Share

Bab 5: Balap Liar Lagi

Keira terlihat melamun sekarang padahal di depannya sudah terdapat makanan yang ia pesan.

“Ra, lo kenapa?” tanya Winda.

Saat ini Keira, Winda, dan Lala sedang berada di kantin universitas.

“Hah!” Keira menekuk wajahnya dan membenamkan wajahnya di meja kantin.

“Lo kenapa sih?” tanya Lala heran.

“Gua mau mati aja!” ucap Keira lebay.

“Eh … ya jangan dong! Kalau lo mati kita susah dapet uang taruhan balapan lagi!” peringat Lala.

Keira menatap Lala dengan mematikan.

“Eh-ehm maksud gua kalau lo mati kita bakal sedih dong!” ucap Lala.

“Udah, nggak usah dengerin si Lala. Lo kenapa? Ada masalah?” tanya Winda.

“Lo emang sahabat yang paling ngerti gua, Win!” Keira langsung memeluk Winda tanpa malu.

“Lo kenapa sih?” tanya Winda yang heran dengan tingkah sang sahabat.

Keira tentu tidak mungkin memeluk Winda sampai begini jika tidak ada masalah. Keira bukan tipe perempuan yang suka main skinsip.

“Nggak papa kok!” ucap Keira yang sudah kembali biasa.

‘Gua lupa, nggak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau gua udah nikah. Nikahnya sama dosen gila yang sialnya suami gua lagi!’

Keira menyebut Keinan gila bukan tanpa alasan. Keinan mengancam akan mengumumkan pernikahan mereka jika sampai Keinan mengetahui Keira yang tidur di kelas lagi.

“Hiks! Kenapa gua dapat suami modelan kaya gitu!” gumam Keira pelan.

“Kenapa, Ra?” tanya Lala.

Keira hanya menggeleng dengan pelan meratapi nasibnya.

“Eh, lo tahu nggak kalau ada dosen ganteng lho di fakultas psikologi! Ra, lo tahu nggak?” ucap Lala yang mulai bergosip ria.

“Tapi bukannya gua denger tuh dosen baru aja nikah ya!” ucap Winda.

“Lah, bener lo! Gila sih, cewek mana coba yang berhasil gaet tuh dosen! Lo tahu, dosen itu wajahnya oke sih. Tapi katanya killer abis, belum lagi tuh dosen sampe disebut psikopatnya dari jurusan psikologi,” ucap Lala yang mendrama.

“Kok bisa?” heran Winda.

“Iya, dosen itu nggak pernah kasih hukuman yang tanggung-tanggung ke mahasiswanya. Tapi bahkan hukumannya langsung kena mental dong!”

“Wah, gila padahal dosen psikologi masa buat mahasiswa kena mental sih?!” ucap Winda tidak percaya.

Keira yang sejak tadi mendengar obrolan mereka bergumam, “Bener banget, mental gua langsung kena.”

“Apa, Ra?” tanya Lala lagi karena Keira hanya bergumam saja.

“Btw, Ra ini bakso kalau nggak dimakan biar gua makan ya!”

“Ambil aja, gua nggak napsu makan.”

“Rara!” teriak seorang cowok dari jauh.

Cowok itu berlari dan langsung duduk di samping Keira. Tentu saja cowok menggeser duduknya Winda.

“Sat, lo apa-apaan sih!” keluh Winda yang hampir terjatuh. Untung saja Winda sempat berdiri terlebih dahulu, jadi dirinya tidak terdorong sampai jatuh ke lantai.

“Maap-maap, sengaja gua!”

“Sialan lo!” umpat Keira sambil menabok lengan Satya.

“Ra, lo nanti malam ada acara nggak?” tanya Satya.

“Napa?”

“Nonton gua balapan ya!”

Keira mengernyitkan dahi berpikir, jika dirinya menonton balapan nanti malam otomatis itu akan mempersingkat pertemuannya dengan Keinan. Secara Keinan pasti sudah tidur jam 11, biasa balapan liar itu bahkan baru dimulai jam 2 pagi. Jadi Keira bisa pulang kisaran jam 3 pagi. Itu kesempatan bagus.

“Oke, gua nonton!” ucap Keira semangat.

***

Malamnya, di sebuah jalanan yang jauh dari keramain terdapat banyak anak muda yang sudah berkumpul. Tidak terkecuali dengan Keira, Winda, dan Lala. Tentu wajib hukumnya bagi mereka untuk menonton balapan liar itu. Jika tidak menonton maka akan sama kehilangan sebagian jiwanya seperti para fans K-pop.

“Ra, lo yakin nggak papa jam segini belum pulang?” tanya Winda yang sedikit khawatir.

Winda tahu bagaimana kerasnya Ayah Keira jika sampai tahu Keira belum pulang jam segini. Apalagi ditambah sejak pulang kuliah Keira justru malah main dan tidur di rumahnya. Keira belum pulang sampai sekarang jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi.

“Huu!” teriak anak-anak muda itu begitu melihat Satya yang berhasil sampai pertama di garis bisnis.

“Wah, lo keren banget, Sat!” ucap Lala yang terpesona dengan Satya.

Lala memang menyukai Satya, tapi Lala tidak pernah mengutarakan perasaannya. Apalagi saat melihat Satya yang selama ini selalu mengejar-ngejar Keira. Lala tahu, tidak ada tempat lagi untuknya di hati Satya.

“Ra, udah malam lho ini! Lo gua anterin pulang aja!” Satya tidak menanggapi lontaran pujian dari Lala. Tapi justru langsung mengajak Keira untuk pulang.

Lala menunduk menatap sepatunya sedih.

‘Nggak papa, La. Seenggaknya lo sadar untuk nggak jadi penghampat hubungan orang,’ batin Lala mencoba baik-baik saja.

Keira melihat jam tangannya dan memastikan, memang benar jam tangannya sudah menunjukkan pukul 3 kurang, dini hari. Itu artinya, Keinan pasti sudah tidur kan.

“Oke!” Keira langsung naik ke motor besar Satya.

“Gua pamit dulu anter temen kalian! Kalian bawa mobil sendiri kan?”

“Iya, gua bawa kok! Hati-hati ya nyetirnya!” ucap Winda.

Satya melesatkan motornya membelah jalanan sepi di Yogyakarta.

Lala yang melihat Satya pergi dengan Keira hanya menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Ayo, La!” ajak Winda.

Lala mengangguk dan mengikuti jalan Winda.

***

“Ini beneran rumah lo, Ra?” tanya Satya yang bingung.

Pasalnya dari Satya yang mencari info rumah milik Keira itu bukan di lingkunan ini.

“Iya, kok!”

“Bukannya rumah lo ada di jalan XXX ya?”

“Ah, gua baru aja pindah.”

Satya hanya megangguk-angguk.

“Yaudah, sana lo pergi!” ucap Keira yang lebih ke mengusir.

“Gua tunggu lo sampai masuk dulu!” ucap Satya menolak.

“Ck, nggak usah lah! Kalau ketahuan bokap gua berabe urusannya!” ucap Keira.

“Oke-oke gua pergi! Malam ya cantik!” ucap Satya sebelum berlalu pergi.

“Huft, untung aja!”

Keira berjalan masuk ke rumah Keinan dan membuka pintu rumah itu.

“Lho, kok nggak dikunci?” gumam Keira.

Keira memasuki rumah yang temaram itu dengan jalan berjingkat. Pikir Keira, Keinan sedang tidur saat ini dengan keadaan lupa mengunci pintu. Hingga tiba-tiba lampu di seluruh rumah itu menyala dengan terang.

“Dari mana kamu?” tanya Keinan dengan baju koko dan sarung yang melekat di badannya.

Keira membalikkan badannya dan menyengir bodoh.

“Jam 3 pagi,” ucap Keinan sambil melihat jam dinding.

“Saya memang bilang untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Tapi kalau kamu bertingkah seperti hidup sendiri seperti ini. Saya nggak bakal tinggal diam!” ucap Keinan sambil berjalan mendekati Keira.

Keinan memegang tangan Keira dan menyeretnya untuk duduk di sofa ruang tamu.

“Kamu anggap saya apa Keira?”

“Ba-bapak ya s-suami saya,” ucap Keira pelan dan menunduk.

“Tatap mata saya!”

Keira memberanikan diri untuk menatap mata Keinan yang kini sedang tersulut emosi itu.

“Kamu tahu kalau kamu salah?”

Keira kembali menunduk.

“Saya tanya, kamu tahu nggak kalau kamu salah?”

“I-iya, pak. Gua tahu!”

“Mulai sekarang panggil saya Mas dan berhenti menggunakan lo-gua dengan saya. Saya suami kamu Keira. Bukan seperti ini komunikasi yang terjalin antara sepasang suami istri,” ucap Keinan.

Keira menatap Keinan dalam. Entahlah, jujur sudah berapa lama Keira tidak pernah mendapatkan perhatian dari orang lain. Bukan dalam bentuk kenakalannya, tapi karena dia adalah seorang Keira. Keira tidak pernah mendapatkan itu. Lalu, sekang seorang laki-laki dewasa yang asing tiba-tiba hadir di kehidupan Keira dan memberikan perhatiannya. Bukan karena Keira nakal, tapi karena Keira sekarang adalah isrti dari Keinan.

“P-pak!”

“Mas!”

“M-mas, kenapa kamu berperilaku seperti ini?” tanya Keira pelan.

Keinan yang awalnya duduk berhadapan dengan Keira pindah untuk duduk di samping Keira.

“Ra, saya tahu kamu dulu terbiasa melakukan itu untuk menarik perhatian ayah kamu. Tapi saya, saya nggak bisa, Ra melihat kamu seperti ini. Tanpa kamu mencari perhatian dari saya, saya pasti akan mencoba memperhatikan kamu di sela waktu kesibukan saya!”

Entah kenapa mendengar suara Keinan yang halus itu justru membuat Keira ingin menangis. Keira menitikkan air matanya. Keinan yang melihat hal itu dengan perlahan memeluk Keira dan membiarkan Keira menangis di dalam pelukannya.

‘Ibu, ini yang Keira butuhin selama ini!’

Ya, Keira sejak dulu hanya ingin sandaran. Tapi semenjak ibunya meninggal saat Keira menginjak SMP, Keira selalu dituntut untuk mandiri. Ayahnya bahkan tidak pernah memeluknya lagi saat Keira menangis. Bahkan, saat Keira mencoba untuk menjadi nakal berharap Ayahnya memperhatikannya. Keira tidak pernah mendapatkan perhatian dari Ayahnya. Ya, seorang Keira yang nakal mampu menangis di hadapan Keinan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status