Masuk“Aku tidak punya baju bagus, Kal. Dua pertiga gajiku selalu kukirim ke kampung untuk biaya sekolah adik-adik. Ibuku janda, jadi hanya aku yang bisa diandalkan untuk membantu perekonomian keluarga.” Diana berujar sambil membantu Kalea memilih pakaian yang layak dipakai ke rumah sakit.
“Aku pakai yang mana saja boleh, Mbak Di. Asal ada pakaian. Piyama ini juga tidak masalah.”
“Eh, jangan! Tidak pantas. Nanti kamu dikira pengemis. Bagaimana kalau malah diusir satpam? Lagi pula, karetnya terlalu longgar. Kalau sampai melorot di jalan, bagaimana coba?”
Keduanya tertawa membayangkan hal itu. Namun, tawa mereka terhenti saat terdengar ketukan di pintu kamar. Diana menoleh, lalu cepat-cepat membukakan pintu.
“Eh, Bang Jordi.” Diana tersenyum ramah pada pengawal sekaligus asisten pribadi Hamish yang berdiri di sana.
Pria tinggi besar berwajah kaku itu tidak menjawab, bahkan tidak tersenyum. Ia hanya mengulurkan sebuah paper bag besar.
“Berikan pada Kalea. Ada baju untuk ke rumah sakit,” ucapnya singkat, lalu segera pergi.
Diana menatap paper bag itu sebentar, lalu menyerahkannya pada Kalea.
“Apa ini, Mbak?” tanya Kalea penasaran.
Diana hanya mengangkat bahu. Kalea pun membuka paper bag itu dengan cepat. Betapa terkejutnya ia saat melihat isinya.
“Mbaaaak! Astaga!” serunya memekik, lalu mengeluarkan sebuah dress biru langit.
“Cantik sekali!” Kalea hampir menangis melihatnya. Ia terisak ketika melihat merek desainer ternama yang tersemat pada gaun itu.
“Ya ampun… ini baju desainer terkenal. Benar-benar untukku? Ini bukan mimpi, kan?” katanya tak percaya.
“Cepat dicoba, Kal!” Diana ikut bersemangat.
Kalea mengangguk. Ia segera mengenakan dress selutut itu, dan ternyata begitu pas di tubuhnya. Tidak lebih, tidak kurang. Sempurna, seolah memang dibuat khusus untuknya.
“Apa ini pemberian Tuan Hamish? Tidak mungkin dari orang lain, kan?” celetuk Diana.
Kalea terdiam. Seketika ia teringat tatapan Hamish beberapa waktu lalu yang terasa menelanjanginya. Apakah waktu itu dia sedang mengukur tubuhku? batinnya.
“Astaga! Kalau benar begitu… aku sudah salah paham padanya,” bisiknya. Meringis, penuh penyesalan.
“Lihat, Kal! Masih ada satu dress lagi, ada pakaian rumahan juga. Ya ampun! Bahkan ada pakaian dalam.” Diana mengeluarkan isi paper bag satu per satu.
“Kal, sepertinya ini sudah lampu hijau,” ujarnya sambil menaikkan alis.
“Lampu hijau?” Kalea mengerutkan dahi.
“Iya. Sepertinya Tuan Hamish mulai tertarik padamu. Lihat saja semua perhatian ini, sampai urusan pakaian dalam pun ia perhatikan. Kalau bukan tanda, lalu apa lagi? Jangan-jangan, sebentar lagi kamu akan menjadi wanitanya, Kal!”
Mendengar itu, Kalea menggigit bibir. Dia menatap pakaian cantik itu dan membatin, apa … benar begitu?
***
Jam sembilan malam, Kalea belum juga tidur. Sejak tadi ia berdiri di depan pintu, menunggu Hamish pulang.
Namun, hingga hampir tengah malam, sosok pria itu tak kunjung muncul.
Kalea mulai mengantuk. Berkali-kali ia menguap lebar, nyaris terlelap sambil berdiri. Ia hanya ingin menyampaikan bahwa hasil tesnya tidak terlalu serius, sekaligus mengucapkan terima kasih atas pakaian-pakaian cantik yang diberikan Hamish.
“Mungkin besok saja?” gumamnya. Tapi ia sadar, esok pagi dan dua hari berikutnya ia tidak akan bertemu Hamish, sebab pria itu hanya terlihat di rumah saat pagi. Sedangkan esok ia sudah mulai diajari berbelanja kebutuhan dapur dan rumah, serta harus memahami semua tugas-tugas barunya.
Kalea menguap lagi. Rasa lelah dan bosan mulai menguasainya. Ia hendak berbalik menuju kamar ketika sayup-sayup suara mesin mobil terdengar dari luar.
“Tuan pulang!” serunya pelan, senyumnya merekah. Ia berdiri tegap, dua tangan bertaut di depan dada, posenya mirip SPG mall yang menyambut pengunjung.
Tak lama, derap langkah terdengar. Pintu terbuka.
“Selamat datang, Tuan.”
“!!”
Hamish terlonjak. Pria yang terbiasa hidup dalam keheningan itu terkejut setengah mati melihat Kalea berdiri di sana.
“Apa yang kamu lakukan di sini?!” Tatapannya galak. Namun, Kalea tak kemana-mana, tetap tersenyum manis.
“Tuan, biar saya yang bawakan tasnya.” Ia lekas mengambil tas Hamish.
Pria itu tidak menolak. Lelah setelah seharian penuh rapat, ia tak punya energi untuk berdebat.
“Tuan mau minum? Biar saya bawakan?” tanya Kalea sambil mengikuti langkahnya.
“Tidak perlu. Aku tidak haus.”
“Atau makan malam? Camilan, mungkin? Mau saya siapkan?”
“Aku tidak lapar.”
“Tuan pasti lelah. Mau saya pijat? Bahu atau kakinya?”
Hamish mendadak menghentikan langkah. Kalea yang berjalan tepat di belakangnya menabrak punggungnya sampai hampir terjengkang. Pria itu berbalik dengan tatapan tajam.
“Apa kita tak berpamitan dulu pada Pak Elias?” tanya Kalea. Ia menonton Hamish yang sedang menutup koper kecilnya di ambang pintu flatnya.“Buat apa? Tak perlu!” jawab Hamish pendek.“Dan aku tak ingin kamu berkomunikasi dengan pria tua itu! Kalau dia menghubungimu, bilang padaku! Aku harus tahu apa saja yang dia bicarakan denganmu. Jangan meladeninya! Dan jangan pernah mau diajak bertemu lagi. Kamu hanya boleh menemuinya jika bersamaku!”Kalea mengerjap, tetapi tak ada pilihan selain mengangguk.“Pria tua bangka itu malah mau jadi duda, lagi! Sialan!” Hamish mengerutu. Kesal dengan status yang akan disandang ayahnya. Tak dipungkiri jika dalam dadanya tersimpan was-was ayahnya akan menggatal pada Kalea.Tentu saja kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan, pengalaman di masa lalu sudah memberikannya trauma mendalam.“Kamu yakin akan membiarkan dua temanmu itu ikut mengantar sampai ke bandara?” Hamish berbisik pada Kalea, lalu melirik ke belakang, ke dalam ruangan flat. Di sana, Ginna dan
Hamish mondar-mandir gelisah di depan kamar mandi. Kalea lama sekali di dalam sana. Membuatnya benar-benar khawatir.Ia tak bisa masuk untuk melihat keadaan gadis itu karena pintu terkunci dari dalam.“Lea, lagi apa? Kamu kalau kesulitan tak apa minta tolong padaku. Aku mau bantu.” Hamish mengetuk lagi pintu kamar mandi.“Kamu sedang sakit, Lea. Kamu jangan malu.” Pria itu tak putus asa. Sesekali menempelkan telinganya ke daun pintu.“Aku janji akan menutup mataku. Aku bukan pria mesum, Lea. Aku hanya mencemaskanmu.”Di dalam, Kalea memang kesulitan. Mengandalkan satu tangan dan tangannya pun tersambung ke selang infus. Ia harus dengan sabar melakukan segalanya pelan-pelan dan bergantian.Saat gadis itu menyelesaikan urusannya, ia keluar dengan bagian depan piyama yang basah dan selang infus yang berdarah karena terlalu banyak bergerak.Hamish menghela napas melihat Kalea. Tetapi tak banyak bicara.Pria itu hanya memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.“Aku sudah menyuruh
Langit seakan langsung mendung kelabu saat dokter menyatakan bahwa tangan Kalea memerlukan pemulihan hingga satu sampai dua bulan untuk kembali ke kondisi semula. Ada bagian syaraf yang terkena ujung pisau yang membuat fleksibilitas jari-jari Kalea terganggu. Dan itu artinya, Kalea tak bisa menggambar hingga selama itu.“Bagaimana project tugas akhir saya?” Kalea menatap hampa ujung ranjang pasiennya. Padahal ia tengah semangat-semangatnya.Ia juga sudah merencanakan banyak hal termasuk menyelesaikan kuliah di tenggat waktu yang sudah dirancang sedemikian rupa dari jauh hari. Ia bahkan sudah membayangkan hari wisudanya.Dengan tangan seperti ini, bagaimana ia mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan tepat waktu? Bisa-bisa ia tak bisa lulus tahun ini bersama Ginna dan Brady.“Masih ada waktu sedikit lagi sampai tenggat akhir biar bisa ikut wisuda tahun ini. Kalau pun memang tak bisa, tak apa, Lea. Kamu masih bisa ikut wisuda tahun depan. Tak perlu terburu-buru. Yang terpenting tangan
Mendengar pertanyaan Kalea, Hamish hanya mendengkus, lalu mencubit pipi gadis itu.“Aku lupa kalau kau juga perempuan. Perempuan senang sekali validasi, kan?” ucapnya, lalu menyimpan mangkuk di tangannya ke nakas.Ia menatap lekat Kalea. Keduanya pun bertatapan.“Kamu ingin tahu?” tanyanya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu hingga hampir tak berjarak.Kalea sontak memundurkan kepalanya, tetapi dengan cepat tengkuknya ditahan oleh tangan Hamish.“Ya. Aku cemburu!” bisik pria itu dengan suara parau.“Cemburu sampai rasanya ingin kupatahkan tangan siapa saja yang berani mengusikmu. Cemburu hingga rasanya ingin kumusnahkan siapa saja yang berani menggodamu.”Kalea meremang. Matanya memejam dengan tubuh menegang. Embusan hangat napas Hamish membelai kulitnya dan ia bisa merasakan bibir lembut pria itu menyentuh ujung hidungnya.“Kamu … milikku. Hanya milikku,” bisiknya lagi dan perlahan bibirnya turun, mengecup ringan bibir Kalea yang mengatup erat.Hamish tersenyum, lalu mengec
Elias panik. Ia tahu betul tempramen anaknya. Memang, sebelas dua belas dengannya.Putranya yang pemarah itu tak ada bedanya dengan dirinya ketika muda. Mudah meledak dan tak segan melakukan apa pun untuk mencapai sesuatu.Dan ia yakin Hamish akan lebih parah lagi karena didorong rasa sakit dan dendam yang dipendam sejak lama.“Tidak, Hamish! Hentikan!” Elias segera mendekat dan mencekal lengan putranya. Ia pun menoleh pada Jordi, meminta pria itu untuk mencegah Hamish melakukan hal gila.Akan tetapi, Jordi hanya bisa menggeleng lemah. Suatu kemustahilan baginya meredam amarah Hamish jika sudah seperti itu. Yang ada, ia akan menjadi bagian dari kegilaan atasannya tersebut.“Jangan ikut campur! Perempuan itu sudah terlalu banyak berulah!” sergah Hamish.“Tidak! Tolong jangan main hakim sendiri! Ini urusanku. Bagimanapun dia masih istri sahku!”Hamish menoleh perlahan. Menatap Elias dengan api kebencian yang menyala.“Jika kau dan istrimu itu tak ingin kusentuh, tak bisakah kalian biark
“Sabar dulu. Dengarkan dulu! Tak bisakah kamu atur sedikit emosimu yang meledak-ledak itu?” Elias berkata dengan tenang. Berusaha mendinginkan situasi.“Tidak! Aku tak bisa sabar jika itu menyangkut denganmu! Aku tak bisa menahan emosi jika itu ada sangkut pautnya denganmu!” balas Hamish dengan tajam.“Sekarang katakan! Kenapa Kalea sampai terluka? Kau apakan dia, hah?” Hamish benar-benar tak terkendali setiap bertatap muka dengan Elias. Dipaksa untuk tak emosi pun sangat sulit.Amarah yang sudah terlanjur tertimbun begitu lama membuatnya selalu ingin menyerang tiap kali melihat ayahnya dari dekat.“Tuan, tenang dulu. Lebih baik Anda lihat keadaan Nona Kalea dulu.” Jordi berusaha menengahi.Ia tak ingin ada pertumpahan darah lebih awal di rumah sakit.Hamish tersentak. Ia baru saja melupakan Kalea. Padahal ia begitu mencemaskannya dari sejak di perjalanan hingga sesak napas.Pria itu pun mendekati ranjang pasien dan Elias dengan cepat menyingkir. Tak ingin pergesekan mereka semakin me







