MasukArthur berdiri tiba-tiba. “Ikut aku.”
Diana berusaha bangun tapi lututnya goyah. Tubuhnya terlalu panas. Sensasinya terlalu intens. Kakinya gemetar hebat setiap kali ia mencoba berdiri. “Aku… tidak bisa…” Ia menggigit bibir sekuat tenaga. “Gendong aku.” Arthur menatapnya seperti hendak melemparnya keluar jendela. Tatapan dingin, meski pria itu melangkah mendekat. Dengan kuat, ia menarik tubuh Diana ke dada bidangnya dan menggendongnya. Diana mendesah perlahan—bukan sengaja, melainkan refleks dari sensasi yang menusuk tubuhnya. Arthur mengencangkan rahangnya keras sembari melangkah keluar kamar, tampak tidak suka mendengar suara itu. “Yang Mulia…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. “Anda membawaku … ke mana?” Arthur tidak menjawab. Ketika ia membuka mata perlahan, mata mereka kembali beradu. Biru pucat dan biru gelap. Diana hampir tenggelam dalam tatapannya. Hingga tiba-tiba Arthur berhenti. Lalu–melepaskan gendongannya. BYUUURR!!! “AAKH!!” Diana jatuh ke dalam air dingin. Tubuhnya langsung membeku–sensasi panas dan gairah yang meledak-ledak barusan seketika padam seperti api disiram oleh seember air es. Diana membuka mata lebar, syok. DASAR PANGERAN GILA! Dingin dari danau Utara menusuk kulitnya seperti ribuan jarum tipis, membuat otot-ototnya menegang lalu melemah. Ia berusaha meraih permukaan air, mencoba berenang, namun tubuhnya terseret karena ia memang tidak bisa berenang sama sekali. Sementara itu, Arthur berdiri di pinggir danau, menatapnya tanpa ekspresi. Konyol. Ia batal dibunuh oleh mantan kekasihnya dan dibuang ke jurang, tapi kini justru Diana akan mati tenggelam? Apakah takdir karakter memang tidak bisa diubah? Namun, ketika kesadarannya sudah berada di ambang batas, mata Diana menangkap sebuah bayangan hitam yang melesat masuk ke dalam air seperti anak panah. Samar-samar, Diana menangkap pantulan cahaya bulan pada permukaan topeng emas Arthur. Detik berikutnya, sebuah tangan kuat meraih lengannya. Gerakan Arthur cepat, tegas, dan penuh tenaga, tidak terpengaruh oleh dinginnya air danau. Tangan kiri pria itu menarik pinggang Diana, sementara tangan satunya meraih permukaan dengan pukulan renang kuat yang mampu memecah gelombang air sekeliling mereka. Bahkan dalam kondisi ini… Arthur tetap bergerak seperti seseorang yang terbiasa melawan maut. Diana ingin mengatakan sesuatu—apa pun—tapi seluruh tubuhnya hanya menggigil. Dan ketika kepala mereka akhirnya berhasil keluar dari air, Diana menghirup udara sebanyak-banyaknya, paru-parunya sakit, tapi rasa sakit itu membuktikan bahwa dia masih hidup. Arthur menarik tubuhnya ke tepian danau, lalu membiarkannya terbaring di tanah berbatu yang dingin. Diana terbatuk keras, lalu berguling ke sisi lain dan memuntahkan air sebelum terkapar di atas batu. Terlentang menatap langit malam. Di sini, langit jauh lebih gelap, namun bintang-bintangnya lebih terang. Ia perlahan bangkit, masih terbatuk sebelum akhirnya menatap sosok di depannya. Arthur duduk tak jauh dari posisi Diana. Tubuhnya sama basahnya. Rambut hitamnya menempel di tengkuk dan dahinya. Diana mengepalkan jemarinya yang menggigil dan berteriak dengan suara parau, "Yang Mulia!" Arthur menoleh pelan. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Diana gemas setengah mati. “Saya hampir mati!” ujarnya penuh emosi, suaranya pecah, campuran marah dan trauma akan kematian kedua. Arthur menjawab datar, seolah itu bukan masalah besar, “Sekarang kau tidak mati, bukan?” Diana melongo. Kemudian kesalnya naik ke puncak. Suhu dingin berlebihan memang dapat melawan efek tumbuhan Eroli yang menyerang pernapasan dan sistem saraf. Diana paham itu. Secara medis, tindakan Arthur tidak salah. Tapi tetap saja! Menjatuhkannya ke danau begitu saja?! Diana mendengus keras, lebih karena ingin menutupi rasa malu dibanding marah. Arthur malah mengalihkan pandangan seolah bosan melihatnya. Diana membuka mulut, ingin memaki, namun sebelum ia melakukan itu, Arthur tiba-tiba berdiri. “Kembalilah ke kamar. Penampilan basahmu mengganggu mataku.” Diana mematung. Lalu pelan-pelan… Wajahnya berubah merah padam karena kesal. Basah? Mengganggu? Salah siapa dia basah kuyup begini?! Diana menggeram lirih, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan mengikuti langkah pria itu. Arthur, yang berjalan beberapa langkah di depan, diam-diam melirik menggunakan ekor matanya ketika mendengar dengusan kesal dari Diana. Dan bibirnya … mengukir senyum samar. *** Keesokan paginya, Diana bangun dengan sedikit rasa berat di kepala, sisa efek tubuhnya yang semalam dipaksa menghadapi suhu dingin ekstrem. Namun, terlepas dari para pelayan yang pasti bergosip soal kejadian semalam, Diana memasang ekspresi tenang ketika para pelayan masuk membawa air hangat, kain lembut, serta pakaian formal berwarna biru muda khas keluarga kerajaan. Diana duduk di depan meja rias besar berbingkai perak. Embun–pelayan pribadinya sejak kecil–memulai pekerjaannya dengan gerakan lembut, seperti biasa. Sementara pelayan senior Erna, wanita separuh baya yang diutus Istana khusus melayani Putri Mahkota, membantu merapikan rambut panjang Diana. Embun memandangi wajah majikannya melalui pantulan cermin, dan kekhawatiran perlahan memenuhi matanya. “Putri… Anda baik-baik saja?” tanya Embun pelan, rautnya jelas cemas. Diana mengalihkan pandangan dari cermin untuk menatap Embun. Wajahnya tersenyum lembut. “Kenapa?" tanyanya. “Apa wajahku terlihat tidak baik-baik saja?” Embun menghela napas kecil, lalu ikut tersenyum. “Tidak… hanya saja…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi Diana tahu. Embun masih menduga bahwa Diana sedang berpura-pura tenang dan bahagia. Tentu saja Embun tidak salah. Namun, beberapa hal tidak perlu dijelaskan. Ia sudah memikirkannya semalaman setelah ia berhasil lolos dari maut. Untuk saat ini, Diana telah menerima bahwa ini adalah kehidupan keduanya dan ia harus sebisa mungkin bertahan hidup. Cara pertama adalah dengan tidak berurusan lagi dengan keluarga Sinclair dan Alon. Ini bisa Diana lakukan. Toh, ia sudah menjadi istri pangeran mahkota yang kejam. Kedua, agar hidupnya damai, Diana harus punya pendukung. Di sini keberadaan Arthur sangat pas untuk posisi itu. Tapi–kepribadian pria itu sulit. Oleh karena itu, Diana harus berusaha keras. “Bibi Erna,” ucap Diana ringan pada wanita paruh baya yang sedang merapikan poni samping Diana dengan hati-hati. “Apakah Putra Mahkota sudah bangun?”“Berlutut, Diana! Kamu tidak sopan telah mendorong kakakmu!”Diana menegang. Keningnya terlipat dalam.Ia? Mendorong Isabella?Isabella berdiri di samping Alon dengan tatapan terluka pura-pura, tangannya memegang lengan pria itu seolah butuh penyangga. Diana tidak memedulikan itu—ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi datar.“Berlutut?” gumamnya di dalam hati, geli sekaligus marah.Dia Putri Mahkota sekarang.Namun keluarga Sinclair masih memperlakukannya seperti budak murahan.“Aku tidak menyentuh Kak Isabella sama sekali,” ucap Diana tegas. “Justru Kak Isabella yang menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku mendorongnya, Ayah?”Tuan Sinclair memukul sandaran kursinya dengan keras. Mata tuanya menyipit penuh amarah.“Dasar putri tidak tahu terima kasih! Tanpa keluarga Sinclair, memangnya kau bisa menjadi Putri Mahkota?!”Diana terasa ingin tertawa.Keluarga ini… benar-benar delusional.Renata maju setengah langkah sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.“Benar yang Ayahmu katakan! Ji
Keesokan paginya, surat kembali datang. Diana tidak bisa menunda kunjungan ke keluarga Sinclair lebih lama.Namun, saat ia bertanya mengenai pangeran–“Saat ini Yang Mulia tidak ada di ruang kerjanya. Saya kurang tahu, Putri.”Diana mengangguk perlahan.Ah. Jadi begitu.Tidak ingin menemani perjalanan tradisi penting ini, rupanya.Diana menghela napas tipis. Sungguh, ia sudah menduga. Arthur bukan tipe pria yang suka memperlihatkan kepedulian secara terbuka.Bahkan sangat mungkin… ia hanya menganggap Diana sebagai kewajiban negara yang kebetulan masih hidup.Mata Diana berkilat dingin saat kembali menatap bayangan wajahnya di cermin.Baik.Kalau begitu… dia akan menghadapi keluarganya sendiri.Dengan atau tanpa suaminya.“Ayo segera pergi,” ucap Diana sambil bangkit dari kursi.Embun dan Bibi Erna segera mengikuti dari belakang.Kereta kuda keluarga kerajaan yang dilapisi hiasan emas berhenti tepat di depan gerbang utama kediaman Sinclair. Para prajurit kerajaan membuka jalur, dan Di
Diana melipat surat itu kasar dan menyimpannya di balik pakaian. Sejujurnya, Diana pribadi tidak ingin peduli pada tradisi seperti kunjungan keluarga dan lain sebagainya.Namun, tubuh ini adalah milik putri bungsu keluarga Sinclair yang kini telah menjadi putri mahkota.Apa pun yang ia lakukan sekarang, akan ditanggung juga oleh suaminya. Yang meski namanya sudah buruk dan orangnya menyebalkan–pria itulah yang akan mendampingi hidup Diana kelak.Ia menarik napas panjang untuk menguasai emosinya sebelum akhirnya kembali berjalan mengejar Arthur.Pria itu rupanya menuju ruang kerjanya. Di sana, Arthur tengah duduk tenang di balik meja kerjanya. Punggungnya tegak, kedua tangannya menyatu di atas meja, dan tatapannya langsung terarah padanya ketika Diana muncul di ambang pintu.Diana membungkuk singkat. “Maaf, Yang Mulia. Saya tadi terkesan memaksa. Jika Anda–”“Duduk.”Satu kata. Singkat. Tegas. Pemotongan yang entah keberapa kalinya.Diana ingin sekali mendesah keras, tapi ia menahanny
Mendengar itu, Arthur tersenyum miring. Tampak mencemooh.“Memangnya dirimu pikir kau siapa?” ucap Arthur, dingin dan menusuk. “Jangan terlalu tinggi menilai dirimu.”Senyum Diana membeku sejenak. Ia memaksakan kembali senyum normalnya.Seharusnya ia tidak terkejut. Sepengetahuannya dan semua orang di buku, “Diana” yang asli tidak paham soal medis sama sekali. Selain itu, dengan jaminan apa Arthur bisa memercayainya begitu saja?Namun, sekarang, ia punya langkah yang jelas dalam misinya untuk mengambil hati sang pangeran.Ia akan menyembuhkan Arthur.Dengan begitu, Arthur akan memberinya pengakuan dan perlindungan. Baik itu dari keluarga Sinclair ataupun dari kematian.“Yang Mulia,” Diana mencoba lagi. “Jika Yang Mulia mengizinkan, saya bisa membuktikannya.”Arthur akhirnya bertanya datar, “Apa yang bisa kau berikan jika gagal membuktikan kalimatmu?”Diana tak ragu. Ia menatap Arthur lurus, mata birunya mantap, suaranya stabil.“Nyawa saya.”Arthur tidak bereaksi banyak. Namun, sepas
Pagi ini, Diana berdiri di depan pintu kediaman Arthur, menunggu. Istana mereka tidak jauh, hanya dipisahkan dua halaman kecil dan sebuah lorong panjang.Kemarin, ia bertanya pada Bibi Erna, pelayan senior istana yang mengenal rutinitas Putra Mahkota lebih baik dari siapa pun, tentang jadwal Arthur. Pria itu selalu bangun sebelum matahari terbit, lalu bersiap menuju majelis pagi bersama Kaisar dan para bangsawan tinggi.Ia terlambat kemarin. Namun, hari ini Diana bertekad mengambil hati sang pangeran.Toh, pria itu suaminya sekarang. Mau tidak mau, pria itu harus menerimanya seperti Diana menerima takdirnya saat ini.Belum saja Diana mengetuk, pintu kediaman Arthur tiba-tiba terbuka keras dari dalam. Kasim yang berjaga sampai terlonjak dan langsung bersujud.“Y-Yang Mulia….”“Selamat pagi.” Diana tersenyum ramah. “Apa Yang Mulia sudah bangun?”Kasim itu mengangguk buru-buru. “S-sudah, Putri. Putra Mahkota baru saja terbangun.”Ia berhenti, menatap Diana dari ujung rambut yang disanggu
Arthur berdiri tiba-tiba. “Ikut aku.”Diana berusaha bangun tapi lututnya goyah.Tubuhnya terlalu panas. Sensasinya terlalu intens. Kakinya gemetar hebat setiap kali ia mencoba berdiri.“Aku… tidak bisa…” Ia menggigit bibir sekuat tenaga. “Gendong aku.”Arthur menatapnya seperti hendak melemparnya keluar jendela. Tatapan dingin, meski pria itu melangkah mendekat.Dengan kuat, ia menarik tubuh Diana ke dada bidangnya dan menggendongnya. Diana mendesah perlahan—bukan sengaja, melainkan refleks dari sensasi yang menusuk tubuhnya.Arthur mengencangkan rahangnya keras sembari melangkah keluar kamar, tampak tidak suka mendengar suara itu.“Yang Mulia…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. “Anda membawaku … ke mana?”Arthur tidak menjawab.Ketika ia membuka mata perlahan, mata mereka kembali beradu. Biru pucat dan biru gelap. Diana hampir tenggelam dalam tatapannya.Hingga tiba-tiba Arthur berhenti.Lalu–melepaskan gendongannya.BYUUURR!!!“AAKH!!”Diana jatuh ke dalam air dingin.Tubuhny







