Sesampainya di kantor, Wisnu dikejutkan dengan kedatangan Sinta, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Dengan segera Wisnu membawa Sinta masuk ke dalam ruangannya. Sinta yang ditarik oleh Wisnu pun dengan segera melepasnya, tetapi ditahan oleh Wisnu.
Sampai di ruangan Wisnu, Sinta menghempaskan tangan Wisnu dan menatap Wisnu tajam.
"Kamu apa-apa sih, Mas?! Sakit tahu gak?!" marah Sinta.
Sinta melihat sang kekasih terlihat aneh sejak datang dan cemas. Baru kali ini ia melihat Wisnu begitu tak tenang datang menemuinya.
"Ck. Gawat, Sin, istriku tahu kalau aku selingkuh dan dia marah." Wisnu berucap dengan nada memelas. Sekaligus frustrasi, berulang kali ia mengacak-acak rambutnya lalu mengusap wajah kasar.
"Beneran? Bagus dong!" ujar Sinta dengan mata berbinar. Ia sudah lama menunggu saat itu, di mana Anisa tahu dan ia akan menikah dengan Wisnu.
"Bagus? Kamu bilang bagus? Kamu sadar gak sih amaa yang kamu omongin, Sinta?" Wisnu emosi dengan apa yang di katakan oleh Sinta.
Sinta berdecak kesal mendengar ucapan laki-laki yang ada di depannya itu. Harusnya dia tak usah repot mencari cara agar sang istri tahu hubungan mereka. Harusnya Wisnu senang, bukan malah terlihat cemas.
"Aku serius dan sadar penuh, Mas. Itu berarti bagus untuk kita, setelah dia pergi dari hidup kamu, hubungan kita bisa go public dan nantinya gak akan ada lagi seseorang yang bisa menghalangi hubungan kita ini," ujar Sinta dengan nada serius.
"Dan aku gak mau tahu, kami harus menikahi aku, Mas. Secepatnya. Aku gak mau kalau aku hanya sebagai simpanan kamu!" Sinta berucap tegas. Menatap mata Wisnu dengan sendu.
"Aku capek, Mas. Terus dikatakan perebut laki orang, padahal pada kenyataannya, kamu sendiri yang datang ke aku. Meminta aku supaya menjadi selingkuhan kamu," tambah Sinta.
"Oke, fine but kamu harus sabar. Karena gak semudah itu melakukan pernikahan, Sinta." Wisnu mencoba membuat Sinta paham.
Ya, memang di sini dirinyalah yang bersalah. Dulu, dirinya yang mengajak Sinta untuk menjalin hubungan dengan dirinya. Lalu, jika seperti ini jadinya Wisnu pun bingung harus berbuat seperti apa. Di rumah, istrinya terlihat begitu kecewa dan di sini Sinta meminta dirinya untuk segera menikahinya. Kepala Wisnu rasanya ingin pecah. Dirinya tidak bisa berpikir, pikirannya buntu. Apa ia harus menikahi Sinta, siapa tahu ia cepat mendapatkan seorang anak dan membuat ibunya senang.
Sementara itu, Sinta pun merasakan hal yang sama. Itu semua bukan salah Wisnu sepenuhnya. Namun, juga ada andil dirinya. Jika saja waktu itu dirinya tidak jatuh pada pesona Wisnu maka semua ini tidak akan terjadi.
Namun, siapa wanita yang akan menolak pesona seorang Wisnu? Seorang laki-laki yang gagah, keren dan juga mapan. Semua ada di dalam dirinya, lalu apakah Sinta, seorang wanita biasa bisa menolak pesona itu? Dan untuk menjadi bahan perbincangan para tetangga. Itu bukan bualan semata, melainkan memang benar adanya. Para tetangga selalu membicarakan dirinya yang tak kunjung menikah, tapi seseorang yang menjadi pacarnya selalu datang ke rumahnya bahkan hampir setiap hari.
"Mas, kamu berhak untuk menikah lagi. Kamu pasti tahu 'kan jika seorang laki-laki bisa menikahi empat orang wanita. Lalu, apa lagi yang kamu pikirkan, Mas?" tanya Sinta.
Akhirnya dengan segala bujuk rayu Sinta, Wisnu mau menikah dengan Sinta. Dia segera meminta bawahannya untuk mengurus semua surat-surat serta dokumen yang dibutuhkan untuk proses pernikahannya itu. Tanpa memikirkan bagaimana sakitnya hati istrinya nanti. Wisnu sudah termakan bujuk rayu setan, dirinya bahkan menghalalkan segala cara untuk bisa bersanding dengan wanita yang memikat hatinya.
"Oke, Minggu depan kita menikah siri dulu, bagaimana?"
"Iya, Mas. Aku mau."
Sinta terlihat senang dengan apa yang di ucapkan sang kekasih. Hal itu yang sudah sangat ia tunggu lama. Menikah dan menguasai harta Wisnu.
***
Suasana rumah saat dirinya pulang dari kantor tetap sama. Anisa sama sekali tidak menegurnya, bahkan untuk membuka suara di hadapannya pun enggan. Wisnu tidak ambil pusing dengan itu, dirinya tidak terlalu memedulikan hal itu, karena yang menjadi fokusnya saat ini adalah dirinya yang harus menyiapkan diri untuk acara pernikahannya Minggu depan.
Wisnu segera membersihkan dirinya, lalu kembali menyibukkan diri dengan laptopnya. Wisnu tak hanya fokus pada laporan yang tenagh dibacanya tapi juga fokus pada pesan yang dikirimkan Sinta padanya.
Kini, rasa gelisah serta takut yang Wisnu rasakan saat Anisa mengetahui hubungan gelapnya tak lagi ada. Yang ada hannyalah rasa bahagia serta gugup karena Minggu depan adalah hari yang bersejarah untuknya. Dia akan menikahi Sinta dan nantinya mereka akan hidup bahagia berdua. Menghabiskan waktu bersama tanpa ada gangguan dari pihak mana pun.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Wisnu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum. Di dapur, Wisnu bertemu dengan Anisa yang sedang sibuk membuat makanan dengan wajah yang begitu serius dan itu membuat kecantikan Anisa bertambah berkali-kali lipat. Wisnu tidak memungkiri jika dalam segi kecantikan, Anisa memang bahkan jauh berada di atas Sinta. Namun, untuk urusan pakaian yang digunakan, Anisa kalah dengan Sinta. Meski begitu, Wisnu tahu, Anisa selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
"Kamu masih marah?" tanya Wisnu.
"Kamu pikir saja sendiri, Mas."
Hanya kalimat itu yang terlontar dari bibirnya. lalu ia melangkah ke kamar.
***
Seminggu kemudian.
Cahaya bulan kini telah berganti dengan cahaya matahari. Sinar mentari kali ini terlihat begitu cerah. Sama seperti wajah Wisnu yang begitu cerah. Begitu pula dengan hatinya, begitu berbunga-bunga.
Pagi ini, Wisnu akan melaksanakan akad nikahnya dengan Sinta. Tidak ada pesta mewah, hanya sederhana saja. Bukan tak mampu, tapi apa kata orang nanti jika Wisnu menikah lagi? Bahkan tanpa persetujuan dari istrinya. Bisa-bisa dirinya akan dicap jelek oleh para tetangga dan Wisnu tidak ingin utu terjadi. Wisnu lebih memilih untuk melakukan akad di rumah Sinta. Tidak banyak tamu yang diundang, hanya tetangga dan kerabat dekat saja yang mereka undang.
Wisnu pun belum memberitahu ibunya mengenai pernikahan ini. Bukannya apa, tapi dirinya takut Anisa tahu nantinya. Wisnu berencana untuk mengenalkan Sinta pada ibunya nanti saat keduanya sudah sah menjadi sepasang suami-istri. Karena dengan begitu, Wisnu sedikit yakin Anisa pasti mau menerima keputusannya karena tidak bisa menolak.
Wisnu sudah rapi dengan kemeja putihnya serta jam hitamnya. Dirinya nanti akan di dampingi oleh seseorang yang menjadi tangan kanannya. Sesampainya Wisnu di rumah Sinta, acara segera dimulai. Wisnu mengucapkan qabul dengan satu kali tarikan napas.
Sorakan kata 'sah' memenuhi ruangan. Wisnu tersenyum lega. Kini, dirinya dan Sinta sudah sah menjadi sepasang suami-istri.
***
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h