Share

Mendadak Jadi Ratu
Mendadak Jadi Ratu
Penulis: akufannitalita

Bab 1 - Motel Harapan dan Pantai Nasuga

Aneska baru saja mengakhiri sesi mengajar taekwondo sekitar pukul sembilan malam. Ia berencana mampir ke apartemen Ildo sebelum pulang ke rumah. Kebetulan sekali apartemen tunangannya cukup dekat dengan Dojang tempat Aneska mengajar. Hanya berkisar dua menit berjalan kaki.

Sekitar lima menit kemudian, Aneska tiba di depan unit Ildo. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menghubungi nomor tunangannya. Meski tahu kode unit apartemen Ildo, Aneska tetap memperingati diri sendiri supaya tidak lancang masuk tanpa seizin pemiliknya. Bagaimanapun Aneska masih berstatus tunangan. Ia merasa tidak berhak masuk terlalu jauh pada wilayah privasi seseorang.

Panggilan pertama tidak terjawab. Aneska mencoba menghubungi nomor Ildo lagi. Ia berpikir, mungkin Ildo sedang sibuk. Namun, sampai panggilan telepon ke lima, Ildo tak kunjung menjawab panggilannya.

“Dia kemana?” Aneska bermonolog seorang diri.

“Aku masuk aja, deh. Do, sorry aku masuk tanpa ijin kamu.”

Aneska menekan kombinasi angka kode unit Ildo sembari terus mengucapkan maaf dalam hati. Sejujurnya ia merasa bersalah karena sudah lancang. Tetapi disisi lain, ia khawatir sesuatu terjadi pada Ildo—mengingat pria itu kerap lupa waktu kalau sudah berkutat dengan kerjaan.

Aneska langsung masuk ketika pintu unit sudah terbuka. Namun baru menginjak area rak sepatu, Aneska mendengar suara desahan juga erangan tak tertahankan dari arah kamar. Jantung Aneska seketika berdebar kencang, pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Dadanya terasa sesak, seolah ada sebuah tali raksasa membelit sekujur tubuh.

“Ah—you are so f*ckin sexy, Beb.”

Air mata sudah lolos dari kedua pelupuk mata Aneska. Ia mengenali suara itu. Suara yang menemani Aneska Prameswari sejak tujuh tahun terakhir dalam hidupnya. Kali ini bukan hanya sesak yang Aneska rasa, melainkan sakit teramat dalam. Semakin melangkah lebih jauh, kedua kaki Aneska semakin berat. 

“Gak. Gak mungkin.”

Aneska menggeleng kuat sembari memukul kepalanya sendiri. Berharap suara – suara laknat dalam unit Ildo bisa segera enyah. Namun, semakin Aneska menolak percaya, suara desahan, rayuan, juga erangan itu semakin terdengar jelas.

“Aku … keluar, Beb!

Aneska berdiri kaku di ambang pintu kamar. Buliran air mata kian deras membasahi pipi ketika pemandangan paling menjijikan terpampang nyata. Disana—tepatnya di atas kasur, Ildo dan seorang wanita berambut pirang baru saja mencapai sebuah pelepasan hasrat duniawi. Tubuh mereka masih menyatu, dilanjut saling bercumbu mesra. Sesekali saling menatap dan menggoda satu sama lain.

“Udah berapa lama?” ucap Aneska dengan suara bergetar.

Kedua manusia tanpa busana itu menoleh cepat. Mereka sukses dibuat kaget setelah melihat kehadiran Aneska di ambang pintu. Ildo langsung beranjak dari kasur, memakai celana kolor, dan menghampiri calon istrinya.

“Nes, aku bisa jelasin,” ucap Ildo. Raut panik tergambar jelas di wajahnya. Pria itu juga berusaha menggenggam telapak tangan Aneska.

“Sejak kapan?” tanya Aneska sekali lagi. Mengabaikan ucapan sampah kekasihnya.

Ildo diam.

“Gue tanya sekali lagi. Dari kapan lo berdua main di belakang gue?!” Aneska menatap Ildo, juga wanita yang sangat dikenalinya. Glica Asmara, sahabatnya sendiri. Sialan bukan?

Keduanya bungkam. Ildo berlutut di hadapan Aneska, sedang Glica bertahan di kasur sembari menunduk ketakutan.

Aneska mengusap bekas air mata di pipi dengan kasar. Semuanya sudah terjadi. Kemarahan Aneska tidak akan mengembalikan fakta bahwa Ildo sudah berhianat.  Matanya terpejam beberapa saat, sebelum akhirnya menarik napas dalam. Aneska perlu menetralkan emosi sebelum menghadapi manusia sampah seperti mereka. Gue gak boleh kelihatan lemah. Bisa – bisa mereka malah kasihan lihat gue.

“Gak bisa jawab ya? Oke. Silahkan dilanjutin lagi,” Aneska menipiskan bibir, menahan sesak di dada, “Sorry gue ganggu. Sok, dilanjut.”

Aneska berbalik badan. Segera pergi dari unit Ildo merupakan solusi paling baik untuk saat ini. Ketika berhasil keluar dari neraka, pertahanan Aneska langsung luruh di dalam elevator. Ia terduduk di lantai sembari menangis kencang. Kotak besi menjadi saksi bisu betapa hancurnya perasaan Aneska Prameswari. Dikhianati calon suami dan sahabatnya sekaligus. Dua manusia paling ia percayai setelah keluarganya.

Dentingan elevator terdengar. Tidak lama setelahnya, pintu besi dihadapan Aneska terbuka. Seorang wanita tua masuk dan berdiri di sebelah Aneska.

“Namanya hidup pasti penuh ujian, Mbak. Tapi tenang aja. Saya lihat Mbaknya dapat kesempatan buat bahagia kok.” Wanita tua itu menyeletuk.

Aneska tidak merespon. Ia terlalu malas menanggapi seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain. Aneska menunduk guna menyembunyikan wajah diantara lipatan tangan.

Suara dentingan elevator terdengar lagi, disusul dengan pintu besi kembali terbuka. Aneska beranjak dari duduknya ketika menyadari elevator sudah tiba di lantai dasar. Tanpa kalimat basa – basi atau permisi, Aneska meninggalkan wanita tua itu. Berjalan cepat sembari menunduk, lalu menaiki ke bus kota yang kebetulan berhenti di halte depan apartemen. Kemudian bus melaju dengan kecepatan sedang, sesuai rute biasanya.

Waktu terus berjalan, bus yang ditumpangi Aneska baru saja memasuki kawasan terminal sekaligus tempat pemberhentian terakhir. Sayangnya, Aneska belum menyadari hal itu. Ia terlalu larut dalam tangisan.  

"Ini gue dimana?" lirih Aneska. 

“Mbaknya gak tau daerah sini?” Sang supir bus muncul dari pintu di belakang Aneska. “Saran saya, mending Mbak cari penginapan aja. Ini sudah malam, besok aja baru dilanjut lagi. Satu menit dari sini ada motel murah tapi bersi, kok.”

Seolah paham dengan ekspresi Aneska, si supir langsung menyeletuk lagi. “Saya cuma mau ngasih tau, Mbak. Kalau Mbak takut dan mau cari hotel sendiri, silahkan. Saya pergi dulu.”

Aneska melihat supir bus itu pergi. Meninggalkan Aneska seorang diri di pemberhentian bus terakhir. Aneska mengambil ponsel, lalu membuka fitur maps. Ia merasa perlu tahu dimana posisinya sekarang.

Sh*t!

Aneska berteriak kencang, lalu menyugar rambut panjangnya menggunakan ruas jari. Frustrasi. Aneska melangkah keluar area pemberhentian bus, lalu menyusuri pinggir trotorar. Suasana jalanan tidak terlalu sepi. Masih ada beberapa motor berseliweran. Beberapa warung tenda juga masih buka.

“Motel Harapan?” Aneska mengernyit ketika membaca plang nama hotel. Kemudian tertawa pelan. Tepatnya, menertawakan nasibnya sendiri. Lucu sekali. Kurang dari dua jam lalu Aneska kehilangan harapan tentang cinta. Sekarang, ia justru menginap di hotel Harapan?

Sesampainya di meja resepsionis, Aneska disambut oleh wanita tua berusia enam puluh tahunan. Wanita tua itu berdiri dengan postur tubuh yang tidak lagi tegak. Meski begitu, beliau tetap berusaha menyambut baik kedatangan Aneska.

Wanita tua itu tersenyum hangat sebagai balasan. Kemudian mengulurkan kunci stainless berbandol tulisan “101” pada Aneska.

“Di belakang motel ada pantai,” celetuk wanita tua.

Aneska tersenyum tipis. “Terima kasih, Nek. Tapi mungkin besok pagi saja, angin malam tidak baik untuk kesehatan.”

“Konon katanya, pantai di belakang motel bisa mengabulkan harapan seseorang.”

Aneska melihat wanita tua itu tersenyum hangat. Tetapi sesungguhnya senyuman wanita itu mengandung banyak arti. 

“Hahaha, saya tidak percaya tahayul, Nek.”

“Dicoba saja dulu.”

Aneska tidak menjawab lagi. Hanya tersenyum tipis, lalu pamit pergi ke kamar untuk beristirahat. Rangkaian kejadian hari ini membuat Aneska lelah fisik dan batin. Ia berencana langsung tidur dan kembali saat fajar tiba. Namun, sudah beberapa menit memejamkan mata, adegan panas Ildo dan Glica malah semakin berputar jelas dalam kepalanya. Aneska mengerjap. Emosi kembali menguasai hati dan pikirannya. Pada akhirnya, Aneska nekat keluar kamar, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sekadar berjalan santai di pinggir pantai.  

Suasana pantai sudah lumayan sepi. Aneska berjalan pelan sembari meneguk air mineral di tangan. Beberapa menit kemudian, Aneska duduk di atas hamparan pasir putih. Pandangan matanya lurus, menatap laut malam disertai gulungan ombak besar. Suara deburan ombak menjadi pengiring suara area pantai malam itu. Terdengar begitu tenang, tapi juga menyayat hati.

Tanpa sadar, sebulir air mata menetes lagi. Turun dengan begitu cepat menyusuri pipi tembam Aneska. Sial, Aneska kembali teringat penghianatan Ildo dan Glica.

“Gue benci lo berdua!” Aneska berteriak keras. Seolah dua manusia biadab itu ada di hadapannya.

Aneska merasa hidupnya hancur. Bayangan indah membina keluarga bahagia dengan Ildo sudah musnah. Menyisahkan penyesalan teramat dalam pada diri Aneska. Ia sudah tidak bisa membayangkan lagi, bagaimana reaksi kedua orangtuanya. Terlebih sang Ayah pernah menentang keras hubungan mereka.

Atau gue mati aja kali ya? dengan begitu Ayah sama Ibu bakalan lebih fokus mengurus pengajian gue. Ketimbang mendengar gosip pernikahan gue batal. Ya, gue harus mati.

“Ayah, Ibu. Maafin Anes.”

Aneska beranjak dari duduknya. Kemudian melangkah pelan, lebih dekat dengan bibir pantai. Pandangannya kosong. Dinginnya air laut mulai menusuk kulit bagian telapak kaki hingga betis Aneska. Semakin lama, tubuh Aneska semakin tenggelam. Kali ini, air laut mulai memeluk tubuh Aneska hingga leher.

Sejenak Aneska teringat dengan ucapan Nenek resepsionis tadi. Lantas ia mulai membuat permohonan. “Kalo bener pantai ini bisa mengabulkan harapan, di kehidupan gue selanjutnya, please gimme happiness. Buat gue lupa sama Ildo.”

Yang terakhir Aneska ingat, ia semakin bergerak maju hingga sekujur tubuhnya tertelan laut malam. Terombang – ambing oleh besarnya ombak Pantai Nasuga. Kesadaran Aneska pun hilang …

                           ***

“Yang Mulia sudah sadar!”

Sebuah teriakan dan suara berisik terdengar bersamaan Aneska membuka kedua kelopak mata. Yang mulia? Siapa itu?

Aneska mengernyit sembari memandangi ruangan luas bercorak putih dan emas. Seingat Aneska, terakhir kali dirinya berusaha menenggelamkan diri di pantai Nasuga. Tapi kenapa saat membuka mata yang ia lihat bukan cahaya serba putih atau alam setelah kematian? Tidak mungkin alam setelah kematian sangat mewah dan mentereng seperti ini.

“Yang Mulia, apakah Yang Mulia mendengar saya?” Seorang wanita berbadan mungil bertutur lembut.

Aneska menoleh. Matanya menemukan wanita berpakaian pelayan sedang bersimpuh di pinggir ranjang. Kepala wanita itu tertunduk dalam, seolah takut untuk melihat wajah Aneska. Pemandangan itu sontak membuat Aneska mengernyit bingung.

“Lo siapa? Gue dimana?” tanya Aneska pada wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status