Share

Bab 4

“Halo Kak,” Zidan tengah duduk seorang diri di ruang makan pagi ini. Sambil mengoles roti, ia menerima panggilan dari Kakak perempuannya yang menetap di Inggris bersama suaminya.

“Zidan, kamu beneran nikah sama mempelai wanita pengganti? aku baru sempat lihat kabar pernikahanmu di sosial media.”

“Kakak ke mana saja? aku udah nikah seminggu yang lalu dan seharusnya kalau adik kandung nikah itu, kakak kandungnya wajib datang," jawab Zidan sekaligus menyindir kakaknya yang sudah lama tidak pulang ke Indonesia.

“Maafin kakak ya Zidan, bukannya kakak enggak mau datang. Kakak enggak bisa datang waktu itu karena kamu tahu ‘kan suami kakak itu sibuk, enggak bisa libur. Kakak juga harus ngurus Kayana, dia masih kecil.”

“Oke, aku paham,” ucap Zidan seraya menyantap roti yang sudah dioles selai coklat tadi.

“Terus itu yang kakak tanyain tadi benar?”

“Iya, yang mau dijodohin sama aku itu kabur saat hari pernikahan jadi adiknya yang menggantikannya.”

“Hah! serius? jadi benar istri kamu itu remaja yang baru lulus SMA? kok kamu mau sih?”

“Ya mau bagaimana lagi Kak, dia kabur di hari pernikahan, tidak mungkin semua yang sudah dipersiapkan dibatalkan begitu saja. Bisa rugi besar. Oh, iya kamu tahu dari mana soal istriku baru lulus SMA?”

“Dari berita-berita media. Orang-orang berusaha menggali informasi tentang istrimu.”

Zidan menghela napas seraya memutar bola matanya malas. Sekeras apapun ia menghindar untuk diwawancarai pihak media, semakin gencar pula orang-orang berusaha menggali informasi dan berasumsi sendiri. “Ternyata beritanya udah sampai ke mana-mana ya, padahal di hari pernikahanku, aku sudah melarang pihak media masuk dan aku juga udah berusaha menghindar untuk diwawancarai.”

“Kamu seperti tidak tahu pihak media saja. Berita saja bisa dibuat-buat hanya dengan asumsi pribadi. Oh iya btw istri kamu itu gimana sifatnya? dia baik?”

“Aku enggak tahu Kak. Aku baru menikah dadakan seminggu yang lalu tanpa berkenalan sebelumnya.”

“Oh, ya udah kalau gitu kapan-kapan kakak pulang ke Indonesia deh, kakak mau lihat istri kamu, udah kangen juga sama Mama.”

“Sama aku enggak kangen?”

“Enggak. Udah dulu ya bye!”

Zidan menatap ponselnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya setelah sambungan terputus. Kakak perempuannya itu memang orangnya to the point dan gengsi sekali.

“Om lagi makan apa?” celetuk Reva santai. Ia baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi, langsung mengambil duduk di hadapan Zidan.

Zidan sontak mendongak, menatap orang yang baru datang dengan alis menukik. “Panggilan macam apa itu?”

“Loh emang salah? jarak umur kita ‘kan beda jauh Om terus kata kamu ‘kan kalau di belakang orangtua kita, kita bukan pasangan suami istri jadi enggak masalah dong mau manggil apa aja."

“Okay. Kalau gitu mulai sekarang aku akan manggil kamu bocah.”

“Hah, memangnya aku anak kecil apa? aku ini udah lulus SMA, sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi.”

“Loh, kamu saja bisa manggil aku Om, kenapa aku enggak bisa manggil kamu bocah,” ujar Zidan seraya menyunggingkan senyum mengejek lalu beranjak dari sana. Reva melirik sinis punggung Zidan yang semakin menjauh namun ia tidak terlalu peduli dan memilih menyantap sarapan pagi yaitu roti tawar dengan selai coklat dan segelas susu vanila.

“Bocah!”

“Uhuk! Uhuk!” teriakan Zidan berhasil membuat Reva tersedak. Ia buru-buru meneguk air putih sebelum menghampiri Zidan di teras rumah.

“Kenapa sih Om? teriak-teriak segala, udah kayak manggil pembantu aja."

“Kunci pintu, aku mau berangkat kerja. Jangan sampai karena kelalaianmu, rumah kemalingan ya.”

“Om pikir aku satpam apa? cari satpam dan ART dong. Masa rumah segede gini, aku sendirian yang ngurus. Gimana kalau nanti aku udah mulai kuliah?”

Zidan menghela napas. “Iya nanti aku pikirkan. Jangan banyak mengeluh, sakit kepalaku.”

“Siapa juga yang mengeluh ye,” jawab Reva sewot namun Zidan tidak dapat mendengarnya karena ia sudah meninggalkan Reva menuju mobilnya.

***

Setibanya di perusahaan, seperti biasa ia menghentikan mobilnya di depan perusahaan dan selanjutnya diteruskan oleh satpam untuk diparkirkan.

“Ini kuncinya Pak,” ucap satpam bernama Asep setelah memarkirkan mobil Zidan.

“Terima kasih Pak Asep,”

“Sama-sama Pak.”

Setelah menerima kunci mobilnya, ia memasuki perusahaan dengan langkah tegap dan berwibawa.

“Selamat pagi Pak!” sapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengan Zidan.

Zidan hanya menyunggingkan senyumnya seraya mengangguk dan terus melangkahkan kakinya sampai memasuki sebuah ruangan di lantai 4.

Ia menduduki kursi kekuasaannya yang sudah kurang lebih 3 tahun ini ia tempati setelah menggantikan kedudukan Papanya yang telah meninggal 3 tahun yang lalu.

Tok tok tok!

Zidan melirik pintu ruangannya yang baru saja diketuk. “Masuk!”

“Permisi Pak,” terlihat seorang wanita cantik berambut panjang lurus sebatas dada memasuki ruangan dengan senyum manis terpasang di wajahnya. “Saya mau memberitahukan 15 menit lagi rapat bulanan perusahaan akan dimulai Pak.”

Zidan sontak memeriksa jam tangannya yang menunjukkan pukul 8.45 pagi.

“Di ruang rapat mana?”

“Di ruang rapat lantai 2 Pak.”

“Oke, kamu duluan saja. Sebentar lagi saya nyusul.”

“Siap Pak. Permisi,”

Setelah mengeluarkan laptopnya, Zidan pergi ke ruang rapat di lantai 2.

Jam 9 tepat rapat bulanan perusahaan di mulai. Ruang rapat di lantai 2 itu dihadiri oleh beberapa orang di antaranya ada direktur operasional, direktur umum & SDM, direktur pemasaran, direktur keuangan, direktur teknologi dan beberapa anggota rapat lainnya. Mereka yang mengikuti rapat mengatur ponsel menjadi mode silent agar tidak mengganggu jalannya rapat.

Rapat bulanan yang biasanya dilakukan 6 bulan sekali di perusahaan ini akan membahas tentang hasil pencapaian perusahaan dari bulan-bulan sebelumnya, membahas masalah yang terjadi dan solusinya serta target bulan depan yang harus dicapai.

Beberapa saat kemudian, Zidan melirik ponselnya yang menyala, terlihat nama 'bocah' di sana. Ia baru mengganti nama Reva di kontak telepon tadi pagi setelah Reva menyebutnya dengan sebutan Om. Sebelumnya ia memberikan nama kontak istrinya dengan nama 'Reva'. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol reject.

Baru saja kembali menyimak presentasi dari direktur keuangan, Zidan kembali menoleh tatkala ponselnya kembali menyala, Reva kembali menghubunginya. Zidan menghela napas, kembali menolak panggilan dari istrinya.

Setelah dua kali ditolak, Zidan pikir, Reva akan berhenti menghubunginya. Reva memang berhenti menghubunginya tapi gantinya, ia mengirimkan pesan kepada Zidan.

Reva: Om, kenapa teleponku enggak diangkat? kamu sibuk ya? aku cuma mau minta izin, aku mau keluar ketemu temanku untuk membahas tentang pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi. Boleh enggak?

Zidan meraih ponselnya, membalas pesan dari Reva dengan cepat.

Zidan: Pergi saja, tidak perlu minta izin. Jangan lupa kunci pintu rumah dan pagar sebelum kamu pergi.

Reva: Siap Om! thank you! semangat kerjanya ya Om!

Reva juga mengirimkan emoji hormat dan senyum pada Zidan.

Zidan reflek menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mendongak dan mendapati semua orang tengah menatapnya termasuk direktur keuangan yang sedang melakukan presentasi.

“Ehem!” Zidan sengaja berdehem. “Silakan lanjutkan,”

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status