Pagi datang dengan langit mendung dan kabut tipis yang menyelimuti jendela kamar hotel Mariana. Ia terbangun lebih awal hari ini. Meski belum sepenuhnya sadar, pikirannya langsung melayang pada kejadian semalam.Jantungnya masih berdebar. Ia tak mengerti kenapa bayangan Nate terus berputar di kepalanya. Padahal ia sudah menetapkan batas, menjaga jarak, tapi ada sesuatu dalam diri pria itu yang perlahan meruntuhkan pertahanannya.Baru saja kakinya menyentuh lantai, sebuah pesan masuk di ponselnya.[Sudah bangun? Sarapan bersama, kalau kamu belum makan.]Kalimatnya singkat. Datar. Khas Nate. Tapi cukup untuk membuat senyum kecil terbit di bibir Mariana. Ia menggigit bibir bawah, menatap layar sejenak, lalu membalas,[Belum. Oke.]Cukup singkat. Tapi detik berikutnya, Mariana menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin. Ia bahkan belum mencuci muka, sementara jantungnya berdebar seperti remaja yang akan pergi kencan pertama.Tapi, hey! Ini bukan kencan.“Sadarlah, Mari
Mariana keluar dari kamar Elhan setelah memastikan bayi lucu itu tertidur dengan tenang. Ia berjalan perlahan di lorong rumah sakit, ingin mencari udara segar dan mungkin secangkir kopi panas untuk menenangkan pikirannya.Namun langkahnya terhenti saat melihat dua sosok wanita berdiri di dekat lift—Bianca dan ibunya. Keduanya tampak baru kembali dari pemeriksaan rutin di poli kandungan. Bianca memegangi foto hasil USG di tangannya dengan wajah bangga.“Mariana?” panggil Ratna lebih dulu. “Kamu di sini?”Mariana sedikit kaget, tapi segera mengangguk sopan. “Iya, Bu.”“Loh, kamu sakit?”“Enggak, Bu. Elhan … dia dirawat di sini. Muntah dan demam sejak subuh.”“Oh, ya ampun. Kasihan sekali,” ujar ibunya dengan nada iba. “Boleh kami jenguk sebentar?”Mariana sempat ragu. Pandangannya kembali tertumbuk pada foto USG di tangan Bianca, lalu beralih pada sosok perempuan itu yang tengah menyesuaikan posisi jaketnya. Gerakan kecil itu justru membuat kaus ketat yang dikenakan Bianca semakin mempe
“Elhan sudah membaik. Dokter bilang dia cuma infeksi ringan karena virus,” kata Nate.Ayah Nate mengangguk. “Syukurlah. Kami sempat khawatir.”Mariana berdiri dan memberi ruang, tapi Arsita justru menggamit tangannya pelan agar tetap di tempat.Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, Arsita menyeletuk,“Rasanya, akan lebih baik kalau kamu jadi menantu di keluarga ini, Mariana.”Mariana sontak menoleh, matanya membulat kecil. Tapi sebelum ia bisa berkata apa pun, Nate langsung menyela cepat.“Ma.”Nada suaranya ringan, tapi ada tekanan halus yang jelas terasa, seperti ingin mencegah ibunya melangkah lebih jauh.Mariana tersipu, terkejut, tidak menyangka Arsita akan berkata seperti itu di tengah situasi ini. Seluruh wajahnya terasa mendidih panas, dan ia nyaris tak tahu harus memusatkan pandangan ke mana.Namun Arsita malah menambahkan dengan nada lebih serius. “Mama serius, Nathaniel. Kita semua menyukai Mariana … dan dia menyayangi Elhan dengan tulus. Tapi, mungkin justru Mariana yang tidak me
Kamar rawat inap itu tampak lebih cerah hari ini. Tirai terbuka lebar, membiarkan sinar matahari masuk dan membasuh ruangan dengan cahaya hangat.Seorang dokter muda baru saja keluar dari kamar setelah memberikan kabar baik. Kondisi Elhan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka kembali. Nate masuk dengan langkah ringan.“Aku sudah urus semuanya. Administrasi beres, resep obat juga sudah diambil,” katanya sambil tersenyum hangat pada semua orang. “Kalau begitu, kita bisa langsung pulang.”Mariana mengangguk pelan. Ia berdiri, lalu membenahi posisi Elhan di pelukannya.Namun saat mereka hendak keluar dari kamar, Arsita menoleh dan berkata, “Ngomong-ngomong, kita belum makan siang, 'kan? Gimana kalau mampir makan dulu sebelum pulang?”Mariana dan Nate saling pandang sebentar. Perut mereka memang belum terisi sejak pagi.“Boleh juga,” sahut Nate. Dan yang lainnya ikut setuju.***Restoran yang mereka datangi terletak di tengah kota, sebuah tempat yang
Langit pagi tampak cerah, dan udara masih membawa sisa embun semalam. Aroma wangi bunga melati dan mawar putih menyambut setiap tamu yang datang ke sebuah rumah besar di bilangan selatan kota—tempat diadakannya pesta pernikahan teman SMA Mariana, Ulfa.Suasana halaman luas yang ditata dengan dekorasi sederhana tapi elegan itu terasa hangat. Bukan hanya karena matahari yang mulai naik, tapi juga karena banyak wajah lama yang kembali berkumpul.Mariana berdiri di dekat taman kecil, berbincang dengan dua orang temannya yang dulu juga satu angkatan. Sesekali ia tertawa pelan, mengangguk sopan ketika menyambut teman-teman lain yang menyapanya.“Ulfa cantik banget hari ini, ya,” ucap Ratri, salah satu teman lama Mariana.“Cantik. Kayak nggak kelihatan ini adalah pernikahan keduanya setelah cerai tahun lalu.” Mariana ikut tersenyum kecil.“Iya. Kadang hidup tuh kayak gitu, ya. Jalan muter dulu baru nemu yang pas,” sahut Niken. “Kalau kamu gimana, Na? Udah ada kandidat baru?”Pertanyaan itu m
Setelah menempuh beberapa jarak, Mariana akhirnya tiba di kediaman Nate. Dengan langkah gontai, Mariana masuk ke rumah itu. Baru saja ia melepas sepatu di foyer, Mariana mendapati Nate berdiri di ruang tengah.Pria itu masih mengenakan kaos olahraga abu dan celana training hitam. Handuk kecil tergantung di lehernya, rambutnya sedikit basah karena keringat. Tatapannya langsung jatuh pada Mariana.“Mariana?” Nate langsung menghampiri. Alisnya bertaut khawatir. “Kamu kenapa? Wajahmu terlihat shock.”Mariana cepat-cepat menggeleng. “Enggak. Nggak ada apa-apa.”Nate menatapnya lebih dalam. “Kamu yakin?” Kamu kelihatan baik-baik saja saat berangkat, sekarang pulang malah seperti habis melihat hantu.”Mariana menghindari tatapan itu sekilas. Ia menarik napas lalu memaksakan senyum. “Hari ini jadi ‘kan ke arisan keluarga? Aku ganti pakaian dulu dan bersiap-siap,” ucapnya mengalihkan topik pembicaraan.Tanpa memberi Nate kesempatan bertanya lebih lanjut, Mariana langsung berjalan menuju kamarn
Hening terasa makin canggung. Beberapa orang saling melirik, sebagian lagi pura-pura sibuk dengan teh atau kudapan di tangan. Tak ada yang bicara, tapi Mariana bisa merasakan ketidaksetujuan yang terselip di balik senyum tipis dan tatapan sekilas.Arsita masih berdiri di sampingnya, genggamannya masih tak terlepas dari tangan Mariana. Ia menatap satu per satu wajah yang memandang mereka, lalu tersenyum kecil.“Aku hanya menyampaikan keinginanku,” ucap Arsita. “Saat ini, baik Nate ataupun Mariana sendiri tidak terpikir ke arah sana. Maaf sudah membuat suasana jadi canggung.”Arsita melirik sekilas ke arah Mariana, lalu ke Nate yang berdiri tak jauh dari mereka. “Maaf, Mama tidak bermaksud mendahului siapa-siapa atau bersikap lancang,” katanya pelan.Arsita melepas genggaman tangannya perlahan dan tersenyum hangat pada Mariana.Perlahan, suara-suara mulai terdengar kembali. Seseorang tertawa pelan di sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya mulai memuji kue lapis legit yang tersaji di m
Nate setengah berlari saat Mariana tiba-tiba ambruk ke lantai. Wajah Mariana yang semula berseri kini mendadak pucat. Dan matanya digenangi air mata.“Ada apa, Na?” tanya Nate.Mariana mendongak perlahan. Air mata jatuh bersamaan dengan pandangannya yang bertemu dengan mata pria itu. Bibirnya bergetar, dan butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya suara lirih keluar dari mulutnya.“Nenek … meninggal.”Nate terpaku. Matanya membelalak sejenak.“Aku harus ke kampung,” ucap Mariana lemah. Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya langsung limbung.Nate sigap menangkap lengan Mariana sebelum ia jatuh lagi. “Aku antar kamu.”Mariana ingin menolak, tapi lidahnya kelu.Nate menatap lekat wajah sendu itu, lalu menggenggam lengan Mariana. “Kamu kuat jalan sendiri? Kalau tidak, aku gendong sampai mobil.”Mariana menggeleng pelan. “Aku ... aku bisa,” ucapnya lirih.Nate mengangguk dan perlahan memapah tubuh Mariana ke arah pintu keluar.Langkah Mariana berat, tapi Nate tak melepaskan pegangan tangannya
Belum genap dua menit sejak pesan itu terkirim, ponsel Mariana berdering. Nama Nathaniel Adikara terpampang jelas di layar.Mariana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo…?”“Moonie,” suara Nate terdengar rendah namun tajam, penuh kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. “Kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit,” jawab Mariana lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosi yang kembali menyeruak ke permukaan. “Ayah di ICU. Belum sadar.”“Rumah sakit mana?” tanya Nate cepat.“Rumah Sakit Sehat Bahagia.”“Aku ke sana sekarang.”“Nathaniel—”“Aku akan ke sana sekarang,” ulang Nate, tak memberi ruang untuk sanggahan. “Tunggu aku, Moonie.”Panggilan berakhir tanpa Mariana sempat menolak. Ia menatap layar ponsel yang kembali gelap, lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara jemari. Bagian dari dirinya lega karena Nate akan datang. Tapi bagian lain masih bergulat dengan rasa takut, bahwa semua ini akan menyeretnya lebih jauh ke dalam pusaran kekacauan.Sekitar tiga puluh menit
Hari-hari berlalu, dan meskipun segala sesuatunya tampak normal, ada yang berbeda dalam diri Mariana. Nate bisa merasakan perubahan itu. Setiap kali mereka berinteraksi, seperti ada jarak yang terbentang di antara mereka.Mata sang kekasih yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat kosong.Pagi itu, di ruang makan yang tenang, Nate memandangi Mariana dengan seksama. Wanita itu duduk di seberangnya, memegang cangkir teh dengan kedua tangan sementara matanya terfokus pada taman di luar jendela.“Moonie,” suara Nate memecah keheningan yang sempat menggantung. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu tidak seperti biasanya. Kamu lebih banyak diam. Ada apa, Sayang?”Mariana menoleh pelan, terkejut. Dan untuk beberapa detik, ada kebisuan yang menggelayuti udara di sekitar mereka. Lalu dengan senyum yang hampir tak terlihat, Mariana menundukkan kepala dan mengaduk-aduk teh di dalam cangkirnya.“Aku cuma capek,” jawabnya lirih. Sebuah jawaban yang sudah Nate duga akan Mari
Nate menatap mata Mariana cukup lama. Ia tahu Mariana tidak bodoh—wanita itu cukup peka membaca perubahan suasana. Tapi Nate juga tahu, terlalu cepat membagi informasi bisa berarti menambah beban yang tak perlu. “Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa,” ujar Nate. Suaranya tenang, tapi hatinya berdebar kencang. Mariana menatap pria itu beberapa detik, seakan mencoba menerawang isi pikirannya. Namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. “Oke,” gumamnya singkat, lalu berbalik pergi. Begitu pintu tertutup, Nate mengembuskan napas panjang. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja. Ia tahu ia harus menemukan pelaku secepat mungkin. Dan yang paling penting, ia harus menjaga Mariana tetap aman. Apapun caranya. Menjelang siang, suasana kantor perlahan mereda. Mariana duduk di pantry sambil memegang cangkir berisi teh hangat. Pandangannya menerawang ke jendela kaca yang menghadap ke luar. Namun pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Ia kembali mengingat surat dan mawar hi
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.“Tante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.” Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.“Benar. Aku memang bilang kamu sengaja,” ucap Mariana tenang. “Karena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.”“Mariana,” tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasnya
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,