Menjelang maghrib Nala baru menginjakkan kaki di rumah, kakinya terasa lemas sekali, bahkan menarik kopernya pun seperti tanpa tenaga. Saking tidak fokusnya Nala sampai-sampai ia tak menyadari akan kehadiran seseorang yang menyoroti setiap langkah kakinya."Baru pulang?"Suara bariton yang beberapa hari ini tidak didengar Nala membuatnya menghentikan langkah kaki, menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki itu menyandarkan lengan kirinya pada tembok. Sepertinya Bastian sudah berada di rumah sejak tadi, lihatlah sekarang dia hanya memakai celana pendek selutut dengan kaos oblong rumahan."Hmm." Pada akhirnya Nala hanya membalasnya dengan deheman. Kepalanya terasa penuh dan lelah tubuh karena perjalanan membuatnya tak berniat membuang energi lagi. Jelas-jelas ia terlihat baru pulang, kenapa masih bertanya, sih?Sedangkan Bastian yang sudah dilanda gelisah sejak mengetahui istrinya pergi berlibur tanpa izin darinya itupun tak puas dengan jawaban Nala. Buru-buru ia mencekal lengan itu kala N
"Om nggak lagi nyewa cewek buat dibawa nge-room, 'kan?"Pupil mata Bastian membesar kala mendengar tuduhan Nala barusan, harusnya semakin ke sini ia harus semakin terbiasa dengan Nala yang seperti ini. Diletakkannya nampan yang berisi dua mangkuk bubur ayam itu di atas nakas, sebelum Bastian mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang.Takk"Akh!" Nala memekik kaget kala keningnya tiba-tiba disentil oleh Bastian. "sakit, Om!"Bukannya merasa bersalah atas ulahnya, Bastian justru terkekeh pelan. "Kamu ini kalau sama saya pikirannya jelek terus.""Wajar sih digituin, muka Om cocok," papar Nala. "udah! Sekarang jelasin semuanya dari awal sampai akhir." Nala merubah posisinya menjadi menghadap sepenuhnya pada Bastian."Waktu itu saya dihubungin sama temen saya, kaget banget. Jadi, langsung buru-buru ke Paris."Kening Nala berkerut mendengarnya. Kenapa ceritanya secepat kereta bawah tanah, sih? Kan nggak detail. "Wuss, stop!" Nala membungkam mulut Bastian dengan tangan kecilnya, bahkan telapa
Menjelang siang, merupakan waktu paling menyiksa untuk Nala. Pasalnya, pada periode datang bulan kali ini, tubuhnya terasa dihajar habis-habisan. Kakinya terasa pegal pada bagian betis, perutnya kram luar biasa, dan ditambah lagi tulang belakangnya terasa begitu linu. Komplit sudah penyiksaan ini."Nghh ... Hnggg. Ssttt." Perutnya diremas kuat, berharap rasa nyerinya akan segera berakhir. Keringatnya sudah membanjiri kening sampai area lehernya. Tubuhnya terus bergerak gelisah, sebab tak merasakan kenyamanan sedikitpun.Dengan tertatih-tatih, Nala turun dari ranjangnya, tubuhnya tak bisa berdiri tegap dan terus membungkuk, tulang belakangnya terasa semakin ngilu saja, sakit. Alhasil, Nala berusaha kuat untuk membalikkan tubuhnya, mencoba posisi kayang agar tulang belakangnya tak lagi terasa ngilu. Hampir sepuluh detik Nala bertahan dalam posisi ini, cukup memerlukan banyak usaha, ditambah dengan Nala yang sengaja menahan nafasnya supaya rasa sakit yang melanda tubuhnya teredam.Ceklek
Saat Nala memilih untuk sambung tidur part 2, Bastian pun terbangun karena merasa sesak saat bernafas, saat bangun ternyata hidungnya tertutup oleh dahi Nala. Dengan amat pelan Bastian mendorong pelan kepala Nala--akhirnya Nafasnya kembali lega."Nghhh--" Nala mengerutkan keningnya dengan mata mengerjab pelan. Perlahan lahan-lahan kedua mata cokelatnya itu terlihat, meskipun sangat kecil karena menyipit. "Om udah bangun?" Sebenarnya Nala tak benar-benar tertidur, susah karena sebelumnya telah terbangun. Ia pun merubah posisinya menjadi duduk."Kenapa bangun? Tidur lagi aja." Bastian hendak menarik pelan lengan Nala, namun perempuan itu justru menepisnya lembut. Alhasil, Bastian pun ikut merubah posisinya menjadi duduk.Tangan besar Bastian terulur untuk menyusup masuk ke celah-celah rambut Nala, mengusapnya pelan dan memberi pijitan lembut di sana. Rasanya nyaman sekali sampai-sampai membuat Nala memejamkan mayanya karena terlena. Dalam diamnya Nala dan pejaman matanya, tanpa sengaja
"Cantik banget, badjingan.""Loh? Bas, kenapa nggak langsung masuk aja?"Suara lembut menyapa rungu Nala, padahal sudah terlihat jelas dari raut wajahnya kalau perempuan itu terkejut, tapi kenapa nada bicaranya tidak ikutan naik?Dari penglihatan Nala, wanita itu pembawaannya anggun, berbeda dengan dirinya yang awur-awuran. Bahkan, dari cara berpakaiannya pun berbanding terbalik dengannya. Dress selutut dengan rambut panjang tergerai indah, senyumannya pun tampak manis saat Bastian menyodorkan makanan yang tadi di belinya."Makasih, ya, Bas. Tadi bingung banget, kenapa malah dibawain sup ayam, emangnya sejak kapan aku makan itu." Kekehan pelan diujung kalimatnya langsung ditutup dengan kepalan tangannya, seperti tak akan membiarkan mulutnya terbuka lebar. Pembawaannya terluhat sangat lembut, bahkan saat menyingkirkan sesuatu yang menempel di pundah Bastian.Eh! Kenapa malah terpesona dengan perempuan itu, sih. Tidak boleh! Nala langsung menggelengkan kepalanya, meskipun memang berbeda
Bastian langsung meraih lengan Nala dengan kasar. "Kamu kurang ajar banget, Nala! Nggak diajarin sopan santun sama orang tua kamu, hah!" bentak Bastian dengan raut wajah penuh api amarah.Netra cokelat Nala perlahan-lahan mulai mengabur, kerongkongannya tiba-tiba terasa tercekat, dadanya sakit, dan nafasnya mulai terasa berat. Pandangan matanya tak lepas dari sorot mata yang menampakkan kilatan amarah di sana."Ayo! Sekarang kita pulang!" Tanpa ba bi bu lagi, Bastian langsung menarik kasar lengan Nala tanpa menghiraukan rintihan pelan dari Nala.Beberapa kali Nala hampir terjatuh kala kakinya tersandung oleh kakinya yang lain, namun Bastian masih kekeh menarik tangannya, menahan tubuh Nala agar tidak tumbang."Sak-it, O-om." Nala berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari lengannya, namun semuanya berakhir sia-sia. Laki-laki itu sama sekali tak berniat melepaskan tangannya begitu saja.Sakit. Nala merasakan tubuhnya sakit, hati dan fisiknya sempurna sakitnya. Selama hidup di
"Nal-Nala?"Tok ... tok ... tokBastian mengetuk pintu kamarnya dengan pelan dan berhati-hati, rungunya terpasang dengan baik untuk mendengarkan setiap suara yang berasal dari dalam kamar. Memang benar ini kamarnya, namun selama lima hari ini ia terusir dari tempat ternyamannya dan harus mengungsi ke ruang tengah untuk menghabiskan malam setiap hari. Tak apa, sungguh ia tak kesal sama sekali, ini pantas untuknya."Nala, udah siang, kamu belum sarapan, makan dulu, ya?"Selama lima hari ini pula Bastian membawa semua pekerjaannya ke rumah. Sengaja agar ia tak jauh dari Nala, meskipun perempuan itu lebih sering pulang malam sekedar untuk menghindarinya. Sekali lagi tak apa, setidaknya ia selalu menghidangkan makanan agar Nala tak perlu repot-repot memasak. Bukan hanya itu saja, mencuci pakaian, mengurus semua perkerjaan rumah juga sudah tugasnya."Maaf, Nala. Saya buka pintunya, ya?" Rasa cemas terus menjalar dipikiran Bastian. Hari ini Nala bolos kuliah dan tak keluar sejak semalam, apa
"Hah?""Mulai sekarang panggil gue Sayang, Om!""Eh--" Bastian menggelengkan kepalanya. "Nal--""Iya, Mas Bas?"Aduh. Mendadak tubuh Bastian bergeridik ngeri mendengar panggilan Nala barusan. Gimana, ya bilangnya. Panggilan Nala barusan tuh kayak 'Mas' nya mengalun kayak cewek manja, sedangkan pada 'Bas' belakangnya kayak ada desisan selama 2 detik, fasih sekali ngomong 'S'Sialnya, panggilan Nala barusan malah terus berputar di otak Bastian layaknya kaset yang berulang kali diputar. Terngiang-ngiang.Bastian tersentak kaget kala merasakan lengannya digoyang pelan. "Ya, Mas Bas." Susah payah Bastian menenggak ludahnya melihat ekspresi Nala yang dibuat manja-manja gemas. Lalu mengerucutkan bibirnya beberapa senti kala yang diajak bicara tak kunjung memberi jawaban. "yah! Berati nggak niat minta maaf. Padahal ini tuh syatat biar dimaafin." Dihempaskan lengan besar itu sebelum membuang pandangan ke arah lain."Eh--Iya, boleh." Bastian langsung menarik pelan pundak Nala agar menatap ke ar