Wisnu bingung harus membawa ke mana Kinar saat ini, ia pun hanya menatap tubuh bawahnya itu dengan netra yang tak berkedip. “Saat tertidur saja terlihat cantik, apalagi saat dia tanpa sehelai baju pun.” Wisnu bergumam sendiri. Wisnu pun tahu ke mana dia akan membawa Kinar saat ini. Pria itu langsung mengemudikan mobilnya menuju tempat yang sudah ada di pikirannya. Mobil melaju kencang, jalanan ibu kota pun terasa sepi. Wisnu sejak tadi tak henti menatap wajah Kinar. Sebuah kesempatan emas bisa bersama dengan perempuan yang membuat dirinya bergairah. Sebelumnya, ia mencoba menghubungi Nina.“Nin, Mas tidak pulang malam ini karena masih di Bogor.” Wisnu berbicara dari sambungan telepon. “Iya, Mas. Kok bisa enggak pulang?” Nina bertanya dari ujung telepon.“Mobilku tiba-tiba mogok, ini aja aku menunggu di hotel.” Walau berdusta, dia pun tak merasa bersalah. “Iya sudah, hati-hati, Mas.”Wisnu menutup telepon karena sudah memasuki halaman hotel. Ia pun langsung parkir dan meme
Merasa bisa sendiri, tapi Anisa kembali merasakan kepalanya pening. Dahulu, saat permasalahan dengan Wisnu dirinya tak mengalami drop seperti ini. Dirinya merasa sangat lemah, mungkin ia terlalu percaya pada Abas hingga rasa kecewa itu begitu dalam.Abas membantu Anisa untuk minum obat. Mau tidak mau, ia harus pasrah semua yang mengurus adalah suaminya. Walau menolak, tetap saja harus meminum obat.“Kamu beristirahat, sepetinya kamu memang harus tidur. Jangan terlalu banyak pikiran.”“Kamu yang membuat aku seperti ini,” oceh Anisa.“Aku tahu, makanya aku meminta maaf. Kita bicara lagi setelah kepalamu dingin.” Abas menyimpan obat kembali di nakas. Lalu, mengelus pucuk rambut Anisa kemudian pria itu pamit karena tak mau membaut Anisa merasa terbebani. Anisa mencoba memejamkan mata, lalu perlahan ia pun mulai mengantuk. Efek obat membuatnya lebih cepat memejamkan mata. Sementara, Abas kembali menemui sang ibu di ruang tamu. “Sudah tidur?” tanya Bu Asih. “Sudah Sepertinya. Ef
Sebulan Kemudian Seorang wanita tengah berdebat dengan satpam. Ia memaksa untuk masuk ke kantor dan bermaksud menemui Abas. Satpam tak mau membukakan pintu dan memberi jalan karena memang itu aturan kantor tidak membiarkan semua orang masuk kecuali sudah memiliki janji dan harus menunjukkan bukti tersebut. Atau dirinya akan diberi tahu siapa saja yang akan datang. "Maaf, Bu, ini sudah peraturan kantor. Saya hanya mencari nafkah di sini.""Saya ingin bertemu, Abas," ujar Zani. Meski dilarang ia tetap memaksa menerobos untuk masuk. Mencari kesempatan hingga bisa keluar dari pengawasan satpam. Ia ingin membuat perhitungan dengan Abas. Bisa-bisanya, dia menolak dan membuat putrinya setengah frustasi dalam sebulan ini.Zani, miris melihat keadaan Kinar saat ini. Maka dari itu dirinya datang ke kantor. Setelah satpam lengah, ia masuk. Dirinya langsung mencari keberadaan Abas. "Abas!" seru Zani saat melihat sosok yang dicari ada tak jauh dari tempatnya berada. Dirinya melangkah setenga
Sudah satu bulan Kinar benar-benar menjauhi Wisnu. Menutup semua akses komunikasi dengan lelaki itu, keluar dari perusahaan tiba-tiba. Dirinya berusaha hirap dari kehidupan Wisnu. Takut. Itulah yang ia rasakan. Bayangan saat Wisnu menyentuh tubuhnya. Ia sangat membenci lelaki itu. Keinginan balas dendam pada Abas dan Anisa belum juga tuntas. Mengalami keterpurukan. "Ah, semua ini gara-gara Wisnu!"Kinar setiap hari menghancurkan seisi kamarnya. Tubuh wanita itu semakin hari semakin terlihat kurus. Makan pun sehari hanya sekali itupun harus dipaksa dahulu. "Kinar, cukup!"Zani kesal anaknya benar-benar bak wanita yang depresi. Marah tanpa alasan, setiap dirinya bertanya hanya kata-kata Abaslah yang harus bertanggungjawab. Namun, mengapa lelaki yang dulu mencintai anaknya sekarang berubah? Kinar menggeleng. Ia tak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada sang ibu. Dirinya masih trauma mengingat semua kejadian yang menimpanya. Orang yang dirinya percaya justru telah merenggu
Zani memijat pelipisnya. Pikirannya tengah melanglang buana. Memikirkan sang putri yang sejak tadi muntah-muntah. Wajah Kinar pun terlihat begitu pucat, ia khawatir anaknya telah melewati batas dan ini hasilnya. Dirinya takut jika putrinya itu hamil. Apa kata orang nanti? Namanya bisa tercemar seketika. "Kinar ada yang kamu sembunyikan dari mama?" tanya Zani. Anaknya bungkam seribu basa. Tatapannya begitu kosong. Firasatnya seorang ibu tidak pernah salah. Ia tahu ada yang terjadi dengan Kinar hingga dia menjadi seperti itu. "Katakan jangan bilang kau hamil!" seru Zani. Ia sudah tak sabar lagi menghadapi putrinya yang bagai segumpal daging hidup itu. "Tidak, aku hanya sedang tak enak badan saja. Sepertinya maagku kambuh," ujar Kinar. Zani menggeleng tak percaya dengan jawaban putrinya. Ia harus membuktikan terlebih dahulu. "Ayo kita ke dokter," ujar Zani. Kalimat tersebut telah berkali-kali terucap dan Kinar selalu menolaknya mentah-mentah. Namun, kali ini sang ibu bertindak, i
“Kinar.”Mendengar namanya disebut padahal bukan dari orang farmasi, membuatnya membuka mata. Sosok yang ia hindari sekarang berada tepat di depannya. Tubuhnya sudah keringat dingin. Dirinya belum siap untuk bertemu Wisnu. Ini juga bukan waktu yang tepat untuk keduanya bertemu. “Kenapa kau memblokir semua akses komunikasi?” tanya Wisnu. Tatapan Wisnu menggambarkan kekesalan yang ada pada dirinya. “Mengapa kau menghindariku, Kinar?” tanya Wisnu kembali. Kinar berdiri, tetapi ia berusaha menjaga jarak dengan lelaki itu. “Aku kesal padamu. Harusnya kau tidak mengikut campurkan urusan pribadi dengan pekerjaan,” papar Wisnu. Kinar memejamkan mata, ia mengumpulkan keberanian untuk melawan lelaki itu. “Bisa-bisanya kau berkata demikian, Wis,” ungkap Kinar.“Apa yang tidak bisa, kamu membuat aku rugi. Tiba-tiba mengundurkan diri, kamu pikir ini semu dirinya a baik-baik saja bagiku. Mereka mencabut kerja sama dengan perusahaan aku hanya karena kamu sudah tak bekerja lagi.” Wi
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak