Wisnu tak bisa menjawab semua yang dilontarkan oleh Anisa. Ia pun menyesal karena dulu tidak menghentikan sikap sang ibu yang sudah keterlaluan.“Bahkan, saat aku ingin proses bayi tabung, ibumu menolak dengan alasan buang-buang uang saja. Tapi, dia malah selalu menyalahkan aku atas kemandulan kamu!”“Aku tidak mandul, Nisa. Jaga bicara kamu,” ujar Wisnu emosi.“Cukup, jangan pernah berteriak di depan Anisa. Lebih baik kita pergi, Nis,” ucap Abas.“Tunggu.” Wisnu menarik lengan Anisa, tapi Abas gegas melepaskannya.“Jangan pernah sentuh calon istri saya atau kubuat Anda jatuh miskin. Camkan itu!”Tanpa banyak bicara, Abas menggandeng Anisa ke luar dari ruang persidangan meninggalkan Wisnu yang tak berpikir jika Abas mengancam dengan tegas.“Sial!”Wisnu terus menggerutu, harusnya ia masih bisa bersama Anisa jika ia tak menikah lagi. Sungguh penyesalan yang datang terlambat. Kecantikan Sinta mampu membuat ia berpaling.Sementara di mobil, Anisa tak berani menatap Abas. Kejadian tadi sa
Bu Atik sibuk mencari jawaban, sedangkan Anisa merasa ada hal baru yang membuat ia bahagia. Wanita yang di pilih untuk menggantikan posisinya membuat keributan di rumah mantan suaminya.Sudah pasti Sinta tidak cocok dengan Ibu mertua dan iparnya yang seperti ratu dan tuan putri itu. Anisa menyunggingkan senyum saat Bu Atik terlihat membuang muka darinya.“Itu loh, Mbak Anisa, menantu Jeng Atik kerja dan enggak mau mengurus rumah,” celetuk Bu Widia.“ih, cari saja pembantu. Masa menantu dijadikan pembantu, lagi pula suami Bu Atik pasti kaya raya. Membayar pembantu tidak kan membuat bangkrut perusahaan bukan?”Wajah Bu Atik memerah, dirinya merasa dipermalukan oleh Anisa. Sementara, Bu Widia dan teman yang lain pun setuju dengan ucapan Anisa.“Benar, tuh Jeng Atik. Dari pada ribut sama menantu, lebih baik kita mah ngalah, lagi pula sudah capek kerja malah di suruh berberes rumah.” Lagi, salah satu dari teman mereka ikut bicara.“Iya, Jeng. Tenang saja, saya bisa kok bayar 2 pembantu sek
Wajah yang sudah masam bertambah masam mendengar Abas mengatakan saham yang akan mereka berikan untuk investasi hanya sedikit. Tidak sesuai dengan apa yang mereka ajukan dan bayangkan.Wisnu menarik napas lalu membuang kasar. Ia merasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kehilangan berlian dan membuang kesempatan emas. Lagi, ia menyesal setiap melihat Anisa yang semakin hari semakin berkilau dengan beberapa berlian yang ia pakai di jari manis.Ia pun teringat saat bersamanya, Anisa sudah cantik, tapi sayang tak begitu ia manjakan hingga kecantikan aslinya tak terlihat seperti sekarang.“Bagaimana Pak Wisnu, jika Anda tidak menyetujui, kami bisa menarik kembali. Itu hanya tawaran saja,” ujar Abas.Sementara, Anisa sibuk membaca beberapa dokumen yang akan ia tanda tangani sampai tak sempat memperhatikan wajah mantan suaminya.Wisnu melirik ke sang ayah, Pak Hartawan sudah pasrah dan mengangguk saat Wisnu memberikan kode untuk menerima atau tidak. Mau bagaimana lagi, mereka sangat membutuh
“Ya sudah, aku temani. Makan cepat,” ujar Abas pasrah.“Yakin enggak mau makan?” tanya Anisa lagi.“Yakin.”Namun, suara perut Abas pun mematahkan semuanya. Anisa tertawa mendengar suara tak di undang itu. Lalu ia memesan makanan karena sudah lapar. Sementara, Abas menahan dahaganya karena ia tak mau makan di tempat itu.Anisa kasihan melihat Abas yang sepetinya lapar tapi malah menahan semuanya. Ia pun mencoba menyuapi sedikit nasi, awalnya di tolak. Tapi, Anisa terus memaksa dengan membulatkan matanya.Wajah Abas berubah pucat, lalu ia mengambil tisu dan membuang makanan Yang ada di mulutnya. Lalu, ia ke luar dengan cepat dan memuntahkan sisa makanan di pinggir mobilnya.Anisa merasa tidak enak, tapi ia menghabiskan dulu makanannya. Tidak peduli ia telah membuat Abas seperti itu. Setelah selesai, ia menghampiri Abas yang tak kembali ke warteg. Abas terlihat menyenderkan tubuh di jok mobil saat Anisa mengetuk jendela dan meminta buka.“Maaf, Bas.”“Walau aku lapar, aku tidak mau maka
Wisnu bingung menjawab pertanyaan Sinta. Semua memang ada kemungkinan akan bangkrut. Akan tetapi, ia tak bisa mengatakan jika perusahaan sang ayah akan jatuh.“Mas, jawab, apa perusahaan Papa kamu akan bangkrut?” tanya Sinta.“Eng—enggak kok, Sayang. Enggak mungkin bangkrut. Kan perusahaan Papa aku sudah sangat besar. Hanya saja sedikit merugi.” Wisnu mencoba menjelaskannya dengan pelan.Sinta sedikit ragu, tapi ia kembali yakin kalau perusahaan sang mertua akan baik-baik saja. Masalah seperti ini sudah biasa terjadi dalam dunia perbisnisan.Akhirnya Sinta menurut walau wajahnya masih masam. Ia pun tak meminta ke mal lagi dan belanja. Wisnu pun sudah tenang karena bisa membaut Sinta tak merengek lagi.Mobil memasuki halaman rumah, Sinta pun sudah membayangkan akan beristirahat tenang setelah berulang kali merasa sakit kepala memikirkan pekerjaan.Andai ia tidak harus bekerja dan hanya menjadi nyonya di rumah, mungkin hal itu akan lebih baik pikirnya.“Akhirnya kalian pulang juga.” Bu
Sinta terkesiap melihat asisten rumah tangga barunya. Wanita muda dengan paras ayu. Ia berpikir dari mana ayah mertuanya membawanya. Bagaimana bisa semuda ini mau bekerja sebagai pembantu. Ia merasa tidak tenang melihat kulit mulus itu juga bentuk tubuh yang begitu ideal bagi perempuan yang menjadi pembantu di rumahnya.Bu Atik pun tak kalah kaget dari Sinta. Wanita tua itu pun mencoba meminta penjelasan dari sang suami. Saat ditanya, Pak Hartawan hanya menjawab singkat.“Yang penting ada pembantu, kan?”“Iya, sih. Tapi Ibu agak risih dengan dia. Kenapa harus seumuran dengan anak kita Windy,” ujar Bu Atik.“Papa mana tahu, ini dari agensi. Sudah jangan banyak protes,” ujar Pak Hartawan.Bu Atik diam saat sang suami marah, sedangkan Sinta tak henti memperhatikan wanita itu. Lalu, sesekali melirik Wisnu yang mencuri pandang pada Nina, asisten baru di rumah mereka.“Mas, awas kamu macam-macam.” Sinta berbisik pelan.“Apa, sih, Sin.”Suasana makan pagi mereka sepi, hanya terdengar suara s
Sinta menghentikan langkah, ia memutar tubuh menghadap Anisa. Kedua perempuan itu saling berserobok seolah-olah mereka sudah memiliki dendam yang teramat lama.“Kupastikan akan menghancurkan hidupmu seperti kau menghancurkan pernikahanku, camkan itu,” ancam Anisa.Hal yang di lakukan Sinta pun hanya bisa memendam semuanya. Percuma melawannya kali ini, dirinya malah yang akan hancur. Satu tarikan napas, ia pun membalik badan dan melangkah ke ruangannya.Sebelum menemui Pak Amri, Anisa pun menghubungi Abbas untuk meminta pendapatnya. Anisa menutup ponsel, lalu menghubungi pak Amri dari ruangannya.“Hari ini yang mengurus kamu Pak Abas, jadi tunggu dia datang,” ujar Anisa.Sesuai instruksi Abas, Anisa pun tidak menemui Pak Amri karena takut salah langkah. Anisa pun menurut, baginya Abas punya wewenang dan lebih lama dalam menghadapi masalah seperti ini.Bisa-bisa nanti dirinya salah langkah jika tak menunggu Abas. Ia menaruh curiga jika Sinta dan Pak Amri.Anisa membuka pesan di ponsel.
“Jeng Atik, kok tumben enggak beli berlian?” tanya Bu Widia.“Eh, anu, aku udah terlalu banyak. Jeng tahu, kan kalau beberapa berlian aku mau di jual karena sudah banyak. Suami suka marah,” ujar Bu Atik.“Oh, suaminya suka marah, aku pikir kalau hampir bangkrut jadi menjual beberapa aset.”Bu Atik menelan ludah saat mendengar ucapan Bu Widia. Percuma menutupi kalau pada akhirnya akan ketahuan juga. Apalagi, kini ia pun sudah tak memegang banyak kartu kredit karena di tarik sang suami. “Enggak, kok. Hanya gosip,” ucapnya malu.Sementara, Anisa menatap ke arah mantan ibu mertuanya yang terlihat sangat gusar apalagi saat melihat Anisa yang sedang menatapnya.Senyum itu terlihat sangat puas membuat ibu mertuanya tak berkutik. Setelah acara pun Anisa sengaja menghampiri Bu Atik untuk memastikan apakah dia masih aman dengan penglihatan dan pendengaran saat berlian pun di borong olehnya.“Sudah seperti ini, apa Bu Atik masih bisa berteriak dan memaki aku? Apa masih bisa mulut itu digunakan