Share

Bab 2 - Identitas Baru

“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa memahami ucapan Yang Mulia barusan.”

Aneska melihat wanita itu berkata dengan kepala tertunduk. Tanpa sadar dahi Aneska mengkerut tanda kebingungan. Ada banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya. Sebenarnya siapa orang - orang itu? Kenapa dirinya bisa ada di sini? batin Aneska 

“Sebelumnya saya mohon ijin bertanya, apakah ada keluhan yang saat ini dirasakan oleh Yang Mulia? Beberapa Dayang masih menyusul Tabib istana. Mereka akan tiba sesegera mungkin.” 

“Hah? Dayang? Tabib Istana? Maksudnya apa, sih? Ini gue dimana?” Aneska langsung bangkit dari posisi rebahannya dan turun dari ranjang. Ia berjongkok di depan wanita itu.

“Yang Mulia jangan bersikap seperti ini. Mari, saya bantu kembali ke ranjang. Yang Mulia harus banyak beristirahat.” Wanita itu panik. Dia ingin memegang kedua sisi bahu Aneska tetapi urung, lantas yang bisa dia lakukan hanya terus memohon supaya Aneska bersedia kembali rebahan di ranjang.

“Jelasin dulu, lo—maksud gue, kamu siapa? Dan kenapa aku bisa ada di sini?”

Wanita itu melongo beberapa saat. “Saya Gita, Yang Mulia. Dayang pribadi Yang Mulia. Tetapi, apakah Yang Mulia benar – benar tidak mengingat kami?”

Aneska menggeleng cepat. “Cepat jelasin!” 

“Nama Yang Mulia adalah Nadlyne Aurora Eddlyn—”

What?! Siapa tadi kamu bilang? Nadlyne … Aurora Eddlyn?!” sambar Aneska cepat dan dibalas anggukan mantap dari gadis di hadapannya.

“Benar, Yang Mulia. Yang Mulia adalah Ratu kami. Ratu kerajaan Aldarian.”

Aneska tadinya berjongkok langsung limbung. Ia terduduk di lantai granit yang dingin. Kedua kakinya menekuk, salah satu siku tangan bertopang pada lutut kirinya. Telapak tangan kiri menopang kepala Aneska yang mulai pening tidak karuan.

Di masa depan, tepatnya tahun 2023, banyak buku sejarah peradaban Republik Aldarian. Ditulis oleh sejarawan berbeda, juga versi berbeda. Namun, inti dari semua buku tersebut adalah Aldarian. Mulai dari awal berdirinya kerajaan, kekaisaran, penjajahan negara Extador, perlawanan rakyat Aldarian masa itu, hingga republik Aldarian pertama didirikan.

Selain menceritakan sejarah Aldarian, ternyata kisah cinta Raja dan Ratu ke - 3 Aldarian banyak mencuri perhatian pembaca. Bagaimana romantis, perhatian, dan gagahnya seorang Galen Ashaf Edward memperlakukan istrinya. Nadlyne Aurora Eddlyn. Kisah mereka adalah dongeng paling sempurna di masa depan. Aneska pun sempat bermimpi mempunyai kisah cinta seromantis Raja dan Ratu ke-3 Aldarian. Tetapi bukan seperti ini caranya!

Tunggu dulu ... Kalau gue adalah Nadlyne Aurora … berarti gue juga istri Galen Edward?! Sialan … Sumpah ini gak lucu, Tuhan!

“Bangun, Nes. Sumpah, lo lagi halu. Ini semua cuma mimpi.” Aneska menampar pipinya sendiri sembari terus mengumpat. Hal itu tentu membuat Gita—dayang di hadapan Aneska—panik bukan main.

“Saya mohon, Yang Mulia jangan seperti ini,” pinta Gita sembari memegangi kedua pergelangan tangan Aneska.

Beruntungnya, dua dayang dan seorang pria tua berpakaian aneh menyusul masuk ke kamar Aneska. Mereka sigap membantu Gita untuk menenangkan Aneska. Meski sempat berontak, pada akhirnya Aneska bisa sedikit tenang. Aneska dibimbing duduk di tepian ranjang, sebelum akhirnya pria tua itu memeriksa Aneska dengan cara – cara kuno. Aneska menduga, pria tua adalah Tabib Istana yang Gita maksud.

“Bagaimana kondisi Yang Mulia, Datuk?” tanya Gita, khawatir.

Pria yang baru saja dipanggil ‘Datuk’ menjawab, “Sejauh ini, kondisi Yang Mulia sudah mulai stabil. Hanya saja, saya menyarankan kepada Yang Mulia lebih baik beristirahat selama beberapa hari sebelum kembali ke pemerintahan.”

Para dayang langsung mengangguk paham. Kemudian salah satu diantara tiga dayang mengantar sang Tabib keluar ruangan. Sedang dua yang tersisa memilih tinggal bersama Aneska.

“Coba cubit aku!” Aneska menoleh, menatap Gita.

Gita menggeleng takut. “Mohon jangan paksa kami melakukan itu, Yang Mulia. Kami tidak ingin menyakiti Yang Mulia Ratu.”

Dayang lain mengangguk setuju.

“Cepat. Aku yakin, semuanya hanya mimpi!” Aneska meraih masing – masing satu dari pergelangan tangan gadis dihadapannya. Kemudian memukul – mukulkan telapak tangan mereka ke pipinya sendiri.

Para dayang ketakutan. Mereka bahkan menangis sembari menggeleng pelan. Kalau sampai Ibu Dayang melihat, mereka pasti akan mendapatkan hukuman lantaran dianggap bersikap kurang ajar. 

“Ampun, Yang Mulia Ratu. Jangan bersikap seperti ini.” Gita terisak.

“Aku janji tidak akan menghukum kalian berdua.”

Permintaan Aneska terdengar semakin menakutkan. Baik Gita, maupun teman dayangnya, saling melirik satu sama lain. Meski permintaan aneh terlontar dari bibir sang Ratu, tetapi hukuman bagi dayang tetap berlaku. Hukuman paling mudah untuk dijalani yaitu pemberhentian tugas dengan tidak hormat. Sedang hukuman paling berat adalah hukuman mati.

“Cepat. Sebelum ada orang lain melihat,” desak Aneska.

Gita menarik napas dalam, lalu menghembuskan dengan kasar. Dia perlu menyiapkan mental dan mengikhlaskan diri apabila nasib buruk menimpanya. Ketimbang temannya, Gita jauh lebih bertanggung jawab untuk melakukan permintaan Aneska. Alasannya satu, Gita adalah dayang pribadi Ratu Nadlyne.

“Titip Ibu dan adikku, Ras,” pesan Gita sebelum bersimpuh lebih dekat ke arah Aneska.

“Sebelumnya, maafkan ketidaksopanan saya, Yang Mulia.” Gita menunduk takut. Telapak tangan kecilnya saling bertautan. Jantungnya berdebar cepat.

Aneska menunjuk lengan kanannya. Gita menurut, lantas dia cubit lengan kecil itu pelan.

"Kurang keras! Seperti ini contohnya.” Aneska mencubit lengan kanannya hingga meninggalkan bekas merah pekat. Ekspresi wajahnya meringis kesakitan, seiring dengan ngilu pada bekas cubitan. Tetapi Aneska menolak sadar. Ia yakin semuanya mimpi belaka.

“Ja – jangan, Yang Mulia.” Gita menggeleng takut. Isak tangis kembali lolos dari bibir wanita itu.

“Cepat!” tegas Aneska.

Gita tidak mempunyai pilihan selain menuruti perintah Aneska. Dia cubit lengan Aneska sedikit lebih keras dari sebelumnya. Namun, belum sempat Gita menarik jarinya dari kulit sang Ratu, Aneska justru menekan cubitan tangan Gita semakin erat. Keduanya menjerit kompak. Aneska kesakitan, Gita ketakutan.

“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya bersalah. Saya pantas dihukum mati. Ampuni saya, Yang Mulia.” Gita langsung menggosok telapak tangan, sebelum akhirnya bersujud beberapa kali. Menciumi ujung kaki Aneska.

“Hei! Sudah, sudah, jangan sujud seperti ini.” Aneska ikutan panik. Reflek wanita dua puluh lima tahun itu menaikkan kakinya dan bersila di atas ranjang. Kedua telapak tangan Aneska menyentuh sisi bahu Gita.

Gita menggeleng kuat sembari terus bersujud beberapa kali. Membuat Aneska memutar otak, mencari cara untuk menghentikan tindakan dayang dihadapannya. Aneska melirik dayang lain di sebelah Gita.

“Namamu siapa? Tolong kamu bawa temanmu pergi,” pinta Aneska.

“Sa – saya Rasti, Yang Mulia.” Rasti membungkuk.

Aneska mengisyaratkan Rasti segera membawa Gita keluar kamar. Sayangnya, Gita bersikeras tinggal. Gita terus menggosok telapak tangan dan bersujud sampai berulang – ulang meski Aneska sudah melarang. 

“Oke, gini. Kamu gak perlu merasa bersalah sampai seperti ini. Sedari awal, aku yang meminta kalian melakukannya. Aku juga sudah berjanji tidak akan menghukum kalian. Jadi, jangan berlebihan,” bujuk Aneska.

"Tapi, Yang Mulia—” Gita masih terisak.

“Tidak ada tapi – tapian. Sekarang, tugasmu hanya keluar dari ruangan ini. Aku ingin beristirahat. Bukan kah pria tadi mengatakan aku harus banyak istirahat?” Aneska membujuk lagi.

Untuk beberapa saat Gita dan Rasti saling melirik. Aneska melihat itu.

“I – Ijinkan saya tinggal bersama Yang Mulia. Sa – saya adalah dayang pribadi Yang Mulia Ratu. Sudah sewa—”

Aneska menyambar cepat. “Aku ingin beristirahat. Tolong beri aku privasi.”

“Privasi?” Seketika Gita dan Rasti membeo, bingung.

Seolah menyadari ucapannya, Aneska langsung menepuk dahi pelan. Ia lupa orang – orang jadul dihadapannya tidak mengerti bahasa modern. Lantas Aneska cepat mencari kalimat serupa, tentu saja dengan penjabaran lebih mudah dipahami oleh mereka.

Sejujurnya Aneska sedikit kesusahan berbicara menggunakan kalimat baku lantaran nilai bahasa Aldarian -nya kurang begitu bagus. Itulah kenapa sedari tadi ucapan Aneska terdengar campur aduk antara formal dan semi formal. Beruntung mereka masih bisa memahami ucapan Aneska.

“Privasi itu … hak kebebasan. Artinya, hanya ada kita disana. Orang lain tidak boleh ikut campur,” jelas Aneska. Benar begitu bukan?

“Mohon maaf, Yang Mulia, ijin bertanya. Apakah ada hal seperti itu?” Gita menyeletuk, lengkap dengan ekspresi polosnya.

“Ada. Di buku—” Aneska langsung tersadar. Ia tidak tahu judul buku era kerajaan. Semoga saja Gita dan Rasti tidak bertanya lebih lanjut terait judul bukunya. “Pokoknya, ada di buku. Kapan – kapan aku beritahu bukunya.”

“Terima kasih, Yang Mulia.” Gita dan Rasti menunduk hormat.

“Jadi, bisa kan tinggalin aku sendiri?” ucap Aneska, dibalas anggukan ragu oleh dua dayangnya. Meski begitu, mereka tetap menuruti perintah Aneska.

Sepeninggal kedua dayang, Aneska termenung. Ia bersandar pada kepala ranjang sembari memangku bantal. Pandangan matanya lurus. Menatap jejeran guci keramik perpaduan warna putih dan emas. Pikiran Aneska melalang buana. Memikirkan kejadian diluar nalar yang baru saja ia alami.

“Jadi ini serius? Hahaha, lawak banget hidup gue.” Aneska tertawa miris.

“Bisa – bisanya gak ada angin, gak ada hujan, gue nyasar ke abad 18.” Aneska menghela napas berat.

“Mana suami gue si Galen. Eh, tapi, jadinya gue harus bersyukur atau gimana? Semua cewek pingin punya suami kayak dia.” Aneska terus bermonolog seorang diri.

“Tapi Galen bakal langsung sadar gak, sih, kalo gue bukan Nadlyne? Secara, muka kita aja beda.” Aneska mendesah frustrasi. Tidak berselang lama, Aneska refleks mengumpat ketika pandangannya tidak sengaja tertuju pada pigura raksasa menampilkan lukisan seorang wanita cantik nan Anggun mirip dirinya. Jangan bilang … dia Ratu Nadlyne?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status