Benda pipih itu Nala letakkan di sampingnya, ia masih menunggu Bastian mencarinya jika laki-laki itu pulang ke hotel dan tak menemukan keberadaannya.Malam ini Nala pergi ke pantai dekat hotel, menikmati suara deburan ombak yang terus datang. Mengagumi bagaimana pantulan bulan itu terlihat di atas air dan juga menikmati angin yang semakin menusuk baju tipis hingga menembus kulitnya tersebut."Gue kenapa, sih?" tanya Nala pada dirinya sendiri. Tak paham sama sekali dengan apa yang dirasakannya saat ini. Kenapa ia tak rela melihat Bastian pergi hanya untuk menemui perempuan lain dan kenapa pula ia harus memiliki perasaan aneh itu, sementara Nala sendiri sadar dirinya tak memiliki hak untuk melarang laki-laki itu pergi.Nala sangat menyukai suasana ini. Bising, namun terasa menenangkan untuknya. Entah berapa lama ia menghabiskan waktu di tempat ini, ponselnya sama sekali tak menunjukkan adanya pesan atau panggilan masuk. Semakin lama perutnya semakin terasa perih, ini sudah terlalu lama d
Perdebatan panjang itu berakhir dengan posisinya masing-masing, dasarnya sama-sama keras kepala hingga tidak ada yang mau mengalah. Sonya tetap kekeh ingin duduk di depan, menolak segala macam bujuk rayu dan mengabaikan makian Nala."Nggak apa-apa ya, Nala. Lagian kan cuma masalah duduk aja. Nanti gantian kamu yang duduk di depan." Kata-kata itulah yang akhirnya mengakhiri perseteruan.Suasana di dalam mobil hanya diisi keheningan, tak ada siapapun yang berniat membuka suara. Nala sendiri memilih menyibukkan diri dengan meggulir sosial media, mencari sesuatu dan berhenti kala menemukan postingan yang membuatnya tertarik. Sampai pada akhirnya...."Bas, nanti makan siang di mana? Ini mau ke mana dulu?"Tak berniat menguping, tapi bagaimana lagi, Nala juga memiliki telinga yang masih berfungsi dengan baik."Nggak tau juga sih mau ke mana dulu? Belanja atau wisata alam? Ada pantai di deket sini. Atau mau lihat gua, lupa nama guanya apa, tapi lumayan makan waktu kalau dari sini, deketan ke
Malam itu Nala benar-benar memutuskan untuk pulang tanpa niat memberitahu Bastian, bukan hal penting. Untung saja semesta seakan mendukung keputusan Nala, di dalam tas miliknya ada kartu yang tempo hari Bastian serahkan padanya, sedikit ia gunakan untuk kembali pulang ke Jakarta.Sengaja Nala mematikan ponselnya, ia tak ingin perjalanan pulangnya terganggu oleh hal lain. Raut wajahnya begitu buruk, tak ada senyuman sedikitpun di sana. Ia hanya duduk manis di pesawat dengan terus berusaha memejamkan kedua matanya. Sesampainya di Jakarta pun Nala langsung mencari taksi untuk membawanya pulang ke rumah.Hampir pukul lima pagi saat Nala benar-benar sampai di kamarnya. Tubuhnya terasa begitu lelah, membuatnya langsung memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, sengaja menggunakan air dingin agar lebih segar dan energinya terisi kembali."Dingin," gumamnya dengan suara pelan. Tubuhnya menggigil, ditambah dengan kini ia hanya memakai pakaian pendek.Tubuh itu dilemparkan dengan kasar ke atas ra
"Makasih, Wa."Setelah menempuh perjalanan cukup lama, Nala pun keluar dari mobil Dewa usai mengembalikan jaket yang tadi sengaja dipinjamkan Dewa padanya. Kata Dewa dingin, karena Nala memang hanya memakai atasan crop top, meskipun Nala menolaknya karena terbiasa dengan pakaian seperti ini, tapi tampaknya Dewa tak rela membiarkan hawa dingin menghunus kulit putih Nala.Melangkahkan kaki tanpa beban, sampai akhirnya langkah kaki kecilnya harus terhenti kala netranya menangkap sosok Bastian yang duduk di sofa dengan nuansa mencekam, tatapan itu begitu tajam padanya."Dari mana?""Rumah temen," balas Nala apa adanya."Duduk."Nala yang hendak melangkahkan kakinya itupun kembali menoleh ke arah Bastian. "Apa? Gue capek."Mendengar penolakan itu membuat Bastian bangkit dari posisi duduknya. "Nggak cuma kamu yang capek, Nala. Saya juga, saya kerja terus pulang dadakan gara-gara kamu."Meskipun benar demikian, namun nampaknya kata-kata itu tak dapat ditangkap dengan baik oleh penalaran Nala
"Di mana?" Kening Bastian berkerut mendengar panggilan seseorang di seberang sana. "okay."Panggilan terputus, Bastian lekas menoleh ke arah Nala yang masih sibuk mengunyah mie kuah buatannya. Ya, untuk kedua kalinya dalam hari ini Nala kembali memakan makanan itu, tak ada pilihan lain, mie instan jauh lebih enak baginya ketimbang spaghetti buatan Bastian tadi.Mendadak bibir Bastian menjadi kaku, agak tak enak hati sebenarnya, tapi apa boleh buat, ia tak memiliki pilihan lain untuk saat ini. "Ehemm, Nala, Saya mau keluar sebentar, jemput Sonya. Nanti saya pulang, janji."Gerakan mulut Nala dalam mengunyah makanan itupun terhenti. Otaknya memikirkan sesuatu sebelum mulutnya merealisasikan jawabannya. Ia sudah kalah tempo hari, tak boleh ada lagi kekalahan dalam hidupnya. "Bandara?" Bastian menganggukkan kepala membenarkan tebakan Nala. "ikut.""Yakin?" tanya Bastian memastikan. Agaknya ini bukan waktu yang tepat, jika Nala dan Sonya bertemu, maka kemungkinan besarnya kedua wanita itu
Usai menyantap nasi goreng di pinggir jalan, Nala dan Bastian pun kembali ke rumah dengan perut terisi penuh."Om, besok masih libur, kan?"Bastian yang ditodong dengan pertanyaan seperti itupun lekas menoleh ke arah Nala dan menganggukkan kepalanya singkat. "Iya, kenapa?""Om masih ngerasa bersalah, nggak? Gue masih belum maafin soalnya. Makanan yang Om buat nggak enak."Ujung bibir Bastian tertarik, terdengar lucu di telinganya. "Iya, maaf. Jadi, saya harus gimana biar dimaafin, hm?""Emmm ... besok tuh aku pengen produktif. Kayak yang pagi-pagi work out, terus sambung masak sesuatu, nonton, dan yang lain-lain gitu.""Iya, boleh. Sesenengnya kamu aja, nikmati liburnya."Mendengar jawaban yang sama sekali tak diinginkannya itu lekas membuat Nala melirik tajam ke arah Bastian, berdecak dengan jelas hingga membuat Bastian kembali menoleh sekilas ke arahnya. "Hihhh. Gue ngomong gitu tuh ya maksudnya temenin, Om. Anggap aja sebagai bentuk permintaan maaf." Dirogohnya dengan kasar ponseln
Hari ini Bastian benar-benar menepati janjinya, dimulai dari jam enam pagi, Nala sudah bangun dan menggedor-gedor pintu kamar Bastian cukup kuat. Membangunkan pria itu dengan satu-satunya cara yang bisa dilakukan Nala.Agak terkejut sebenarnya saat melihat Bastian yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada datang menghampirinya untuk membukakan pintu. Bagaimana tidak kaget? Perutnya itu loh, kotak-kotak mantap.Work out yang keduanya lakukan salah satunya adalah berlari kecil di sekitaran rumah dan berlanjut dengan alat-alat gym milik Bastian yang ada di belakang."Capek, Om," keluh Nala dengan keringat deras mengucur dari keningnya."Iya, udah kok." Bastian pun bangkit dan meninggalkan alat terakhirnya, menghampiri Nala dan menyidorkan segelas air putih. "nanti lanjut apa acaranya?"Tak langsung menjawab, napas Nala masih begitu memburu. Dengan santainya Bastian meraih handuk kecil dan digunakannya untuk menyeka keringat Nala, perhatian kecil dan membuat Nala kembali ters
4 bulan kemudian ...."Om, ini gue bawain sekalian buat makan siang. Nanti ada rencana nongkrong sama temen-temen."Bastian yang tengah mengunyah makanan itupun lekas menoleh ke arah Nala. "Jam berapa pulangnya?""Ya, nggak tau juga. Btw, Om tau nggak hari ini tuh hari apa?" tanya Nala sembari mendudukkan bokongnya di samping Bastian, meraih segelas jus apel buatannya dan lekas menenggaknya."Selasa."Ya, memang benar sih ini hari selasa, tapi maksud Nala tuh bukan yang begini. Ada keheningan setelahnya, Nala sendiri tak lagi menimpali jawaban Bastian barusan. Ujung netranya melirik ke arah ponselnya, belum sempat menyala karena pesan masuk, Nala sudah terlebih dahulu meraihnya."Jangan terlalu malem pulangnya." Nala mendengar ucapan itu, tapi enggan merespon, fokusnya kini hanya tertuju pada sebuah pesan yang baru masuk.Tangan kanannya meraih tote bag miliknya dan lekas dimasukkan ponselnya tersebut ke dalamnya. "Ayo, Om. Nanti nggak usah di jemput.""Iya, nggak. Ada kerjaan di luar