hamish. Lebam-lebam di punggungnya memudar, kesehatannya semakin membaik. Ia pun sudah menguasai tugas-tugas, termasuk berbelanja kebutuhan dapur. Perlahan, ia semakin paham selera tuannya itu.
Di sela pekerjaan, Kalea menyalurkan kembali hobinya, yaitu menggambar desain busana. Dari laci dapur ia menemukan kertas dan pensil tak terpakai. Peralatan sederhana itu sudah cukup menjadi hiburan baginya. Dengan menggambar, ia bisa sedikit melupakan kepahitan hidupnya, menghibur kesepiannya, juga kerinduan pada sang ibu.
Malam itu, setelah selesai bekerja, Kalea duduk di taman dekat kolam renang. Ia bersandar di bawah pohon kencana, menggambar sambil menikmati semilir angin malam.
“Ibu, apa aku bisa jadi desainer dan menciptakan baju-baju cantik seperti katamu?” ucapnya lirih. “Tapi, kalaupun aku tak jadi apa-apa, aku harap ibu tak kecewa."
Ia begitu serius menggurat sketsa long dress hingga dahinya berkerut. Hampir selesai, tiba-tiba terdengar suara “byuur!” dari kolam. Kalea yang terkejut menoleh.
Kalea meletakkan gambarnya, lalu berdiri untuk melihat keadaan. Sedetik kemudian, gadis itu membelalak.
Di kolam renang sana, Hamish sedang berenang. Gerakan pria itu lincah dan cepat, tubuhnya meluncur di air bagaikan ikan. Kalea tercenung, kakinya seakan tertancap di tanah.
Saat Hamish naik dari kolam, hanya dengan celana renang, Kalea buru-buru memalingkan wajah, menutup mata. Ia ingin kabur, tetapi sial, gara-gara mata terpejam, kepalanya malah terbentur batang pohon dengan keras.
“Arrghhh!” Ia mengaduh.
Hamish menoleh, mengambil handuk, lalu menghampirinya. Kalea masih menggosok jidatnya yang sakit, dan ketika berbalik, pria itu sudah berdiri menjulang di depannya.
“Sedang apa kamu di sini?” tanyanya dingin.
“T-Tuan?” Kalea terperanjat.
“Kamu sengaja mengintip?”
“T-tidak!” Kalea buru-buru menggeleng.
Hamish memicing curiga.
“Kamu tidak tahu peraturan di sini? Aku paling tidak suka ada yang berkeliaran di sekitarku. Ini ruang privasiku! Dan area kolam terlarang untuk siapa pun saat aku berenang!”
“Maaf, Tuan. Saya tidak tahu… saya sudah di sini lebih dulu, sedang menggambar—”
“Jangan melewati batasmu! Kamu cuma pelayan, bersikaplah seperti pelayan. Patuhi aturan di rumah ini! Aku sudah cukup baik padamu. Jangan tak tahu diri dan membuatku berubah pikiran atau aku kirim kamu kembali pada ayahmu!”
Kalea gemetar. Ancaman itu menusuk sampai ulu hati.
“Pergi! Jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di depanku!”
Kalea tak berpikir lagi. Ia berlari dengan mata panas menahan tangis.
Hamish berdiri dengan napas berat. “Apa aku terlalu baik padanya sampai dia berani kurang ajar?” geramnya.
Ia hendak kembali berenang, namun langkahnya terhenti. Pandangannya tertumbuk pada selembar kertas yang tertindih kerikil. Hamish berjongkok, mengambilnya.
Sebuah sketsa long dress dengan detail rumit tergambar indah di sana. Hamish terdiam lama.
“Dia tidak bohong,” gumamnya. Perasaan bersalah menyusup dalam hatinya. Ia menoleh ke arah Kalea berlari tadi.
“Apa kita tak berpamitan dulu pada Pak Elias?” tanya Kalea. Ia menonton Hamish yang sedang menutup koper kecilnya di ambang pintu flatnya.“Buat apa? Tak perlu!” jawab Hamish pendek.“Dan aku tak ingin kamu berkomunikasi dengan pria tua itu! Kalau dia menghubungimu, bilang padaku! Aku harus tahu apa saja yang dia bicarakan denganmu. Jangan meladeninya! Dan jangan pernah mau diajak bertemu lagi. Kamu hanya boleh menemuinya jika bersamaku!”Kalea mengerjap, tetapi tak ada pilihan selain mengangguk.“Pria tua bangka itu malah mau jadi duda, lagi! Sialan!” Hamish mengerutu. Kesal dengan status yang akan disandang ayahnya. Tak dipungkiri jika dalam dadanya tersimpan was-was ayahnya akan menggatal pada Kalea.Tentu saja kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan, pengalaman di masa lalu sudah memberikannya trauma mendalam.“Kamu yakin akan membiarkan dua temanmu itu ikut mengantar sampai ke bandara?” Hamish berbisik pada Kalea, lalu melirik ke belakang, ke dalam ruangan flat. Di sana, Ginna dan
Hamish mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi. Kalea lama sekali di dalam sana. Membuatnya benar-benar khawatir.Ia tak bisa masuk untuk melihat keadaan gadis itu karena pintu terkunci dari dalam.“Lea, lagi apa? Kamu kalau kesulitan tak apa minta tolong padaku. Aku mau bantu.” Hamish mengetuk lagi pintu kamar mandi.“Kamu sedang sakit, Lea. Kamu jangan malu.” Pria itu tak putus asa. Sesekali menempelkan telinganya ke daun pintu.“Aku janji akan menutup mataku. Aku bukan pria mesum, Lea. Aku hanya mencemaskanmu.”Di dalam, Kalea memang kesulitan. Mengandalkan satu tangan dan tangannya pun tersambung ke selang infus. Ia harus dengan sabar melakukan segalanya pelan-pelan dan bergantian.Saat gadis itu menyelesaikan urusannya, ia keluar dengan bagian depan piyama yang basah dan selang infus yang berdarah karena terlalu banyak bergerak.Hamish menghela napas melihat Kalea. Tetapi tak banyak bicara.Pria itu hanya memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.“Aku sudah menyuruh
Langit seakan langsung mendung kelabu saat dokter menyatakan bahwa tangan Kalea memerlukan pemulihan hingga satu sampai dua bulan untuk kembali ke kondisi semula. Ada bagian syaraf yang terkena ujung pisau yang membuat fleksibilitas jari-jari Kalea terganggu. Dan itu artinya, Kalea tak bisa menggambar hingga selama itu.“Bagaimana project tugas akhir saya?” Kalea menatap hampa ujung ranjang pasiennya. Padahal ia tengah semangat-semangatnya.Ia juga sudah merencanakan banyak hal termasuk menyelesaikan kuliah di tenggat waktu yang sudah dirancang sedemikian rupa dari jauh hari. Ia bahkan sudah membayangkan hari wisudanya.Dengan tangan seperti ini, bagaimana ia mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan tepat waktu? Bisa-bisa ia tak bisa lulus tahun ini bersama Ginna dan Brady.“Masih ada waktu sedikit lagi sampai tenggat akhir biar bisa ikut wisuda tahun ini. Kalau pun memang tak bisa, tak apa, Lea. Kamu masih bisa ikut wisuda tahun depan. Tak perlu terburu-buru. Yang terpenting tangan
Mendengar pertanyaan Kalea, Hamish hanya mendengkus, lalu mencubit pipi gadis itu.“Aku lupa kalau kau juga perempuan. Perempuan senang sekali validasi, kan?” ucapnya, lalu menyimpan mangkuk di tangannya ke nakas.Ia menatap lekat Kalea. Keduanya pun bertatapan.“Kamu ingin tahu?” tanyanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu hingga hampir tak berjarak.Kalea sontak memundurkan kepalanya, tetapi dengan cepat tengkuknya ditahan oleh tangan Hamish.“Ya. Aku cemburu!” bisik pria itu dengan suara parau.“Cemburu sampai rasanya ingin kupatahkan tangan siapa saja yang berani mengusikmu. Cemburu hingga rasanya ingin kumusnahkan siapa saja yang berani menggodamu.”Kalea meremang. Matanya memejam dengan tubuh menegang. Embusan hangat napas Hamish membelai kulitnya dan ia bisa merasakan bibir lembut pria itu menyentuh ujung hidungnya.“Kamu … milikku. Hanya milikku,” bisiknya lagi dan perlahan bibirnya turun, mengecup ringan bibir Kalea yang mengatup erat.Hamish tersenyum, lalu mengec
Elias panik. Ia tahu betul tempramen anaknya. Memang, sebelas dua belas dengannya.Putranya yang pemarah itu tak ada bedanya dengan dirinya ketika muda. Mudah meledak dan tak segan melakukan apa pun untuk mencapai sesuatu.Dan ia yakin Hamish akan lebih parah lagi karena didorong rasa sakit dan dendam yang dipendam sejak lama.“Tidak, Hamish! Hentikan!” Elias segera mendekat dan mencekal lengan putranya. Ia pun menoleh pada Jordi, meminta pria itu untuk mencegah Hamish melakukan hal gila.Akan tetapi, Jordi hanya bisa menggeleng lemah. Suatu kemustahilan baginya meredam amarah Hamish jika sudah seperti itu. Yang ada, ia akan menjadi bagian dari kegilaan atasannya tersebut.“Jangan ikut campur! Perempuan itu sudah terlalu banyak berulah!” sergah Hamish.“Tidak! Tolong jangan main hakim sendiri! Ini urusanku. Bagimanapun dia masih istri sahku!”Hamish menoleh perlahan. Menatap Elias dengan api kebencian yang menyala.“Jika kau dan istrimu itu tak ingin kusentuh, tak bisakah kalian biark
“Sabar dulu. Dengarkan dulu! Tak bisakah kamu atur sedikit emosimu yang meledak-ledak itu?” Elias berkata dengan tenang. Berusaha mendinginkan situasi.“Tidak! Aku tak bisa sabar jika itu menyangkut denganmu! Aku tak bisa menahan emosi jika itu ada sangkut pautnya denganmu!” balas Hamish dengan tajam.“Sekarang katakan! Kenapa Kalea sampai terluka? Kau apakan dia, hah?” Hamish benar-benar tak terkendali setiap bertatap muka dengan Elias. Dipaksa untuk tak emosi pun sangat sulit.Amarah yang sudah terlanjur tertimbun begitu lama membuatnya selalu ingin menyerang tiap kali melihat ayahnya dari dekat.“Tuan, tenang dulu. Lebih baik Anda lihat keadaan Nona Kalea dulu.” Jordi berusaha menengahi.Ia tak ingin ada pertumpahan darah lebih awal di rumah sakit.Hamish tersentak. Ia baru saja melupakan Kalea. Padahal ia begitu mencemaskannya dari sejak di perjalanan hingga sesak napas.Pria itu pun mendekati ranjang pasien dan Elias dengan cepat menyingkir. Tak ingin pergesekan mereka semakin me







