Share

Kejanggalan Pertama

Author: Kara
last update Huling Na-update: 2022-10-16 12:15:15

Aku memilih blouse yang potongan dadanya sedikit aman meski tidak terlalu aman dengan paduan hotpants. Karena selain kedua outfit tersebut yang lain amat sangat tidak aman untuk digunakan. Belahan dada yang terlihat saat menggerakan tangan bahkan ada gaun pesta yang bagian punggungnya terbuka lebar.

Selama perjalanan menuju rumah tidak ada yang membuka suara sama sekali. Kami berdua sama-sana terdiam dengan pikiran kami masing-masing.

Aku menatap jalanan yang menuju ke pusat kota. Dan ternyata kami berhenti disalah satu kawasan apartmen mewah.

Apa bangunan ini yang disebut rumah?

Tempat yang sangat luar biasa dengan dinding-dinding yang terbuat dari kaca membuat sinar matahari terpantul cantik dengan sempurna sampai masuk ke dalam. Barang-barang mewah yang terkena siluet sinar matahari terlihat berkilauan sampai aku sendiri takut untuk menyentuhnya. Menghabiskan berapa uang untuk mengganti jika aku berani menghancurkan barang-barang itu?

Aku segera melangkah masuk menatap ke sekeliling ruangan -penthouse di sebuah apartment mewah memang tidak mengecewakan- dengan segera aku mengernyit. Tidak ada satu hal pun yang dapat aku ingat di sini. Benarkah ini bangunan yang aku tinggali? Kenapa semuanya tampak asing.

"Di mana kamar kita?" Mataku menatap Tama karena bertanya. Dengan cepat kusembunyikan ekspresiku agar kekhawatiranku tidak terlihat.

"Di lantai atas, kamar pertama sebelah kiri ... "

Aku mulai menaiki tangga yang bagian pinggirnya terbuat dari kaca. Juga meninggalkan Tama di belakang sana dengan kalimat yang belum selesai dia ucapkan.

Jantungku berdetak lebih cepat. Tidak sabar ingin mengetahui tentang masa laluku. Aku membuka pintu yang tadi Tama maksud dan disambut dengan ranjang besar di tengah ruangan. Sontak membuatku langsung berhenti melangkah seketika. Aku menatap ranjang tersebut mencoba mengingat hal-hal yang sekiranya pernah aku lakukan sebelumnya di tempat ini tapi tidak ada yang dapat kuingat. Kemudian mataku mulai meniti ruangan ada dua pintu lagi di dalam kamar ini. Pintu pertama adalah sebuah kamar mandi dengan jacuzzi, setelah menatap sebentar aku langsung keluar.

"Kamu cari apa?" Tama bertanya.

Aku cari tahu tentang aku. Ingin rasanya aku meneriakkan kalimat itu di depan wajah datar milik Tama.

"Pintu satu lagi isinya apa?" Aku balik bertanya bersiap untuk membuka.

"Wardrobe."

Aku membuka pintu yang dimaksud. Satu Dinding dipenuhi dengan pakaian pria sisanya berisi pakaian dan pernak-pernik wanita. Aku mengulurkan tangan mengambil salah satu dress merah terdekat. Dress itu memiliki potongan leher rendah v line dengan bagian samping bercelah tidak wajar terlihat tidak senonoh dan amat sangat mengesalkan untuk dilihat. Bahkan semua sepatu di sini memiliki heels lebih tinggi dari lima centi tidak ada flat shoes.

Pandanganku beralih ke sudut yang lain. Beberapa lingerie tertata rapi bentuknya hampir sama seperti dress-dress yang ada di sini.

"Who are you?" tanyaku frustasi. Pakaian di sini tidak jauh beda dengan pakaian yang tadi dibawakan Tama. Tidak masuk akal rasanya jika aku benar-benar menggunakan pakaian seperti ini.

Aku berbalik menatap Tama yang masih memperhatikanku dalam diam. Banyak pertanyaan yang berseliweran dalam benakku, saat aku membuka mulut untuk bertanya suara dobrakan pintu terdengar nyaring aku segera menatap keluar kamar, "Kamu ngundang tamu?"

Tama menggeleng pelan dia juga tidak tahu.

"Nggak."

Dia berjalan keluar. Aku yang melihat dia pergi merasa kacau sendiri karena tidak dapat mengingat apapun meski sudah pulang ke rumah. Dari kamar ini aku dapat mendengar langkah kaki Tama yang menuruni tangga.

"Mana dia?!" suara penuh emosi itu terdengar sampai kamar.

"Mi. Kita baru sampai lho," itu suara Tama.

Mamanya ada di sini?

Dengan cepat aku segera beranjak keluar untuk menemui mama mertuaku berharap ada sedikit informasi yang akan aku dapatkan nanti. Dari lantai dua aku dapat menyaksikan Tama dan mamanya sedang beradu argument entah apa yang mereka bicarakan satu yang pasti ku tahu mereka tengah membicarakanku karena namaku disebut beberapa kali.

Wanita setengah abad yang masih tampak cantik di usianya kini masih asyik mengutarakan kekesalannya membuat wajah Tama memerah seketika. Beliau memaksa untuk menemuiku meski Tama menolak keras.

Tampaknya dengan hubungan rumit seperti ini kami bertiga tidak dapat disebut keluarga.

"Mama mau bicara sama dia! minggir kamu Tama!"

"Dia amnesia ma. Mama mau ngomong sama dia juga dia nggak bakal ingat," kalimat Tama membuat mamanya berdecak.

Sebenarnya kenapa? Apa yang sudah terjadi dengan keluarga ini. Penjelasan Tama yang terkesan melindungiku membuat mamanya terlihat semakin marah.

"Terus kamu masih mau nampung dia? Enak banget jadi dia. Mau sampai kapan kamu kasih perlindungan untuk pelacur itu?"

Apa tadi katanya? Pelacur? Itu sebutan buat aku?

Saat aku kembali menatap mereka Tama dan mamanya sudah menatapku. Pria yang katanya suamiku itu menatapku dengan tajam membuatku terkejut dan melangkah mundur.

"Aluna!"

"Kamu!"

Mamanya Tama dan Tama memanggilku serempak tapi fokusku mengarah pada mama Tama. Beliau menatapku penuh emosi, tatapan marah dan jijik terpancar di sana.

"Berani-beraninya kamu pulang ke sini. Kamu nggak malu? Lupa sama kelakuan menjijikan kamu? Kamu itu udah mencoreng nama baik keluarga saya!"

Tama menahan tangan mamanya saat perempuan paruh baya itu akan melangkah mendekatiku.

"Please ma. Stop it."

"Kamu masih belain dia? Kamu anak Mama dengerin kata-kata Mama coba. Kamu itu diperalat sama dia."

"Mending Mama pergi dari sini. Jangan buat ribut."

"Tama. Kamu nggak sopan ya sama Mama."

"Kalau Mama nggak mau pergi sekarang Tama bakal panggil security buat seret Mama keluar dari rumah Tama," suara Tama yang berteriak tiba-tiba membuatku menciut.

"Mama ini Mama kamu Tama! Kamu berani usir Mama?" Mamanya Tama menatap putranya tidak percaya.

"Istri Tama lagi hamil, kalo Mama kesini cuma mau cari ribut Tama nggak bakal ngizinin. Jadi, selagi kita masih bisa ngomong baik-baik lebih baik Mama pergi sekarang."

Mamanya Tama menatapku dengan ekspresi kesal membuatku secara reflek mengangkat tangan untuk memeluk perutku yang masih datar, naluri seorang ibu yang ingin melindungi anaknya tanpa sadar telah terpantri di otakku.

"Kenapa kamu yakin kalau itu anak kamu?" ada ejekan di balik pertanyaan beliau dan kalimat itu berhasil menyentilku. Lututku lemas seketika.

"PERGI!"

Aku tersentak kaget mendengar teriakan Tama. Selama tersadar dari koma sampai saat ini aku tidak pernah mendengar Tama menaikan nada suaranya. Meski terlihat dingin dia sangat menjaga sopan santunnya dan selalu berbicara dengan nada yang stabil.

Tanpa alasan yang jelas tiba-tiba aku merasa takut, tubuhku hampir saja meluruh saat membayangkan apa yang mama Tama bicarakan tadi. Jika benar aku seorang pelacur lantas mengapa aku bisa berada di sini? Di tempat yang tidak mungkin sembarang orang bisa masuk.

Siapa aku sebenarnya?

Siapa kamu Deftia Aluna-Irfandi?

Apakah benar aku sejahat itu? Kenapa semuanya terasa rumit untuk dicerna.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yono Tuembel
kok bisa kosong pikirannya...
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Ada apa sebenernya dg masa lalu Luna. Apa sebenernya yg buat dia hilang ingatan
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Menyembunyikan Hubungan

    Langkah kaki Kyla terdengar cepat saat ia memasuki ruang ganti rumah sakit. Seragam putihnya rapi, rambutnya ia ikat tinggi seperti biasa, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang sedikit lebih kaku. Ia melirik ke arah Gibran yang berjalan di sampingnya sambil menyodorkan botol air.“Jangan dekat-dekat begini di rumah sakit,” bisik Kyla, suaranya terdengar waspada. “Aku nggak mau orang-orang mulai bergosip.”Gibran menahan tawa, meski bibirnya sedikit terangkat. “Aku cuma nemenin kamu masuk. Kita kan baru aja dari kantor catatan sipil, Ky. Aku cuma pengen pastiin kamu nggak kelihatan terlalu gugup.”Sejak hari ini keduanya memutuskan untuk mengganti panggilan mereka. Tidak ada lagi lo-gue ketika berkomunikasi berdua.“Justru itu masalahnya." Kyla melirik sekeliling. Beberapa perawat lewat dan menatap mereka sekilas. “Kamu nggak boleh sering-sering muncul di sini. Apalagi sekarang lagi ada seleksi buat posisi dokter spesialis umum. Aku nggak mau rekan sejawat mikir aku aji mumpung.”Gibran

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Piknik Seru di Taman Kota

    Sinar matahari pagi menembus tirai ruang keluarga sehingga menciptakan garis-garis emas di lantai. Aluna berdiri di dekat jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Ia menarik napas panjang, menikmati aroma segar dari halaman yang basah oleh embun. Hari ini cuaca terasa berbeda langit biru bersih, angin lembut, dan suara burung bersahut-sahutan.Tama baru saja keluar dari kamar, masih menyingsingkan lengan kaus putihnya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi senyum santainya muncul begitu melihat istrinya. Aluna menoleh, matanya berbinar. “Pa, lihat deh. Cerah banget. Kalau kita nggak keluar rumah rugi, lho.”Tama mendekat, menepuk bahunya pelan. “Kamu kepikiran piknik?”Aluna mengangguk antusias. “Iya. Udah lama kita nggak makan di luar bareng anak-anak.”Biasanya akan ada jadwal untuk mereka makan di luar bersama walau pun hanya sekedar di depan halaman rumah. Bukan hal yang mahal tapi sangat istimewa untuk semuanya.Sementara itu, di lantai ruang keluarga, keranjang piknik ko

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Menyerbu Kantor Papa (Part 2)

    Saat pada akhirnya semua orang keluar dari ruangan, Tama berakhir dengan terduduk di kursi rapat, melepas dasi. Triplets berlari-lari di sekeliling meja, seolah ruangan itu sekarang taman bermain mereka. Bahkan mereka tidak peduli bagaimana raut wajah yang penuh keprasahan itu tercetak di waja Tama.Randy mendekat sambil tertawa kecil. “Pak, sejujurnya… itu rapat paling menghibur sepanjang karier saya.”Tama hanya bisa mengusap wajahjya kasar. "Saya jadi bingung harus baangga atau malah malu."Tiba-tiba Raka datang menghampiri, menarik ujung jas Tama. “Pa, kita seru kan di kantor Papa?”Tama tidak bisa menahan senyum. “Iya, seru banget. Papa nggak akan lupa hari ini.”Rama menunjuk papan tulis yang penuh coretan krayon. “Itu karya kita, Pa. Biar kantor Papa cerah.”Rajen menambahkan, “Besok kita boleh ikut lagi?”Tama tertawa lepas. “Hmm… kayaknya Papa perlu rapat dulu sama Bunda buat jawab itu.” Karena saat mengiyakan, sudah pasti dirinya sendiri yang akan pusing dengan tingkah ajaib

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Menyerbu Kantor Papa

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap lewat tirai jendela kamar Tama dan Aluna. Di meja kerja kecil di sudut kamar, beberapa dokumen penting sudah tertata rapi. Tama—atau Papa—baru saja menerima telepon dari asistennya yang mengingatkan bahwa hari ini ada pertemuan penting dengan para investor besar. Biasanya, ia akan berangkat sendiri dan memastikan rumah tenang. Tapi pagi itu berbeda: Aluna sedang ada janji dengan dokter gigi, dan pengasuh pembantu yang biasa datang mendadak izin.“Bun, gimana ini? Aku harus berangkat sebentar lagi,” kata Tama sambil merapikan dasinya.Aluna menoleh sambil menggenggam tangan Rajen yang baru bangun. “Aku nggak bisa batalin jadwal dokter. Mereka udah atur sejak bulan lalu. Kamu bisa nggak bawa mereka sebentar aja? Rapatnya kan nggak terlalu lama, ya?”Tama memandang ketiga malaikat kecil yang sedang berguling-guling di atas karpet. Raka sudah memegang mobil mainan, Rama menarik bantal, dan Rajen sedang mencoba memakai kaus kebalik. Mereka tampak begitu

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Petak Umpet Bersama Papa

    Pagi itu, udara di rumah terasa segar. Matahari baru saja menembus jendela ruang tamu, menyinari lantai kayu yang bersih (atau setidaknya sebagian besar sudah bersih setelah drama tepung beberapa hari lalu). Raka, Rama, dan Rajen sudah bangun lebih pagi dari biasanya, seperti mendapat sinyal khusus dari tubuh kecil mereka bahwa hari ini akan ada keseruan baru.Aluna sendiri sedang menyiapkan sarapan sederhana—roti panggang, selai stroberi, dan susu hangat—sementara Tama duduk di sofa sambil menatap ketiganya dengan senyum penuh rencana. Hari ini dia punya ide permainan yang ia janjikan kemarin malam: petak umpet di rumah. Bagi Tama, ini bukan sekadar permainan biasa. Ini adalah “misinya” untuk melatih konsentrasi dan kerja sama di antara mereka.Walaupun dia tahu, sudah bisa ditebak rumah akan kacau kembali jika kegiatan baru akan dilaksanakan.“Raka, Rama, Rajen, hari ini kita main sesuatu yang seru, ya,” kata Tama sambil menatap mata ketiganya. “Ada permainan baru namanya petak umpe

  • Mendadak Hamil Setelah Bangun dari Koma   Belajar Bernyanyi

    Pagi itu rumah sudah mulai terasa agak tenang setelah ribut-ribut sarapan. Tapi tenang versi keluarga Raka, Rama, dan Rajen tentu tidak sama dengan rumah biasa. Bagi mereka, “tenang” berarti tidak ada tangisan, dan rebutan. Melainkan tawa keras, langkah kaki kecil berlarian di lantai keramik, dan suara mainan yang dipukul-pukul seolah benda itu adalah drum.Aluna duduk di ruang tamu sambil memunguti mainan yang tercecer. Tangannya meraih gitar kecil hadiah ulang tahun dari Bi Susan yang kini sudah menjadi nenek bagi triplet.“Oke, hari ini kita belajar nyanyi, ya. Raka, Rama, Rajen, sini kumpul sama Bunda!” serunya dengan nada penuh semangat.Ketiganya langsung menghampiri. Raka paling depan dengan wajah penuh antusias. Rama datang dengan membawa boneka dinosaurus hijau yang warnanya sudah pudar. Rajen? Tentu beda sendiri. Ia malah menyeret sendok besar bekas sarapan.“Nyanyi apa, Bun?” tanya Raka dengan suara lantang.“Kita coba lagu yang gampang dulu. ‘Balonku Ada Lima’, mau?” jawab

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status