“Baca dan cermati!”
Selembaran kertas melayang lalu mendarat di atas meja. Jesika yang baru masuk beberapa detik yang lalu, tampak tertegun melihat kertas tersebut.
“Apa ini?” tanya Jesika penasaran.
“Aturan yang harus kamu patuhi selama menjadi istriku.”
Kening Jesika berkerut, kemudian ragu-ragu membungkuk meraih kertas tersebut. Sebelum mulai menyusuri setiap hurup yang tertata rapi pada lembaran tersebut, Jesika sempat menatap Antonio sekilas.
Jesika mengibas sekali kertas tersebut supaya menegak. Bola matanya mulai bergerak menyusuri setiap huruf di sana. Wajahnya begitu tenang, sampai perlahan ada raut wajah menyipit.
“Apa harus seperti ini?” tanya Jesika usai membaca bagian tengah di mana terdapat nomor lima di dan enam.
Turuti semua perintah pihak pertama. Dilarang membantah, patuhi semua.
Lakukan tugas layaknya seorang istri pada umumnya.
Sungguh konyol.
“Anda tidak salah tulis kan, Tuan?”
Antonio mengangkat pundaknya. “Tentu saja tidak. semua sudah aku pikirkan matang-matang dan memang itu yang sepatutnya kamu lakukan.”
Jesika melanjukan kembali membaca lembaran kertas itu dengan saksama. Bukankah ini seperti pembudakan? Jesika menemukan aturan lain yang mengatakan, dirinya tidak boleh ikut campur urusan pihak pertama yaitu Antonio. Dilarang mengambil barang yang bukan miliknya.
Cih! Memangnya aku maling?
Kembali melanjutkan membaca dalam hati, Jesika semakin menemukan peraturan yang cukup tidak masuk akal.
Siapkan pakaian setiap pagi dan sore.
Jangan memindahkan barang-barang tanpa diperintah.
Ganti sabun mandi setiap hari.
Kening Jesika mulai berkerut. Kenapa harus mengganti sabun setiap hari? Jesika berdecak, lalu kembali melanjutkan membaca.
Jangan ada warna merah di dalam kamar.
Apa lagi ini? kenapa dengan warna merah?
Bebas pergi keluar rumah asalkan diantar sopir dan harus kembali tepat waktu.
Silahkan minta apa pun, terkecuali meninggalkan rumah ini.
Jesika meringis. Kemarin dia sempat memikirkan untuk menagih kalimat tentang dirinya yang boleh meminta apa pun. Pada kenyataanya, permintaan tersebut tetap bersyarat.
Pandailah bersandiwara di depan semua orang yang pihak pertama kenal.
Kening Jesika kembali berkerut sekarang, lalu wajahnya terangkat menatap Antonio.
“Apa maksud dari momor tiga belas?”
Antonio ingat betul apa yang dia tulis dan bagaimana urutannya.
“Anggap saja kalau kamu wanita pilihan keluargaku. Bersikap seolah kamu yang mencintaiku atau bisa dikatakan kamu begitu mencintaiku. Sisanya, biar aku yang atur.”
Gila! Apa-apaan pria ini? syarat macam apa itu?
Jesika ingin protes, tapi mengingat nomor lain yang mengatakan dirinya boleh pergi ke mana pun asal kembali ke sini, sudah membuatnya cukup lega. Setidaknya tidak ada yang mengerikan dari peraturan tersebut selain beberapa yang memang tidak masuk akal.
Warna merah? sabun? Kenapa bisa begitu?
“Sebaiknya kamu segera pahami semua itu. Untuk peraturan lain, sepertinya tidak perlu kutulis. Setidaknya kamu cukup menganggukkan kepala jika aku menyuruhmu.”
Bolehkan tertawa sekarang? Jesika ingin menggeplak kepala pria itu dengan keras, lalu membenturkannya pada dinding sampai remuk kalau perlu. Semua harus dipatuhi, menganggukkan kepala. Lalu, bagaimana jika pria itu menyuruh masuk ke dalam jurang? Haruskah Jesika mengangguk?
“Bagaimana dengan imbalannya?” tiba-tiba mulutnya melontarkan kalimat tak terduga. Jesika mendadak menggigit bibir dengan mata merendah.
Mulanya Jesika enggan menatap lawan bicaranya, tapi setelah dipikir-pikir sejanak, meminta imbalan bukanlah hal yang memalukan apalagi melihat bagaimana banyaknya aturan yang tertulis dalam lembaran tersebut.
Antonio memasang wajah datar. Ketika satu tangannya merogoh masuk ke dalam saku kantong celanannya, Jesika mendadak was-was.
Apa dia akan mengeluarkan granat? Oh, atau mungkin pistol? Petasan?
Jesika semakin was-was dan mulai panik. Adegan ini terasa begitu melambat seperti yang terjadi dalam serial televisi yang hampir setiap hari tayang membuat para penonton senam jantung.
Plak!
Sebuah benda pipi seukuran dengan kartu tanda penduduk mendarat sempurna di atas meja kaca. Warnanya hitam dengan tulisan entah apa karena masih belum terlihat jelas.
“Apa itu?” tanya Jesika.
“Apa kamu tidak tahu kartu debit?”
“Tahu.”
“Lalu, kanapa kamu tanya?”
“Maksudku untuk apa benda itu?”
“Bodoh!” seloroh Antonio begitu saja. “Kamu meminta imbalan padaku, kan? Ambil itu, gunakan sepuasmu!"
Jesika menelan ludah. Sempat terjungkat kaget, tapi kemudian bisa mengelus dada saat Antonio meninggalkan kamar. Sekarang, mata Jesika tertuju pada benda pipih tersebut. Mengamati beberapa detik dengan badan mencondong.
“Bolehkah aku ambil itu?” tanyanya sambil celingukan.
Tangan Jesika mulai terulur, lalu mengangkat benda pipi itu, mulai membolak-balik dengan kening berkerut.
“Apa saja yang bisa aku beli dengan benda sekecil ini?”
Jesika mengangkat sedikit tinggi kartu tersebut sampai tersorot lampu kamar dilnagit-langit.
“Aku ke sana sekarang!”
Antonio berjalan lebih cepat menuruni tangga sambil mengenakakan hodie yang ia sambar sebelum meninggalkan kamar.
Sekarang pukul dua siang, dan suasana di luar san sedang panas-panasnya. Lalu untuk apa Antonio mengenakan hodie?
“Kamu yakin Antonio akan datang?”
“Harusnya begitu. Kalau kita datang ke rumahnya akan cukup susah karena dia tinggal di rumah neneknya. Akses untuk ke sana cukup sulit.”
Dua orang yang duduk di sebuah kafe tampak gelisah menunggu kedatangan Antonio. Beberapa kali mereka menoleh ke arah ruang tak berpintu, berharap sosok Antonio segera muncul dari balik tirai.
Setengah jam mereka menunggu, semakin merasa gelisah. Antonio tidak kunjung datang mereka sampai berpikir kalau Antonio bertemu dengan paparazzi yang terus menggila.
“Maaf, aku telat.” Pria berbadan tegap berdiri di hadapan mereka.
Mereka berdua menatap mulai dari bawah hingga keatas, lalu bersamaan menghela nafas saat Antonio membuka tudung hodienya.
“Sial! kupikir kamu terjebak wartawan,” ucap Betrand.
Antonio mendesah berat begitu sudah ikut duduk. “Aku melihat mereka di jalan. Sepertinya sedang ada event.”
Betrand mengangguk. “Glen ada di sana. Dia sedang mengisi acara untuk sebuah produk. Gila! Mereka beberapa kali mengejar Glen hanya untuk cari informasi tentang kamu.”
“Oh ya?” Antonio tidak terlalu terkejut sebenarnya. Itu hanya reaksi spontan.
“Sekarang bagaimana denganmu?” tanya pria yang duduk di samping Betran. Namanya Dude, manager Antonio. Untuk seorang manager saja, sukup kesusahan untuk masuk ke dalam hunian rumah Antonio.
“Aku hampir gila!”
Merka berdua terkekeh bersama sampai Antonio hanya bisa membuang mata jengah.
“Tertawa saja sekalian. Kenapa kalian tahan?”
Mereka berdua mengatup bibir, memipat ke dalam beberapa saat lantas berdehem kembali duduk dengan tegak. Sementara sekarang, wajah Antonio tampak pias.
“Hei, aku yang managermu saja sampai susah bertemu dengan kamu. sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aksesnya begitu sulit sih?” tanya Dude kesal.
“Dan tunggu dulu!” lanjut Dude. “Katakan kalau kamu tidak sungguh-sungguh menikah? Kudengar Selena kabur, kan?”
“Hm.”
“Apanya yang hem?” Dude menatap penasaran, pun dengan Betrand.
“Jangan tanya hal itu, aku malas. Sekarang bantu saja aku untuk menemukan orang yang menyebarkan video sialan itu. Memang brengsek! Aku jadi harus sembunyi-sembunyi hanya untuk keluar rumah.”
Terdengar Betrand mendesah. “Aku heran padamu, Ant. Kamu memiliki kuasa tinggi. Kamu cucu pemilik agensi, bagaimana mungkin tidak langsung menemukan siapa pelakunya? Bukankah itu hal mudah?”
“Memang mudah, aku hanya belum memulai pencarian saja, goblok!” decak Antonio kesal. “Dan juga, masalahku bukan hanya satu sekarang. kalau buru-buru, yang ada malah kacau. Kamu tahu bagaimana tampilanku beberapa bulan ini, kan. Pita suaraku bermasalah. Aku belum berani untuk tampil lagi.”
Dude tahu tentang itu, beberapa bulan terahir, Dude juga yang mengantar Antonio pergi menemui dokter sebelum sebuah scandal membuat sejagat hiburan heboh dengan berita pelecehan.
***
Di dalam otaknya, Antonio pernah berpikir untuk membantu keuangan Luna yang sedang merosot. Kabar rumah yang disita waktu itu, bahkan membuat Antonio merasa khawatir. Namun, rasa peduli itu nyatanya tidak dibalas dengan baik. Luna justru memainkan perannya sebagai orang yang licik penuh tipu muslihat. Keluar dari restoran, Antonio langsung meminta Tian untuk membawanya segera pergi. Antonio bahkan meninggalkan meja tanpa menunggu Luna kembali. Antonio tidak mau kalau sampai terjadi pertengkaran di sana, karena memang amarah Antonio sedang berada dipuncaknya. “Ada apa, Tuan?” tanya Tian ketika mobil sudah melaju. Wajah Antonio benar-benar merah padam. Kedua tangan tampak mengepal seperti ingin melayangkan tinju. Melihatnya saja membuat Tian bergidik ngeri. “Antar aku menemui Selena.” Kening Tian berkerut, namun akhrinya tetap menganggukkan kepala. Mobil melaku ke sebuah kompleks perumahan mewah. Sekarang sudah pukul dua siang, sialnya Selena sedang tidak du rumah. “Tian, kamu kump
Jesika mengatur pertemuan dengan rekan-rekannya di sebuah restoran berlantai dua di dekat danau. Jaraknya memang cukup jauh dengan kantor, tapi tidak masalah menurt Jesika karena datang beramai-ramai diantar mobil kantor. Setidaknya sekaran juga menjelang hari minggu, jadi berada diluar kantor cukup panjang tidak terlalu masalah.Sementara di kantor sendiri, Antonio dan beberapa infestor mulai kembali membahas tentang dana yang hilang. Pembahasan ini juga langsung teruju pada sebuah cctv yang Tian dapatkan dari setiap ruangan di sini.Siapa sangka kalau ternyata Luna pernah duduk di kursi ruangan kerja Antonio ketika Antonio tengah keluar sebentar untuk mengambil sesuatu kala itu. Antonio tidak pernah manaruh rasa curiga sebelumnya, karena memang yang dia pikir Luna adalah rekan yang baik.“Kamu yakin itu Luna?” tanya Antonio.“Jadi Tuan tidak percaya kalau ini Nona Luna?”Antonio menelan ludah dengan pertanyaan itu. memang sikap Antonio terlalu menyebalkan akhir-akhir ini karena terl
Masuk ke dalam kamar, Antonio melihat sang istri meringkuk di atas ranjang tanpa mengenakan selimut. Antonio meletakkan jas yang tersampir pada lengannya di atas sandaran sofa. Selepas itu, dia mendekati ranjang memeriksa keadaan sang istri. Melihat posisi Jesika, sepertinya Wanita itu ketiduran saat menunggu Antonio pulang.“Kenapa kamu tidak mengenakan selimut? Kamar dingin sekali.” Antonio membungkuk lalu meraij selimut.Namun, ketika hendak menutupkan pada Sebagian tubuh Jesika, Jesika malah terbangun. Wanita itu merangkuk lalu membalikkan badan.“Kamu sudah pulang?”Antonio tersenyum, kemudian duduk membantu sang istri yang beranjak duduk. “Kamu ketiduran?”Masih dengan mata sayu belum terbuka sempurna, Jesika mengangguk. “Kenapa baru pulang?” sekarang Jesika mencoba menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam.Antonio tersenyum tipis, mengelus lembut pucuk kepala sang istri. “Maaf, hari ini lumayan sibuk.”Jadi dia tidak mau mengatakannya padaku?Jesika terdiam mema
Sebelumnya saya minta maaf karena mungkin banyak typo. saya belum sempat untuk mengoreksinya kembali.***Jesika mungkin harus menunggu hingga malam tiba untuk bisa bertemu dengan sang suami. Di kantor, Jesika hanya sempat bertemu ketika tadi nyelonong masuk ke dalam ruangan, tapi setelah itu Jesika tidak melihat lagi bahkan hingga jam pulang kerja. Jesika bahkan pulang lebih dulu karena kata Tian pekerjaan Antonio belum selesai.“Kamu pulang sendiri, Jes?” tanya mama yang menyambutnya di depan pintu ruang tamu.Jesika mengangguk lalu mencium punggung telapak tangan mama mertuanya itu.“Antonio di mana?”Mereka berdua berjalan bersama masuk ke dalam.“Kata Tian, Antonio masih ada kerjaan.”“Tumben?”“Iya, aku juga kurang tahu, Ma. Aku tidak sempat bicara dengannya di kantor.”Menjelang makan malam, Antonio masih belum juga kunjung pulang ke rumah. dia menyempatkan diri menelpon Jesika dengan mengatakan kalau sebentar lagi akan pulang, namun meski begitu tatap saja merasa khawatir kare
Jesika tidak mau peduli mengenai Selena, tapi ketika dia hendak pergi membeli beberapa lembar kertas di sebuah toko, dia tidak sengaja melihat Selena tengah berdebat dengan seseorang. Jesika mengamati dari kejauhan.“Aku sudah mengirim banyak pada ayah. Ayah tidak perlu menemuiku ke sini!”“Ayah butuh lebih. Kalau sampai siang ini ayah tidak mendapatkan uang, ayah bisa mati.”“Apa peduliku?”“Anak kurang ajar!”Selena langsung menyingkir ketika tangan itu melayang hendak menampar dirinya. Jesika yang melihat dari kejauhan sampai membelalakkan mata dan menutup mulut.“Ayah jangan macam-macam denganku di tempat umum. Aku sudah beberapa kali memperingati ayah untuk tidak menemuiku di tempat umum. Ayah tahu resikonya, kan?”Pria berjenggot itu berdecak, menghempas tangan lalu berlalu pergi dengan sia-sia tanpa mendapatkan uang. sementara Selena, dia hanya bisa menghela nafas lalu menyapu ke area sekitar berharap tidak ada yang melihat perdebata baru saja.Jesika yang langsung bersembunyi,
Memang siapa yang sangka kalau Selena bisa melakukan hal sekeji itu hanya demi karirnya? Terkadang memang hal kotor bisa dilakukan demi sesuatu yang ingin sekali digapai, hanya saja cara Selena benar-benar di luar nalar walaupun pada kenyataannya banyak yang begitu di luar sana.“Aku benar-benar tidak menyangka kalau Antonio melupakanku demi Wanita yang jauh di bawahku.” Selena menyulut rokoknya sampai asap mengepul tinggi ke udara.“Jangan bilang sebenarnya kamu masih mengharapkan Amtonio?” Pemela menebak-nebak denga mata sinis. “Kamu masih belum move on?”“Oh come on! Ini sudah satu tahun lebih. Tentu saja aku sudah move on.”Pamela tersenyum miring. “Kamu yakin? Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu masih sering memantaunya dari jauh. Kamu bahkan meminta Luna untuk bisa lebih dekat dengan Antonio. Kamu Cuma menggunakannya sebagai alat untuk mengetahui tentang mereka kan?”“Brengsek kamu!” umpat Selena. “Aku tidak ada maksud seperti itu. setidaknya Luna lebih tinggi dari istri
Ketika Antonio berjalan mendekat setelah turun dari panggung, dengan bangganya Jesika bertepuk tangan. Bibirnya tersenyum menunjukkan deretan gigi yang putih. Reaksi Antonio yang langsung mengusap pucuk kepala Jesika, tentunya membuat siapa pun akan merasa iri.“Ah, kasihan sekali Selena. Pria seperhatian itu malah ditinggal kabur dulu.”“Benar juga. Jesika sangat beruntung mendapatkan Antonio.”Selena yang berdiri hampir di di paling ujung mendengar percakapan tamu undangan itu, tapi dia hanya menarik satu ujung bibir ke atas dengan wajah acuh sambil menenggak minumannya.“Kalau bukan karena keluarganya yang tak merestui, aku juga tidak mungkin meninggalkan Antonio. Mereka pikir sangat mudah menjadi diriku yang tidak disambut di keluarga Antonio. Brengsek!”Selena meletakkan gelasnya lalu beranjak pergi ke toilet.“Kamu ngobrol sama nenek dulu, aku mau ke toilet dulu sebentar.”“Oke.”Jesika menghampiri nenek yang tengah ngobrol dengan rekan-rekan dan beberapa artis di sana. ketika J
Entah kapan Antonio terakhir kali menginjakkan kaki di gedung agensi milik neneknya. Setiap langkah, ketika melihat beberapa poster dan layar monitor di beberapa titik dinding gedung, terkadang membuat rasa rindu untuk kembali lagi ke sini. Namun, Antonio lebih merasa nyaman ketika sudah meninggalkan agensi. Rasanya bisa berekspresi lebih luas lagi, dan juga tidak terlalu banyak tututan.“Ada apa?” tegur Jesika ketika melihat wajah sendu sang suami.Antonio bergidik lalu tersenyum. “Tidak, aku hanya sedikit rindu ketika masih di sini.”Jesika mengusap lengan Antonio lalu menggandengnya dengan erat. Beberapa orang atau tamu lain berjalan di belakang mereka, tapi tentunya tidak terlihat heboh karena memang ini sudah aturannya bagi siapa pun yang ingin datang ke acara tahunan agensi.Mereka menuju lantai tiga di mana acara akan berlangsung. Papa dan mama tidak bisa datang, jadi hanya nenek yang berangkat bersama Antonio dan Jesika. ada Tian dan Bitt juga pastinya.Sampai di ruanga acara,
“Wanita itu menemui Antonio lagi?”“Iya, Nona.”Jesika yang tengah mengunyah makanan, memegang ponselnya dengan tangan kiri.“Kamu menelpon siapa, Sayang?” tanya nenek yang duduk di hadapannya dengan dibatasi meja bulat.“Tian, Nek.”Megan mengangguk-angguk melanjutkan makan lagi, sementara Jesika membali bicara dengan Tian.“Mau apa dia datang lagi? sudah berapa kali dia datang menemui Antonio?”Nada bicara Jesika membuat Megan menatap penasaran.“Sayang kurang tahu, Nona. Mereka bicara di ruang tamu kantor. Saya hanya bisa melihat dari luar saja.Ruang tamu memang didesain dengan dinding kaca. Tidak ada privasi di sini memang, jadi akan jauh lebih netral untuk bicara dan tidak membuat siapapun salah sangka.“Biarkan saja mereka bicara. perempuan itu tidak akan menyerah sepertinya. Kamu bantu awasi saja. Aku takut dia ada campur tangan dengan klaim karya waktu itu.”“Baik, Nona.”Pemikiran Jesika sepertinya sama dengan Tian. sejujurnya Tian sudah melihat cctv di parkiran belakang ged