Langit sore itu memudar perlahan, seakan ikut kehilangan cahaya setelah satu jiwa berpulang. Awan menggantung berat di atas pemakaman, dan gerimis turun seperti air mata langit—pelan, tapi terus-menerus. Di antara payung-payung hitam yang berderet rapat, suara doa dan isak tangis berpadu menjadi satu, membentuk suasana yang nyaris tak tertahankan.Ivy dan adiknya tidak menangis. Hanya saja ia merasa sebagian langitnya runtuh. Ivy dirangkul Nevan sementara adik Ivy berada di satu payung bersama dengan Qaiz menyaksikan prosesi pemakaman papanya. Pemakaman dihadiri juga teman-teman papanya Ivy. Juga tetangga rumah dan dan teman-teman dekat adiknya Ivy.Di ujung liang lahat, Ivy berdiri kaku, tubuhnya gemetar meski jaket tebal membungkusnya. Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih—bunga yang papanya tanam dihalaman rumah—yang kini tampak kusam oleh hujan. Matanya merah, tapi tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Semua sudah kering, seperti jiwanya yang kosong.Ketika jasad papa Ivy
Ruangan yang dipenuhi cahaya putih dingin terasa lebih menyeramkan dibandingkan dengan kamar mayat. Bau obat-obatan menusuk, bercampur dengan suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan—ritmis, tapi rapuh. Tirai tipis di sekeliling ranjang bergoyang lembut diterpa hembusan AC. Di tengahnya, seorang lelaki tua terbaring lemah, tubuhnya nyaris tertutup oleh selimut rumah sakit, wajahnya pucat dan berpeluh.Selang-selang menempel di lengan, di hidung, di dada—seolah-olah setiap helaan napasnya kini bukan lagi miliknya sendiri, tapi pemberian dari mesin-mesin di sekitarnya. Di sisi kakan dan kiri ranjang, kedua putrinya duduk dengan tangan menggenggam erat tangan papanya. Jemarinya gemetar, bibirnya terus bergetar mengucap doa yang tak terdengar. Kini doanya bukan lagi mengharapkan pria yang sangat mereka sayangi itu sembuh, melainkan agar papanya tenang setelah semua penderitaan yang mengikutinya selama ini.“Bu, waktunya sudah hampir tiba,” ucap seorang perawat dengan suara pelan, m
Ruang ICU terasa seperti dunia yang berhenti di antara hidup dan mati. Suhu dingin dari pendingin ruangan menyelimuti kulit, bercampur dengan aroma tajam antiseptik yang menusuk hidung. Lampu putih menggantung tanpa belas kasih, menyoroti wajah-wajah pucat yang tertidur dalam diam yang berat.Suara mesin monitor menjadi satu-satunya irama—seolah menandai detak waktu yang enggan berjalan. Tabung oksigen mendesis pelan, selang-selang menelusuri tubuh-tubuh rapuh di ranjang logam. Tirai-tirai tipis di antara ranjang bergoyang perlahan tiap kali perawat lewat, langkahnya cepat tapi hati-hati, membawa catatan dan harapan dalam diam.Di sudut, ada adik Ivy yang duduk dengan tangan terlipat, mata mereka tak beranjak dari angka-angka di layar monitor. Ivy menunduk, berdoa dalam bisu, sementara Qaiz sekadar memandangi wajah papanya Ivy—yang tak bergerak, namun masih di sini.Segalanya terasa hening, namun sarat dengan gema ketakutan dan harapan yang menegang di udara. Di ruang itu, bahkan napa
Cahaya matahari sudah menembus kaca lobi kantornya, menandakan jika pagi sudah mulai berganti siang. Dugaannya salah total. Ivy tidak masuk kantor hari ini. Sembari berjalan menuju ruangannya, karena ia tidak mungkin terus menunggu Ivy sampai sore atau pekerjaannya tidak akan selesai satu pun, Nevan membawa kekecewaan yang amat besar. Otaknya terus bertanya-tanya apakah Ivy merasa permasalahannya sebesar itu sampai Ivy tidak masuk kantor? Kemungkinan besar istrinya itu tidak sudi melihatnya.Nevan baru keluar dari lift dan langsung disuguhkan dengan keberadaan Unmesh. Temannya itu sepertinya habis mengambil kopi di pantry.“Baru dateng?” tanyanya menyamai langkah Nevan.“Dari tadi, cuman gue tunggu Ivy dulu,” jawab Nevan jujur.Melihat wajah Nevan masam Unmesh dengan mudah menebak. “Lo ada masalah lagi sama dia?”“Setiap rumah tangga pasti selalu ada aja ujiannya. Dan itu sangat wajar.” Semenjak Unmesh selalu menyudutkan Ivy, Nevan sekarang jadi lebih hati-hati jika berbicara dengan
Nevan mengusap wajahnya. Ia tercenung di atas ranjang. Ia perlu menetralkan pikirannya sebelum ia menemui Ivy dan mengajak istrinya itu bicara. Setelah dirasa cukup, Nevan keluar dari kamar. Tapi Ivy tidak ada di ruang tv, Nevan bergegas menuju dapur dan tidak ada tanda tanpa keberadaan Ivy. “Kemana Ivy?” gumamnya.Kakinya melangkah ke halaman. Ia memutari rumahnya namun Ivy tidak kunjung ia temukan. Ia kembali masuk memeriksa rak sepatu. Benar saja sendal yang selalu Ivy pakai tidak ada. “Dia pergi kemana?” Ia menghela napas.Sikap Ivy yang seperti ini yang Nevan kurang sukai dari, selalu pergi saat ada masalah. Padahal mereka hanya perlu bicara dan menyampaikan apa yang tidak mereka sukai satu sama lain. Bukan menghindar membiarkan kesalahpahaman diantara mereka semakin memperumit masalah.Pria itu menghubungi Ivy beberapa kali, pesan Ivy yang tidak sempat ia buka akhirnya ia baca satu persatu. Ia merasa bersalah untuk hal ini. Nevan lantas mengirim pesan kepada Ivy berharap Ivy su
Bangun tidur Nevan sudah tidak ada di rumah. Ini kali pertama pertengkaran mereka melebihi pagi setelah sepakat saling memaafkan satu sama lain. Di meja makan sudah tersedia roti panggang dan sepucuk surat bertuliskan,Aku ke kantor duluannya. Jangan lupa sarapan.Ivy jadi merasa bersalah. Ia lantas mengunyah roti panggang yang sudah dingin itu. “Harusnya gue semalam gak kebawa emosi juga,” kata Ivy.Setelah itu Ivy bergegas siap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia harus meminta maaf kepada Nevan. Seperti kata pepatah jangan terlalu berharap, di kantor Ivy tidak bertemu dengan Nevan. Bolak-balik ia datang ke ruangannya suaminya itu tidak ada. Pesan yang kemarin yang ia kirim bahkan belum pria itu lihat sama sekali. Ivy juga tidak sudi jika harus bertanya kepada Manda. Atau ia akan hipertensi.“Nevan sudah makan siang belum ya?” gumam Ivy. Ia duduk di kantin menyantap makan siang seorang diri.Setelah selesai Ivy berinisiatif membawakan makan siang ke ruangan Nevan walaupun dia belum j