共有

Bab 4. Langkah Pertama

作者: nanadvelyns
last update 最終更新日: 2025-11-26 16:54:12

Pagi ini, Diana berdiri di depan pintu kediaman Arthur, menunggu. Istana mereka tidak jauh, hanya dipisahkan dua halaman kecil dan sebuah lorong panjang.

Kemarin, ia bertanya pada Bibi Erna, pelayan senior istana yang mengenal rutinitas Putra Mahkota lebih baik dari siapa pun, tentang jadwal Arthur. Pria itu selalu bangun sebelum matahari terbit, lalu bersiap menuju majelis pagi bersama Kaisar dan para bangsawan tinggi.

Ia terlambat kemarin. Namun, hari ini Diana bertekad mengambil hati sang pangeran.

Toh, pria itu suaminya sekarang. Mau tidak mau, pria itu harus menerimanya seperti Diana menerima takdirnya saat ini.

Belum saja Diana mengetuk, pintu kediaman Arthur tiba-tiba terbuka keras dari dalam. Kasim yang berjaga sampai terlonjak dan langsung bersujud.

“Y-Yang Mulia….”

“Selamat pagi.” Diana tersenyum ramah. “Apa Yang Mulia sudah bangun?”

Kasim itu mengangguk buru-buru. “S-sudah, Putri. Putra Mahkota baru saja terbangun.”

Ia berhenti, menatap Diana dari ujung rambut yang disanggul rapi hingga kain hanfu yang elegan. Fokusnya kemudian jatuh pada seember air hangat di dekat kaki Diana.

“Mohon maaf. Kedatangan Putri… apakah untuk….?”

“Aku ingin membantu Putra Mahkota bersiap secara pribadi hari ini.” Diana memotong dengan senyum lembut. “Bagaimanapun, aku adalah istrinya sekarang. Kewajibanku adalah melayaninya.”

Kasim itu tertegun, mulutnya terkatup namun matanya membesar. Ini jelas baru pertama kali ia mendengar istri Putra Mahkota berkata seperti itu.

Ia menunduk dalam. “Silakan masuk.”

Diana melangkah masuk, sementara Embun yang ada di sana untuk membantu Diana, mengikuti tapi ragu-ragu sembari memeluk ember erat-erat.

Lorong menuju kamar Arthur sunyi, hanya dihiasi aroma kayu cendana dan marmer dingin. Sesampainya di depan pintu kamar pria itu, kasim memberi salam terakhir, lalu pergi dengan langkah cepat.

Tinggal Diana dan Embun. Keduanya saling melihat.

“Yang Mulia…” Embun berbisik gugup. “Anda yakin?”

Diana menarik napas panjang, lalu mengambil ember dari tangan Embun.

“Embun,” katanya lembut, “tunggu di sini. Jangan ikut.”

Begitu pintu tertutup, keheningan langsung menyergap. Ruangan itu megah—berlantai marmer putih, tiang kayu dengan ukiran dinasti, karpet dinamika motif naga dan awan.

Cahaya matahari pagi menerobos lewat jendela tinggi dan terpantul di ornamen emas.

Namun sebelum ia bisa mengagumi lebih lama, suara air yang bergolak dari balik tirai merah di sisi ruangan mencuri perhatiannya.

Itu pasti ruang pemandian Arthur.

Diana menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat.

Ia melangkah perlahan dan hendak menyingkap tirai merah yang menjadi pembatas.

Namun tepat saat jarinya hampir menyentuh kain—

SRING!

Kilatan metal memotong udara.

Sebuah pedang terentang lurus mengarah tepat ke antara kedua matanya.

Diana membeku. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Pedang itu tidak bergetar. Ujungnya hanya setipis rambut, namun terasa seperti bisa menusuk kapan saja.

Dari balik tirai, suara berat yang sangat familiar terdengar.

“Siapa?”

Diana sedikit mundur, mencengkeram ember di tangannya sekuat mungkin.

“Saya, Yang Mulia,” jawabnya gugup. “Diana. Saya berniat–”

“Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Arthur memotong cepat dan dingin.

“Seorang kasim,” jawab Diana terbata. “Tetapi… saya yang memaksa masuk.”

Hening.

“Untuk apa kemari?”

Pedang itu masih terhunus tepat ke wajahnya.

Diana menelan ludah, lalu berucap tegas: “Melayani Yang Mulia.”

Keheningan kedua.

Arthur tidak menjawab apa pun. Hanya kesunyian berat dari balik tirai.

Diana akhirnya melanjutkan, mencoba terdengar percaya diri.

“Mengingat… saat ini saya adalah istri Yang Mulia,” katanya pelan. “Saya berpikir membantu persiapan menuju majelis pagi adalah sebuah kewajiban.”

Sedetik. Dua detik.

Akhirnya, pedang itu diturunkan perlahan, membuat Diana bisa bernapas lebih lega.

Namun, sedetik kemudian, suara Arthur kembali terdengar.

“Apa kau berguna untuk merawat luka?”

Alis Diana berkedut.

“Berguna?”

“Jawab.”

Diana memaksakan sebuah senyum manis. “Tentu saja, Yang Mulia. Saya bisa–”

“Masuk.”

Diana tertegun.

Apa?

Ia melangkah masuk lewat celah tirai dan langsung terdiam.

Ruang pemandian dipenuhi uap putih. Air panas memenuhi kolam marmer besar. Namun–

Airnya berwarna merah. Pekat, seperti kolam darah.

Diana membeku.

Sementara itu, Arthur duduk bersandar di dalam kolam, mengenakan pakaian tipis yang menempel rapat pada kulitnya. Rambut hitam panjangnya basah, menempel di bahu dan punggung.

Topeng emasnya memantulkan cahaya redup. Hanya mata biru dinginnya yang tampak jelas.

“Apa kau bisa membantu seseorang dari jarak sejauh itu?” Suara dingin Arthur terdengar, “Mendekat.”

Diana langsung tersadar. Ia terbatuk kecil untuk menutupi rasa canggungnya.

“Mengapa airnya memerah, Yang Mulia?” tanya Diana kemudian. “Apa yang terjadi?”

Arthur tidak menjawab segera. Pria itu mengangkat sedikit bagian belakang pakaian tipisnya, memperlihatkan punggungnya.

Diana terbelalak.

Punggung itu–

–penuh bercak merah. Beberapa bengkak parah, ada yang bernanah, ada garis infeksi memanjang, ada noda alergi yang tampak seperti gigitan serangga namun level peradangannya jauh lebih buruk dari biasa.

Kulitnya terlihat seperti terbakar dan digaruk berlebihan.

“I-ini–” Suara Diana gemetar kecil. “Apakah Anda memakan sesuatu yang menyebabkan–”

“Urus luka itu,” Arthur memotong tajam. “Jangan banyak bicara.”

Diana memejamkan mata sesaat. Pria ini benar-benar… karakter antagonis novel dystopia mana pun akan kalah kurang ajar dibanding dia!

Tetapi ia tetap tersenyum kaku. “Baiklah… di mana tempat obat-obatan?”

“Di atas meja dekat kasur.”

Diana tidak menunda. Ia segera bergegas keluar dari area pemandian, langkahnya cepat, dan beberapa saat kemudian kembali dengan kotak obat besar yang terlihat mewah.

Saat ia masuk, matanya membesar. Arthur sudah keluar dari kolam.

Rambutnya masih basah tetapi pria itu telah mengenakan pakaian yang lebih tebal, duduk di kursi panjang seolah tidak terjadi apa-apa.

Diana berjalan cepat menghampirinya dan duduk tepat di samping pria itu. Ia membuka kotak obat. Ia mengambil satu obat, menghirup aromanya untuk mengidentifikasi jenisnya. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.

Dia memilih yang paling tepat, kemudian meraih kain lap desinfektan dan mulai membersihkan punggung Arthur.

Kulit pria itu berkedut kecil ketika obat menyentuh luka yang terlihat sangat menyiksa, namun Arthur tetap duduk tanpa suara.

Tanpa desisan. Tanpa keluhan. Bahkan tanpa sedikit pun gerakan menghindar.

Diana mendadak merasa hormat—dan kesal di waktu yang bersamaan.

Bagaimana mungkin manusia bisa tahan rasa sakit seperti ini? Dia manusia apa batu?

Setelah selesai mengoles seluruh bagian luka dan menaburi obat herbal penting, Diana mulai membalut punggung Arthur dengan perban khusus yang tersedia di kotak itu.

Ia berdiri dan tersenyum puas dengan hasil kerjanya.

“Selesai!”

Arthur berdiri, mengenakan pakaiannya dengan benar, kemudian menatap Diana dingin sebelum melangkah pergi.

“Kau boleh pergi,” katanya datar. “Aku tidak pergi ke majelis pagi hari ini.”

Diana mematung sejenak. “Yang Mulia, izinkan saya bertanya,” ucapnya. “Dari mana Yang Mulia memperoleh obat-obat tersebut?”

Pertanyaan itu membuat Arthur berbalik. Namun, ia tidak mengatakan apa pun

Karenanya, Diana melanjutkan, “Dari obat-obatan yang Anda miliki, saya tidak menemukan kandungan herbal yang bersifat menarik nanah atau menekan peradangan. Tanpa itu, luka Anda hanya akan mengering di permukaan, tetapi infeksinya tetap tertahan di dalam jaringan.”

Tidak hanya itu. Obat-obatan yang Diana pakai tadi juga tampaknya hanya meringankan rasa gatal sementara. Jika tidak, Arthur tidak mungkin memiliki luka dan bekas luka seperti itu.

“Langsung saja.” Arthur akhirnya berkata. “Apa maumu?”

Diana menunduk sopan, sebelum kemudian kembali menatap suaminya. “Saya bisa membuat luka Yang Mulia membaik. Bahkan sembuh. Namun, Yang Mulia harus percaya pada saya.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 8. Putri Mahkota

    “Berlutut, Diana! Kamu tidak sopan telah mendorong kakakmu!”Diana menegang. Keningnya terlipat dalam.Ia? Mendorong Isabella?Isabella berdiri di samping Alon dengan tatapan terluka pura-pura, tangannya memegang lengan pria itu seolah butuh penyangga. Diana tidak memedulikan itu—ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi datar.“Berlutut?” gumamnya di dalam hati, geli sekaligus marah.Dia Putri Mahkota sekarang.Namun keluarga Sinclair masih memperlakukannya seperti budak murahan.“Aku tidak menyentuh Kak Isabella sama sekali,” ucap Diana tegas. “Justru Kak Isabella yang menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku mendorongnya, Ayah?”Tuan Sinclair memukul sandaran kursinya dengan keras. Mata tuanya menyipit penuh amarah.“Dasar putri tidak tahu terima kasih! Tanpa keluarga Sinclair, memangnya kau bisa menjadi Putri Mahkota?!”Diana terasa ingin tertawa.Keluarga ini… benar-benar delusional.Renata maju setengah langkah sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.“Benar yang Ayahmu katakan! Ji

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 7. Kunjungan Penghormatan

    Keesokan paginya, surat kembali datang. Diana tidak bisa menunda kunjungan ke keluarga Sinclair lebih lama.Namun, saat ia bertanya mengenai pangeran–“Saat ini Yang Mulia tidak ada di ruang kerjanya. Saya kurang tahu, Putri.”Diana mengangguk perlahan.Ah. Jadi begitu.Tidak ingin menemani perjalanan tradisi penting ini, rupanya.Diana menghela napas tipis. Sungguh, ia sudah menduga. Arthur bukan tipe pria yang suka memperlihatkan kepedulian secara terbuka.Bahkan sangat mungkin… ia hanya menganggap Diana sebagai kewajiban negara yang kebetulan masih hidup.Mata Diana berkilat dingin saat kembali menatap bayangan wajahnya di cermin.Baik.Kalau begitu… dia akan menghadapi keluarganya sendiri.Dengan atau tanpa suaminya.“Ayo segera pergi,” ucap Diana sambil bangkit dari kursi.Embun dan Bibi Erna segera mengikuti dari belakang.Kereta kuda keluarga kerajaan yang dilapisi hiasan emas berhenti tepat di depan gerbang utama kediaman Sinclair. Para prajurit kerajaan membuka jalur, dan Di

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 6. Pengabdian Untuk Pengakuan

    Diana melipat surat itu kasar dan menyimpannya di balik pakaian. Sejujurnya, Diana pribadi tidak ingin peduli pada tradisi seperti kunjungan keluarga dan lain sebagainya.Namun, tubuh ini adalah milik putri bungsu keluarga Sinclair yang kini telah menjadi putri mahkota.Apa pun yang ia lakukan sekarang, akan ditanggung juga oleh suaminya. Yang meski namanya sudah buruk dan orangnya menyebalkan–pria itulah yang akan mendampingi hidup Diana kelak.Ia menarik napas panjang untuk menguasai emosinya sebelum akhirnya kembali berjalan mengejar Arthur.Pria itu rupanya menuju ruang kerjanya. Di sana, Arthur tengah duduk tenang di balik meja kerjanya. Punggungnya tegak, kedua tangannya menyatu di atas meja, dan tatapannya langsung terarah padanya ketika Diana muncul di ambang pintu.Diana membungkuk singkat. “Maaf, Yang Mulia. Saya tadi terkesan memaksa. Jika Anda–”“Duduk.”Satu kata. Singkat. Tegas. Pemotongan yang entah keberapa kalinya.Diana ingin sekali mendesah keras, tapi ia menahanny

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 5. Percaya Pada Saya

    Mendengar itu, Arthur tersenyum miring. Tampak mencemooh.“Memangnya dirimu pikir kau siapa?” ucap Arthur, dingin dan menusuk. “Jangan terlalu tinggi menilai dirimu.”Senyum Diana membeku sejenak. Ia memaksakan kembali senyum normalnya.Seharusnya ia tidak terkejut. Sepengetahuannya dan semua orang di buku, “Diana” yang asli tidak paham soal medis sama sekali. Selain itu, dengan jaminan apa Arthur bisa memercayainya begitu saja?Namun, sekarang, ia punya langkah yang jelas dalam misinya untuk mengambil hati sang pangeran.Ia akan menyembuhkan Arthur.Dengan begitu, Arthur akan memberinya pengakuan dan perlindungan. Baik itu dari keluarga Sinclair ataupun dari kematian.“Yang Mulia,” Diana mencoba lagi. “Jika Yang Mulia mengizinkan, saya bisa membuktikannya.”Arthur akhirnya bertanya datar, “Apa yang bisa kau berikan jika gagal membuktikan kalimatmu?”Diana tak ragu. Ia menatap Arthur lurus, mata birunya mantap, suaranya stabil.“Nyawa saya.”Arthur tidak bereaksi banyak. Namun, sepas

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 4. Langkah Pertama

    Pagi ini, Diana berdiri di depan pintu kediaman Arthur, menunggu. Istana mereka tidak jauh, hanya dipisahkan dua halaman kecil dan sebuah lorong panjang.Kemarin, ia bertanya pada Bibi Erna, pelayan senior istana yang mengenal rutinitas Putra Mahkota lebih baik dari siapa pun, tentang jadwal Arthur. Pria itu selalu bangun sebelum matahari terbit, lalu bersiap menuju majelis pagi bersama Kaisar dan para bangsawan tinggi.Ia terlambat kemarin. Namun, hari ini Diana bertekad mengambil hati sang pangeran.Toh, pria itu suaminya sekarang. Mau tidak mau, pria itu harus menerimanya seperti Diana menerima takdirnya saat ini.Belum saja Diana mengetuk, pintu kediaman Arthur tiba-tiba terbuka keras dari dalam. Kasim yang berjaga sampai terlonjak dan langsung bersujud.“Y-Yang Mulia….”“Selamat pagi.” Diana tersenyum ramah. “Apa Yang Mulia sudah bangun?”Kasim itu mengangguk buru-buru. “S-sudah, Putri. Putra Mahkota baru saja terbangun.”Ia berhenti, menatap Diana dari ujung rambut yang disanggu

  • Mendadak Jadi Istri Pangeran Buruk Rupa   Bab 3. Penawar Racun

    Arthur berdiri tiba-tiba. “Ikut aku.”Diana berusaha bangun tapi lututnya goyah.Tubuhnya terlalu panas. Sensasinya terlalu intens. Kakinya gemetar hebat setiap kali ia mencoba berdiri.“Aku… tidak bisa…” Ia menggigit bibir sekuat tenaga. “Gendong aku.”Arthur menatapnya seperti hendak melemparnya keluar jendela. Tatapan dingin, meski pria itu melangkah mendekat.Dengan kuat, ia menarik tubuh Diana ke dada bidangnya dan menggendongnya. Diana mendesah perlahan—bukan sengaja, melainkan refleks dari sensasi yang menusuk tubuhnya.Arthur mengencangkan rahangnya keras sembari melangkah keluar kamar, tampak tidak suka mendengar suara itu.“Yang Mulia…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. “Anda membawaku … ke mana?”Arthur tidak menjawab.Ketika ia membuka mata perlahan, mata mereka kembali beradu. Biru pucat dan biru gelap. Diana hampir tenggelam dalam tatapannya.Hingga tiba-tiba Arthur berhenti.Lalu–melepaskan gendongannya.BYUUURR!!!“AAKH!!”Diana jatuh ke dalam air dingin.Tubuhny

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status