Setelah selesai berbicara di dapur, Mariana memotong beberapa irisan bolu untuk anak-anak, sementara Nate menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir. Tak lama kemudian, mereka kembali ke ruang keluarga. Nate membawa nampan berisi piring dan minuman, dan Mariana menyusul dengan senyum hangat.Ia meletakkan piring di hadapan kedua putranya.âIni bolu buatan Nenek Ratna,â ujar Mariana lembut. âYang rasa pandan, favorit kalian, kan?âElhan sudah bersiap dengan ekspresi berbinar. âElhan duluan, ya!â serunya, langsung menyantap sepotong besar dengan antusiasme khas anak-anak.Noel tak mau kalah. Ia mengambil potongan bolu di piringnya, menggigit pelan, lalu menutup mata sejenak. âEnak banget!âMariana duduk di samping mereka, mengusap punggung Noel dengan lembut sambil tersenyum melihat kedua putranya menikmati makanan kesukaan mereka.Nate mengambil satu potong kecil dan mencicipinya. âMemang selalu seenak ini, ya. Aku bisa makan lima potong,â katanya terkekeh, lalu menyeruput teh hangatny
Satu minggu kemudianâĶRumah orang tua Mariana dipenuhi aroma harum dari dapur. Ratna sedang memanggang kue bolu kesukaan cucu-cucunya, sementara Armand sibuk di taman belakang. Di ruang tengah yang sejuk dan terang oleh cahaya matahari pagi, Noel duduk bersila di atas karpet, begitu fokus pada robot kecil yang ia rakit sendiri.Tak jauh darinya, Thaliaâputri Biancaâmengamati dengan sorot mata tak sabar. Rambut hitamnya dikuncir dua, dan ekspresinya menunjukkan kejenuhan.âAku mau main juga,â ujar Thalia tiba-tiba. Tanpa menunggu tanggapan, ia melangkah cepat dan mendorong bahu Noel agar menjauh dari mainan itu.Noel terhuyung ke belakang. Siku kecilnya menghantam lantai.âAduh!â serunya kaget. Ia tidak menangis, hanya memegangi lengannya dengan bingung.âThalia!â Mariana segera bangkit dari kursi di dekat jendela dan menghampiri Noel. âKamu nggak boleh main dengan cara seperti itu.âNamun sebelum Mariana sempat menegur lebih jauh, suara langkah cepat dan derap tumit memasuki rumah. Bi
Beberapa hari kemudian.Taman belakang kediaman Nate dan Mariana berubah menjadi lautan warna. Balon-balon biru dan putih bergelayut di sepanjang pagar, pita-pita berkilau melingkari pepohonan kecil, dan meja-meja kayu dihiasi kue-kue kecil serta kotak-kotak hadiah yang dibungkus rapi.Di tengah taman, sebuah spanduk besar bertuliskan âHappy 7th Birthday, Elhan!â terbentang.Elhan berdiri di bawah spanduk itu dengan senyum lebar, mengenakan kaus bergambar pesawat luar angkasa favoritnya. Di sampingnya, Noel berusaha keras menahan diri agar tidak membuka kado lebih dulu.âJangan sekarang, Noel,â bisik Elhan. âKita harus tiup lilin dulu.âMusik anak-anak yang ceria mengalun pelan di latar. Beberapa anak tetangga dan teman sekolah Elhan berlarian di taman, sebagian lainnya mencoba permainan lempar bola atau melukis wajah di pojok yang sudah disiapkan.Di dekat meja kue, Mariana sibuk mengatur piring-piring kue sambil sesekali melirik ke arah kedua putranya yang sedang dikerubungi teman-t
Enam tahun kemudianâĶLangit biru cerah ketika Mariana baru saja tiba di makam Selene. Hari ini adalah peringatan kematian putrinyaâyang tak sempat ia dekap dalam pelukan.Meski sudah bertahun-tahun berlalu, setiap langkah menuju batu nisan itu selalu membuat dadanya sesak. Tak ada waktu yang benar-benar bisa menyembuhkan kehilangan.Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih, kelopaknya lembut seperti angan tentang bayi perempuan yang tak pernah sempat ia nyanyikan lagu nina bobo. Rasa rindunya pada Selene tidak pernah menua, tidak pernah pudar, tidak pernah berubah menjadi kenangan biasa.Di belakang Mariana, suara langkah kecil terdengar menyusul.âElhan, pelan-pelan,â ujar Nate lembut, menggandeng tangan putra mereka yang lebih kecil, Noel, yang kini berusia empat tahun.âAku bawa bunga juga untuk Kak Selene, Ma,â ucap Elhan sambil memperlihatkan rangkaian bunga warna-warni hasil pilihannya sendiri.Mariana tersenyum sendu. âTerima kasih, Sayang. Kak Selene pasti senang.âMereka
Mariana melangkah perlahan mendekati Nate yang duduk diam di sofa kamar mereka di kediaman Adikara. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di belakangnya, lalu melingkarkan kedua tangan ke leher sang suami, memeluknya dari belakang dengan pelan namun penuh kehangatan.Nate menoleh sedikit, tersenyum tipis. Ia lalu memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke lengannya Mariana, seolah menemukan jeda dalam kekacauan hari ini.âGimana kalau makan malam dulu, Mas?â bisik Mariana lembut di dekat telinganya. âKamu belum makan sejak siang, kan?âNate menghela napas panjang, seolah baru menyadari perutnya memang kosong. Tapi bukan itu yang membuatnya letih. Kepalanya penuh.âLapar sih iya,â gumamnya pelan. âTapi rasanya semua makanan bakal hambar malam ini.âMariana tak langsung menjawab. Ia hanya mengencangkan sedikit pelukannya, memberikan kehangatan yang tak bisa diucapkan dengan kata.âAku tahu semuanya berat, Mas. Tapi kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian.âNate membuka mata, lalu mena
Arya segera membantu Mariana merebahkan tubuh Arsita ke atas kasur. Tangan Mariana gemetar saat ia meraih botol kecil dari laci nakas, menyodorkan minyak kayu putih ke ayah mertuanya.âPapa, tolong oleskan di pelipis mama. Aku nggak berani menyentuh wajah mama,â ujar Mariana panik. Meski situasinya darurat begini, Mariana tetap segan untuk menyentuh wajah sang ibu mertua.Arya mengangguk cepat, membuka tutup botol, lalu dengan tangan yang tak kalah bergetar, ia mengusapkan minyak itu ke bawah hidung istrinya. Mariana duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Arsita erat-erat sambil berdoa dalam hati dengan tulus.Sementara itu, dari pintu kamar, Mbak Yanti muncul tergopoh. Ia segera menghampiri ranjang, matanya membelalak melihat situasi yang genting.âMbak Yanti, tolong gendong Elhan keluar dulu, ya,â pinta Mariana cepat.Tanpa banyak tanya, Mbak Yanti mengangguk. Ia segera mengangkat Elhan yang menangis di pinggir kasur, lalu menimang bayi itu lembut seraya membawanya ke luar kamar.