Alih-alih langsung pulang, Nate mengajak Mariana berjalan menuju lounge terbuka di lantai atas hotel. Tempat itu sepi, hanya diterangi cahaya kuning temaram dari lampu gantung dan beberapa lilin di meja. Suasana malam yang tenang dengan angin yang lembut berembus membuat langkah mereka melambat.“Kamu tidak keberatan mengobrol sebentar di sini?” tanya Nate sambil menarik kursi untuk Mariana.Mariana menggeleng, ia duduk dengan senyum tipis. “Enggak sama sekali.”Mereka belum sempat berbicara lebih jauh saat ponsel Mariana bergetar. Sebuah panggilan video masuk dari Nadia.Mariana sontak menegakkan tubuh. “Maaf, ini dari Nadia.”“Silakan,” sahut Nate tenang.Mariana menekan tombol berwarna hijau dan layar segera menampilkan wajah Nadia yang tampak antusias dengan Elhan di pangkuannya.“Hai! Lihat siapa yang ingin menyapa Ibu Susunya!” seru Nadia dengan nada riang.Elhan muncul mengenakan jumper berbentuk kelinci—lengkap dengan telinga panjang yang menjuntai ke samping. Pipi bulatnya ke
Pagi datang dengan langit mendung dan kabut tipis yang menyelimuti jendela kamar hotel Mariana. Ia terbangun lebih awal hari ini. Meski belum sepenuhnya sadar, pikirannya langsung melayang pada kejadian semalam.Jantungnya masih berdebar. Ia tak mengerti kenapa bayangan Nate terus berputar di kepalanya. Padahal ia sudah menetapkan batas, menjaga jarak, tapi ada sesuatu dalam diri pria itu yang perlahan meruntuhkan pertahanannya.Baru saja kakinya menyentuh lantai, sebuah pesan masuk di ponselnya.[Sudah bangun? Sarapan bersama, kalau kamu belum makan.]Kalimatnya singkat. Datar. Khas Nate. Tapi cukup untuk membuat senyum kecil terbit di bibir Mariana. Ia menggigit bibir bawah, menatap layar sejenak, lalu membalas,[Belum. Oke.]Cukup singkat. Tapi detik berikutnya, Mariana menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin. Ia bahkan belum mencuci muka, sementara jantungnya berdebar seperti remaja yang akan pergi kencan pertama.Tapi, hey! Ini bukan kencan.“Sadarlah, Mari
Mariana keluar dari kamar Elhan setelah memastikan bayi lucu itu tertidur dengan tenang. Ia berjalan perlahan di lorong rumah sakit, ingin mencari udara segar dan mungkin secangkir kopi panas untuk menenangkan pikirannya.Namun langkahnya terhenti saat melihat dua sosok wanita berdiri di dekat lift—Bianca dan ibunya. Keduanya tampak baru kembali dari pemeriksaan rutin di poli kandungan. Bianca memegangi foto hasil USG di tangannya dengan wajah bangga.“Mariana?” panggil Ratna lebih dulu. “Kamu di sini?”Mariana sedikit kaget, tapi segera mengangguk sopan. “Iya, Bu.”“Loh, kamu sakit?”“Enggak, Bu. Elhan … dia dirawat di sini. Muntah dan demam sejak subuh.”“Oh, ya ampun. Kasihan sekali,” ujar ibunya dengan nada iba. “Boleh kami jenguk sebentar?”Mariana sempat ragu. Pandangannya kembali tertumbuk pada foto USG di tangan Bianca, lalu beralih pada sosok perempuan itu yang tengah menyesuaikan posisi jaketnya. Gerakan kecil itu justru membuat kaus ketat yang dikenakan Bianca semakin mempe
“Elhan sudah membaik. Dokter bilang dia cuma infeksi ringan karena virus,” kata Nate.Ayah Nate mengangguk. “Syukurlah. Kami sempat khawatir.”Mariana berdiri dan memberi ruang, tapi Arsita justru menggamit tangannya pelan agar tetap di tempat.Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, Arsita menyeletuk,“Rasanya, akan lebih baik kalau kamu jadi menantu di keluarga ini, Mariana.”Mariana sontak menoleh, matanya membulat kecil. Tapi sebelum ia bisa berkata apa pun, Nate langsung menyela cepat.“Ma.”Nada suaranya ringan, tapi ada tekanan halus yang jelas terasa, seperti ingin mencegah ibunya melangkah lebih jauh.Mariana tersipu, terkejut, tidak menyangka Arsita akan berkata seperti itu di tengah situasi ini. Seluruh wajahnya terasa mendidih panas, dan ia nyaris tak tahu harus memusatkan pandangan ke mana.Namun Arsita malah menambahkan dengan nada lebih serius. “Mama serius, Nathaniel. Kita semua menyukai Mariana … dan dia menyayangi Elhan dengan tulus. Tapi, mungkin justru Mariana yang tidak me
Kamar rawat inap itu tampak lebih cerah hari ini. Tirai terbuka lebar, membiarkan sinar matahari masuk dan membasuh ruangan dengan cahaya hangat.Seorang dokter muda baru saja keluar dari kamar setelah memberikan kabar baik. Kondisi Elhan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka kembali. Nate masuk dengan langkah ringan.“Aku sudah urus semuanya. Administrasi beres, resep obat juga sudah diambil,” katanya sambil tersenyum hangat pada semua orang. “Kalau begitu, kita bisa langsung pulang.”Mariana mengangguk pelan. Ia berdiri, lalu membenahi posisi Elhan di pelukannya.Namun saat mereka hendak keluar dari kamar, Arsita menoleh dan berkata, “Ngomong-ngomong, kita belum makan siang, 'kan? Gimana kalau mampir makan dulu sebelum pulang?”Mariana dan Nate saling pandang sebentar. Perut mereka memang belum terisi sejak pagi.“Boleh juga,” sahut Nate. Dan yang lainnya ikut setuju.***Restoran yang mereka datangi terletak di tengah kota, sebuah tempat yang
Langit pagi tampak cerah, dan udara masih membawa sisa embun semalam. Aroma wangi bunga melati dan mawar putih menyambut setiap tamu yang datang ke sebuah rumah besar di bilangan selatan kota—tempat diadakannya pesta pernikahan teman SMA Mariana, Ulfa.Suasana halaman luas yang ditata dengan dekorasi sederhana tapi elegan itu terasa hangat. Bukan hanya karena matahari yang mulai naik, tapi juga karena banyak wajah lama yang kembali berkumpul.Mariana berdiri di dekat taman kecil, berbincang dengan dua orang temannya yang dulu juga satu angkatan. Sesekali ia tertawa pelan, mengangguk sopan ketika menyambut teman-teman lain yang menyapanya.“Ulfa cantik banget hari ini, ya,” ucap Ratri, salah satu teman lama Mariana.“Cantik. Kayak nggak kelihatan ini adalah pernikahan keduanya setelah cerai tahun lalu.” Mariana ikut tersenyum kecil.“Iya. Kadang hidup tuh kayak gitu, ya. Jalan muter dulu baru nemu yang pas,” sahut Niken. “Kalau kamu gimana, Na? Udah ada kandidat baru?”Pertanyaan itu m
Setelah menempuh beberapa jarak, Mariana akhirnya tiba di kediaman Nate. Dengan langkah gontai, Mariana masuk ke rumah itu. Baru saja ia melepas sepatu di foyer, Mariana mendapati Nate berdiri di ruang tengah.Pria itu masih mengenakan kaos olahraga abu dan celana training hitam. Handuk kecil tergantung di lehernya, rambutnya sedikit basah karena keringat. Tatapannya langsung jatuh pada Mariana.“Mariana?” Nate langsung menghampiri. Alisnya bertaut khawatir. “Kamu kenapa? Wajahmu terlihat shock.”Mariana cepat-cepat menggeleng. “Enggak. Nggak ada apa-apa.”Nate menatapnya lebih dalam. “Kamu yakin?” Kamu kelihatan baik-baik saja saat berangkat, sekarang pulang malah seperti habis melihat hantu.”Mariana menghindari tatapan itu sekilas. Ia menarik napas lalu memaksakan senyum. “Hari ini jadi ‘kan ke arisan keluarga? Aku ganti pakaian dulu dan bersiap-siap,” ucapnya mengalihkan topik pembicaraan.Tanpa memberi Nate kesempatan bertanya lebih lanjut, Mariana langsung berjalan menuju kamarn
Hening terasa makin canggung. Beberapa orang saling melirik, sebagian lagi pura-pura sibuk dengan teh atau kudapan di tangan. Tak ada yang bicara, tapi Mariana bisa merasakan ketidaksetujuan yang terselip di balik senyum tipis dan tatapan sekilas.Arsita masih berdiri di sampingnya, genggamannya masih tak terlepas dari tangan Mariana. Ia menatap satu per satu wajah yang memandang mereka, lalu tersenyum kecil.“Aku hanya menyampaikan keinginanku,” ucap Arsita. “Saat ini, baik Nate ataupun Mariana sendiri tidak terpikir ke arah sana. Maaf sudah membuat suasana jadi canggung.”Arsita melirik sekilas ke arah Mariana, lalu ke Nate yang berdiri tak jauh dari mereka. “Maaf, Mama tidak bermaksud mendahului siapa-siapa atau bersikap lancang,” katanya pelan.Arsita melepas genggaman tangannya perlahan dan tersenyum hangat pada Mariana.Perlahan, suara-suara mulai terdengar kembali. Seseorang tertawa pelan di sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya mulai memuji kue lapis legit yang tersaji di m
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.“Jeslyn,” kata Nate dengan tegas. “Ini Mariana, ibu susu Elhan.”Ia berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, “Dan selain itu, Mariana juga kekasihku.”Wanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.“Tunggu,” seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. “Dia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?”Nate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.“Kenapa duduk di sini?” tanya Nate dengan lembut.“Aku nungguin kamu pulang,” jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. “Gimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?”Nate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. “Nathaniel ...?”Nate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.“Terkadang aku bertanya-tanya, Moonie,” kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. “Apakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.”Mariana mengerucutkan
Nate berlari menuju mobil dengan Mariana di pelukannya, sementara Rani mengikuti di belakang seraya menggendong Elhan. Nate menempatkan Mariana dengan hati-hati di kursi penumpang depan, lalu bergegas ke sisi pengemudi.Di sepanjang perjalanan, Mariana berusaha menahan rasa sakit yang makin menjadi. Darah masih mengalir dari lukanya, membuat Nate semakin gelisah.“Sayang, tahan sebentar. Kita hampir sampai,” ujar Nate tanpa sadar. Ia baru saja memanggil Mariana dengan sebutan itu di depan Rani.Rani yang duduk di belakang bersama Elhan sontak tercengang. Ia sudah mendengar desas-desus soal hubungan Nate dengan Mariana, tapi itu hanya berupa bisik-bisik yang tidak pernah punya bukti jelas. Namun, kali ini, ia mendengarnya langsung dari mulut Nate saat memanggil Mariana dengan sebutan yang sangat pribadi.Rani mengulum senyum. ‘Jadi, ini benar?’ pikirnya.Begitu sampai di klinik, Nate turun lebih dulu sambil menggendong Mariana. Sebelum berlari masuk, ia menoleh cepat ke arah Rani yang
Keesokan harinya,Mariana baru saja pulang bekerja. Sekujur tubuhnya terasa penat dan ia sudah tidak sabar ingin membersihkan diri. Namun, langkahnya melambat saat mendapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.Rasa curiga mulai menghinggapinya. Dengan hati-hati, ia mengintip sedikit dan mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.Di dalam sana, Nadia sedang berdiri di depan meja rias, memegang gunting besar di tangan kanan. Pakaian Mariana yang seharusnya tergantung rapi di lemari, kini tergeletak berantakan di atas tempat tidur. Beberapa bagian pakaian tampak robek akibat guntingan Nadia.“Nadia! Apa yang kamu lakukan!” Mariana mendorong pintu kamar dengan cepat.Nadia segera menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru, ia tersenyum miring ketika Mariana memergokinya.“Oh, Mariana, baru pulang?” Nadia bertanya santai seolah-olah seperti tak ada yang salah dengan tindakannya. Sopan santunnya pun mendadak hilang.Mariana melangkah ke tengah kamar. “Kenapa kamu