Share

9. Kartu Berwarna Hitam

“Baca dan cermati!”

Selembaran kertas melayang lalu mendarat di atas meja. Jesika yang baru masuk beberapa detik yang lalu, tampak tertegun melihat kertas tersebut.

“Apa ini?” tanya Jesika penasaran.

“Aturan yang harus kamu patuhi selama menjadi istriku.”

Kening Jesika berkerut, kemudian ragu-ragu membungkuk meraih kertas tersebut. Sebelum mulai menyusuri setiap hurup yang tertata rapi pada lembaran tersebut, Jesika sempat menatap Antonio sekilas.

Jesika mengibas sekali kertas tersebut supaya menegak. Bola matanya mulai bergerak menyusuri setiap huruf di sana. Wajahnya begitu tenang, sampai perlahan ada raut wajah menyipit.

“Apa harus seperti ini?” tanya Jesika usai membaca bagian tengah di mana terdapat nomor lima di dan enam.

Turuti semua perintah pihak pertama. Dilarang membantah, patuhi semua.

Lakukan tugas layaknya seorang istri pada umumnya.

Sungguh konyol.

“Anda tidak salah tulis kan, Tuan?”

Antonio mengangkat pundaknya. “Tentu saja tidak. semua sudah aku pikirkan matang-matang dan memang itu yang sepatutnya kamu lakukan.”

Jesika melanjukan kembali membaca lembaran kertas itu dengan saksama. Bukankah ini seperti pembudakan? Jesika menemukan aturan lain yang mengatakan, dirinya tidak boleh ikut campur urusan pihak pertama yaitu Antonio. Dilarang mengambil barang yang bukan miliknya.

Cih! Memangnya aku maling?

Kembali melanjutkan membaca dalam hati, Jesika semakin menemukan peraturan yang cukup tidak masuk akal.

Siapkan pakaian setiap pagi dan sore.

Jangan memindahkan barang-barang tanpa diperintah.

Ganti sabun mandi setiap hari.

Kening Jesika mulai berkerut. Kenapa harus mengganti sabun setiap hari? Jesika berdecak, lalu kembali melanjutkan membaca.

Jangan ada warna merah di dalam kamar.

Apa lagi ini? kenapa dengan warna merah?

Bebas pergi keluar rumah asalkan diantar sopir dan harus kembali tepat waktu.

Silahkan minta apa pun, terkecuali meninggalkan rumah ini.

Jesika meringis. Kemarin dia sempat memikirkan untuk menagih kalimat tentang dirinya yang boleh meminta apa pun. Pada kenyataanya, permintaan tersebut tetap bersyarat.

Pandailah bersandiwara di depan semua orang yang pihak pertama kenal.

Kening Jesika kembali berkerut sekarang, lalu wajahnya terangkat menatap Antonio.

“Apa maksud dari momor tiga belas?”

Antonio ingat betul apa yang dia tulis dan bagaimana urutannya.

“Anggap saja kalau kamu wanita pilihan keluargaku. Bersikap seolah kamu yang mencintaiku atau bisa dikatakan kamu begitu mencintaiku. Sisanya, biar aku yang atur.”

Gila! Apa-apaan pria ini? syarat macam apa itu?

Jesika ingin protes, tapi mengingat nomor lain yang mengatakan dirinya boleh pergi ke mana pun asal kembali ke sini, sudah membuatnya cukup lega. Setidaknya tidak ada yang mengerikan dari peraturan tersebut selain beberapa yang memang tidak masuk akal.

Warna merah? sabun? Kenapa bisa begitu?

“Sebaiknya kamu segera pahami semua itu. Untuk peraturan lain, sepertinya tidak perlu kutulis. Setidaknya kamu cukup menganggukkan kepala jika aku menyuruhmu.”

Bolehkan tertawa sekarang? Jesika ingin menggeplak kepala pria itu dengan keras, lalu membenturkannya pada dinding sampai remuk kalau perlu. Semua harus dipatuhi, menganggukkan kepala. Lalu, bagaimana jika pria itu menyuruh masuk ke dalam jurang? Haruskah Jesika mengangguk?

“Bagaimana dengan imbalannya?” tiba-tiba mulutnya melontarkan kalimat tak terduga. Jesika mendadak menggigit bibir dengan mata merendah.

Mulanya Jesika enggan menatap lawan bicaranya, tapi setelah dipikir-pikir sejanak, meminta imbalan bukanlah hal yang memalukan apalagi melihat bagaimana banyaknya aturan yang tertulis dalam lembaran tersebut.

Antonio memasang wajah datar. Ketika satu tangannya merogoh masuk ke dalam saku kantong celanannya, Jesika mendadak was-was.

Apa dia akan mengeluarkan granat? Oh, atau mungkin pistol? Petasan?

Jesika semakin was-was dan mulai panik. Adegan ini terasa begitu melambat seperti yang terjadi dalam serial televisi yang hampir setiap hari tayang membuat para penonton senam jantung.

Plak!

Sebuah benda pipi seukuran dengan kartu tanda penduduk mendarat sempurna di atas meja kaca. Warnanya hitam dengan tulisan entah apa karena masih belum terlihat jelas.

“Apa itu?” tanya Jesika.

“Apa kamu tidak tahu kartu debit?”

“Tahu.”

“Lalu, kanapa kamu tanya?”

“Maksudku untuk apa benda itu?”

“Bodoh!” seloroh Antonio begitu saja. “Kamu meminta imbalan padaku, kan? Ambil itu, gunakan sepuasmu!"

Jesika menelan ludah. Sempat terjungkat kaget, tapi kemudian bisa mengelus dada saat Antonio meninggalkan kamar. Sekarang, mata Jesika tertuju pada benda pipih tersebut. Mengamati beberapa detik dengan badan mencondong.

“Bolehkah aku ambil itu?” tanyanya sambil celingukan.

Tangan Jesika mulai terulur, lalu mengangkat benda pipi itu, mulai membolak-balik dengan kening berkerut.

“Apa saja yang bisa aku beli dengan benda sekecil ini?”

Jesika mengangkat sedikit tinggi kartu tersebut sampai tersorot lampu kamar dilnagit-langit.

“Aku ke sana sekarang!”

Antonio berjalan lebih cepat menuruni tangga sambil mengenakakan hodie yang ia sambar sebelum meninggalkan kamar.

Sekarang pukul dua siang, dan suasana di luar san sedang panas-panasnya. Lalu untuk apa Antonio mengenakan hodie?

“Kamu yakin Antonio akan datang?”

“Harusnya begitu. Kalau kita datang ke rumahnya akan cukup susah karena dia tinggal di rumah neneknya. Akses untuk ke sana cukup sulit.”

Dua orang yang duduk di sebuah kafe tampak gelisah menunggu kedatangan Antonio. Beberapa kali mereka menoleh ke arah ruang tak berpintu, berharap sosok Antonio segera muncul dari balik tirai.

Setengah jam mereka menunggu, semakin merasa gelisah. Antonio tidak kunjung datang mereka sampai berpikir kalau Antonio bertemu dengan paparazzi yang terus menggila.

“Maaf, aku telat.” Pria berbadan tegap berdiri di hadapan mereka.

Mereka berdua menatap mulai dari bawah hingga keatas, lalu bersamaan menghela nafas saat Antonio membuka tudung hodienya.

“Sial! kupikir kamu terjebak wartawan,” ucap Betrand.

Antonio mendesah berat begitu sudah ikut duduk. “Aku melihat mereka di jalan. Sepertinya sedang ada event.”

Betrand mengangguk. “Glen ada di sana. Dia sedang mengisi acara untuk sebuah produk. Gila! Mereka beberapa kali mengejar Glen hanya untuk cari informasi tentang kamu.”

“Oh ya?” Antonio tidak terlalu terkejut sebenarnya. Itu hanya reaksi spontan.

“Sekarang bagaimana denganmu?” tanya pria yang duduk di samping Betran. Namanya Dude, manager Antonio. Untuk seorang manager saja, sukup kesusahan untuk masuk ke dalam hunian rumah Antonio.

“Aku hampir gila!”

Merka berdua terkekeh bersama sampai Antonio hanya bisa membuang mata jengah.

“Tertawa saja sekalian. Kenapa kalian tahan?”

Mereka berdua mengatup bibir, memipat ke dalam beberapa saat lantas berdehem kembali duduk dengan tegak. Sementara sekarang, wajah Antonio tampak pias.

“Hei, aku yang managermu saja sampai susah bertemu dengan kamu. sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aksesnya begitu sulit sih?” tanya Dude kesal.

“Dan tunggu dulu!” lanjut Dude. “Katakan kalau kamu tidak sungguh-sungguh menikah? Kudengar Selena kabur, kan?”

“Hm.”

“Apanya yang hem?” Dude menatap penasaran, pun dengan Betrand.

“Jangan tanya hal itu, aku malas. Sekarang bantu saja aku untuk menemukan orang yang menyebarkan video sialan itu. Memang brengsek! Aku jadi harus sembunyi-sembunyi hanya untuk keluar rumah.”

Terdengar Betrand mendesah. “Aku heran padamu, Ant. Kamu memiliki kuasa tinggi. Kamu cucu pemilik agensi, bagaimana mungkin tidak langsung menemukan siapa pelakunya? Bukankah itu hal mudah?”

“Memang mudah, aku hanya belum memulai pencarian saja, goblok!” decak Antonio kesal. “Dan juga, masalahku bukan hanya satu sekarang. kalau buru-buru, yang ada malah kacau. Kamu tahu bagaimana tampilanku beberapa bulan ini, kan. Pita suaraku bermasalah. Aku belum berani untuk tampil lagi.”

Dude tahu tentang itu, beberapa bulan terahir, Dude juga yang mengantar Antonio pergi menemui dokter sebelum sebuah scandal membuat sejagat hiburan heboh dengan berita pelecehan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status