Aku memilih blouse yang potongan dadanya sedikit aman meski tidak terlalu aman dengan paduan hotpants. Karena selain kedua outfit tersebut yang lain amat sangat tidak aman untuk digunakan. Belahan dada yang terlihat saat menggerakan tangan bahkan ada gaun pesta yang bagian punggungnya terbuka lebar.
Selama perjalanan menuju rumah tidak ada yang membuka suara sama sekali. Kami berdua sama-sana terdiam dengan pikiran kami masing-masing.
Aku menatap jalanan yang menuju ke pusat kota. Dan ternyata kami berhenti disalah satu kawasan apartmen mewah.
Apa bangunan ini yang disebut rumah?
Tempat yang sangat luar biasa dengan dinding-dinding yang terbuat dari kaca membuat sinar matahari terpantul cantik dengan sempurna sampai masuk ke dalam. Barang-barang mewah yang terkena siluet sinar matahari terlihat berkilauan sampai aku sendiri takut untuk menyentuhnya. Menghabiskan berapa uang untuk mengganti jika aku berani menghancurkan barang-barang itu?Aku segera melangkah masuk menatap ke sekeliling ruangan -penthouse di sebuah apartment mewah memang tidak mengecewakan- dengan segera aku mengernyit. Tidak ada satu hal pun yang dapat aku ingat di sini. Benarkah ini bangunan yang aku tinggali? Kenapa semuanya tampak asing."Di mana kamar kita?" Mataku menatap Tama karena bertanya. Dengan cepat kusembunyikan ekspresiku agar kekhawatiranku tidak terlihat."Di lantai atas, kamar pertama sebelah kiri ... "Aku mulai menaiki tangga yang bagian pinggirnya terbuat dari kaca. Juga meninggalkan Tama di belakang sana dengan kalimat yang belum selesai dia ucapkan.Jantungku berdetak lebih cepat. Tidak sabar ingin mengetahui tentang masa laluku. Aku membuka pintu yang tadi Tama maksud dan disambut dengan ranjang besar di tengah ruangan. Sontak membuatku langsung berhenti melangkah seketika. Aku menatap ranjang tersebut mencoba mengingat hal-hal yang sekiranya pernah aku lakukan sebelumnya di tempat ini tapi tidak ada yang dapat kuingat. Kemudian mataku mulai meniti ruangan ada dua pintu lagi di dalam kamar ini. Pintu pertama adalah sebuah kamar mandi dengan jacuzzi, setelah menatap sebentar aku langsung keluar.
"Kamu cari apa?" Tama bertanya.Aku cari tahu tentang aku. Ingin rasanya aku meneriakkan kalimat itu di depan wajah datar milik Tama."Pintu satu lagi isinya apa?" Aku balik bertanya bersiap untuk membuka."Wardrobe."Aku membuka pintu yang dimaksud. Satu Dinding dipenuhi dengan pakaian pria sisanya berisi pakaian dan pernak-pernik wanita. Aku mengulurkan tangan mengambil salah satu dress merah terdekat. Dress itu memiliki potongan leher rendah v line dengan bagian samping bercelah tidak wajar terlihat tidak senonoh dan amat sangat mengesalkan untuk dilihat. Bahkan semua sepatu di sini memiliki heels lebih tinggi dari lima centi tidak ada flat shoes.
Pandanganku beralih ke sudut yang lain. Beberapa lingerie tertata rapi bentuknya hampir sama seperti dress-dress yang ada di sini."Who are you?" tanyaku frustasi. Pakaian di sini tidak jauh beda dengan pakaian yang tadi dibawakan Tama. Tidak masuk akal rasanya jika aku benar-benar menggunakan pakaian seperti ini.Aku berbalik menatap Tama yang masih memperhatikanku dalam diam. Banyak pertanyaan yang berseliweran dalam benakku, saat aku membuka mulut untuk bertanya suara dobrakan pintu terdengar nyaring aku segera menatap keluar kamar, "Kamu ngundang tamu?"Tama menggeleng pelan dia juga tidak tahu."Nggak."Dia berjalan keluar. Aku yang melihat dia pergi merasa kacau sendiri karena tidak dapat mengingat apapun meski sudah pulang ke rumah. Dari kamar ini aku dapat mendengar langkah kaki Tama yang menuruni tangga."Mana dia?!" suara penuh emosi itu terdengar sampai kamar."Mi. Kita baru sampai lho," itu suara Tama.Mamanya ada di sini?Dengan cepat aku segera beranjak keluar untuk menemui mama mertuaku berharap ada sedikit informasi yang akan aku dapatkan nanti. Dari lantai dua aku dapat menyaksikan Tama dan mamanya sedang beradu argument entah apa yang mereka bicarakan satu yang pasti ku tahu mereka tengah membicarakanku karena namaku disebut beberapa kali.Wanita setengah abad yang masih tampak cantik di usianya kini masih asyik mengutarakan kekesalannya membuat wajah Tama memerah seketika. Beliau memaksa untuk menemuiku meski Tama menolak keras.Tampaknya dengan hubungan rumit seperti ini kami bertiga tidak dapat disebut keluarga."Mama mau bicara sama dia! minggir kamu Tama!""Dia amnesia ma. Mama mau ngomong sama dia juga dia nggak bakal ingat," kalimat Tama membuat mamanya berdecak.Sebenarnya kenapa? Apa yang sudah terjadi dengan keluarga ini. Penjelasan Tama yang terkesan melindungiku membuat mamanya terlihat semakin marah."Terus kamu masih mau nampung dia? Enak banget jadi dia. Mau sampai kapan kamu kasih perlindungan untuk pelacur itu?"Apa tadi katanya? Pelacur? Itu sebutan buat aku?Saat aku kembali menatap mereka Tama dan mamanya sudah menatapku. Pria yang katanya suamiku itu menatapku dengan tajam membuatku terkejut dan melangkah mundur."Aluna!""Kamu!"Mamanya Tama dan Tama memanggilku serempak tapi fokusku mengarah pada mama Tama. Beliau menatapku penuh emosi, tatapan marah dan jijik terpancar di sana."Berani-beraninya kamu pulang ke sini. Kamu nggak malu? Lupa sama kelakuan menjijikan kamu? Kamu itu udah mencoreng nama baik keluarga saya!"Tama menahan tangan mamanya saat perempuan paruh baya itu akan melangkah mendekatiku."Please ma. Stop it.""Kamu masih belain dia? Kamu anak Mama dengerin kata-kata Mama coba. Kamu itu diperalat sama dia.""Mending Mama pergi dari sini. Jangan buat ribut.""Tama. Kamu nggak sopan ya sama Mama.""Kalau Mama nggak mau pergi sekarang Tama bakal panggil security buat seret Mama keluar dari rumah Tama," suara Tama yang berteriak tiba-tiba membuatku menciut."Mama ini Mama kamu Tama! Kamu berani usir Mama?" Mamanya Tama menatap putranya tidak percaya."Istri Tama lagi hamil, kalo Mama kesini cuma mau cari ribut Tama nggak bakal ngizinin. Jadi, selagi kita masih bisa ngomong baik-baik lebih baik Mama pergi sekarang."Mamanya Tama menatapku dengan ekspresi kesal membuatku secara reflek mengangkat tangan untuk memeluk perutku yang masih datar, naluri seorang ibu yang ingin melindungi anaknya tanpa sadar telah terpantri di otakku."Kenapa kamu yakin kalau itu anak kamu?" ada ejekan di balik pertanyaan beliau dan kalimat itu berhasil menyentilku. Lututku lemas seketika."PERGI!"Aku tersentak kaget mendengar teriakan Tama. Selama tersadar dari koma sampai saat ini aku tidak pernah mendengar Tama menaikan nada suaranya. Meski terlihat dingin dia sangat menjaga sopan santunnya dan selalu berbicara dengan nada yang stabil.Tanpa alasan yang jelas tiba-tiba aku merasa takut, tubuhku hampir saja meluruh saat membayangkan apa yang mama Tama bicarakan tadi. Jika benar aku seorang pelacur lantas mengapa aku bisa berada di sini? Di tempat yang tidak mungkin sembarang orang bisa masuk.Siapa aku sebenarnya?Siapa kamu Deftia Aluna-Irfandi?Apakah benar aku sejahat itu? Kenapa semuanya terasa rumit untuk dicerna."Udah sayang. Nangisnya udahan yuk," bujuk Tama yang kini tengah memeluk Luna yang masih menangis setelah melihat keadaan anak-anak mereka tadi. Keadaan ketiganya yang nampak mengenaskan itu malah semakin membuat tangis Luna semakin awet.Rambut hitam legam nan mengkilap milik triplet yang sudah dirawatnya sepenuh hati sejak mereka lahir telah raib dalam satu hari benar-benqr telah menjandi cobaan tersendiri bagi Luna. Entah bagaimana ceritanya sampai mereka bisa mendapatkan alat cukur milik Tama yang mana berhasil ketiga gunakan dengan teramat baik itu."Huhuhu, rambut anak-anak aku sayang. Habis... Alis Raka juga ikutan hilang sayanggg. Aku enggak rela. Huhuhu.." isak Luna sambil menyembunyikan wajahnua dj dada Tama. Tama sendiri tengah mengehela nafas sambil menatal ketiga putranya yang sibuk bermain. Mereka tidak ambil pusing dengan penampilan baru mereka. Yang lebih terlihat stress dan tertekan adalag Luna. Tama berulang kali mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, tapi berak
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit